TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Makassar Disebut jadi Tempat Transit Organisasi Teroris di Indonesia

Jaringan Moderat Indonesia ajak warga Makassar bentengi diri

Dialog kebangsaan bertajuk Menunjung Kemanusiaan, Mewujudkan Kedamaian untuk Kejayaan Bangsa yang digelar di Makassar, (8/2/2022). IDN Times/Istimewa

Makassar, IDN Times - Wilayah Sulawesi Selatan, khususnya Kota Makassar, disebut-sebut sebagai daerah atau lokasi transit bagi pelaku kejahatan teror atau teroris di Indonesia.

Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia, Islah Bahrawi mengatakan, Kota Makassar menjadi cross border atau lintas batas dari jaringan (networking) organisasi teror yang ada di Indonesia, khususnya dua kelompok teroris, yakni Jamaah Islamiyah (JI) dan Jamaah Ansharut Daulah

"Di sini (Makassar) juga, pernah terjadi bom bunuh diri di Katedral. Jaringan-jaringan itu menjadikan Kota Makassar sebagai tempat transit," kata Islah saat Dialog Kebangsaan di salah satu kampus di Makassar, Selasa, 8 Februari 2022.

1. Perlu pencegahan sejak dini

Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia, Islah Bahrawi. IDN Times/Istimewa

Dia menyebut, jaringan terorisme yang kuat di Sulawesi Selatan adalah JI dan JAD. Meski sebelumnya telah diproses melalui penegakan hukum yang jumlahnya cukup banyak, tapi jaringan itu diduga kuat masih ada. 

"Dulu, awalnya konflik kan di Poso. Ketika di obok-obok di Poso, maka pecahannya ke Makassar dan sebagian ke Kalimantan," katanya. 

Islah pun memandang perlu adanya pencegahan dini supaya jaringan teroris tak lagi meracuni masyarakat Kota Makassar. Apalagi, warga Kota Makassar dikenal dengan intimasi sosial yang tinggi sehingga perlu dibentengi.

"Biarlah urusan jaringan teror itu, urusan penegak hukum. Tapi kita masyarakat, harus membentengi melakukan resistensi dan deteksi dini untuk membentengi dan jangan sampai menulari orang baik-baik," katanya.

Baca Juga: Polisi Kembali Tangkap 7 Terduga Teroris terkait Bom Katedral Makassar

2. Radikalisme kerap menggunakan entitas agama

Ilustrasi Stop Radikalisme (IDN Times/Mardya Shakti)

Islah juga menyebutkan bahwa radikalisme yang berbasis agama memang selalu menggunakan entitas-entitas agama untuk sasaran merekrut dan pendidikan.

Di zaman Nabi Muhammad, kata Islah, sudah ada radikalisme berbasis agama dengan menggunakan Masjid Ad-Dhirar sebagai lokasi untuk menyebar paham-paham radikal sehingga masjid itu dikatakan sebagai masjid pembangkangan.

"Kita tidak bisa menutup mata di jaman nabi sudah ada Masjid Ad-Dhirar dan sekarang di Afghanistan serta di Pakistan," kata Islah.

Seharusnya, menurut Islah, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tidak membuka dan mempertegas data-data yang terafiliasi dengan paham radikalisme. Menurut Islah, hal itu tidak usah dibuka di publik.

"Tapi kita harus mengakui itu, terafiliasi secara konsekuensi hukum itu harus diperkuat. Terafiliasi itu apakah karena ada pendanaan dari kelompok teror atau pesantren itu didirikan oleh kelompok teror. Ini harus jelas," ungkapnya.

Baca Juga: Densus 88 Kembali Tangkap 3 Terduga Teroris Jaringan JAD di Makassar

Berita Terkini Lainnya