Sebelum Jakarta, Kerusuhan Rasial Pecah di Makassar pada 1997

Kerusuhan dipicu kematian bocah usia 9 tahun

Makassar, IDNTimes - Sekitar delapan bulan sebelum peristiwa Tragedi Mei 1998 di Jakarta, kerusuhan rasial lebih dahulu menimpa etnis Tionghoa terjadi di Makassar. Tepatnya tanggal 15 September 1997. 

Di hari itu, kerusuhan yang disertai penjarahan pecah. Toko-toko milik warga keturunan yang tinggal di kota dulunya bernama Ujung Pandang itu, ludes dibakar massa yang marah.

Kerusuhan ini dipicu kematian bocah berusia 9 tahun bernama Anni Mujahidah Rasuna. Putri Jubaedi Saleh dan Noer Huda Noor itu dibacok Benny Karae, pengidap gangguan jiwa, yang kebetulan dari etnis Tionghoa yang tinggal di Jalan Kumala.

Kasus itu menyulut emosi warga yang kemudian kemudian menghakimi Benny di rumahnya hingga akhirnya Benny juga ikut tewas di Rumah Sakit Bhayangkara. 

Usai meluapkan emosinya pada pelaku pembunuhan bocah Anni, massa kemudian bergerak melempari toko-toko milik warga etnis Tionghoa di sepanjang Jalan Veteran, Jalan Ratulangi, Jalan Sulawesi, Jalan Irian, Jalan Penghibur, dan kawasan tempat hiburan malam di Jalan Nusantara. Sembari merusak toko-toko itu, massa meneriakkan yel-yel: “Ganyang Cina”. Aksi pelemparan dan penjarahan toko-toko milik etnis Tionghoa di  Ujung Pandang itu berlangsung hingga besok harinya. 

1. Kerusuhan rasial Ujung Pandang menyebabkan 5 korban tewas dan 1.535 rumah toko rusak parah

Sebelum Jakarta, Kerusuhan Rasial Pecah di Makassar pada 1997

Dalam buku Etnis Cina dalam Pembauran di Indonesia yang ditulis Abdul Baqir Zein disebutkan dampak hebat dari aksi massa dan kkerusuhan rasial itu. Sedikitnya lima orang tewas, termasuk bocah Anni dan Benny Karae. Tiga korban lainnya ditemukan di puing-puing rumah toko yang terbakar. 

Selain korban tewas, dicatat pula kerugian sekitar Rp17,5 miliar, angka yang fantastis kala itu di Indonesia yang sedang dilanda krisis ekonomi. Jumlah kerugian itu berasal, antara lain, dari 1.535 rumah toko yang rusak, 77 mobil dan 155 sepeda motor yang hangus terbakar. 

Pangdam VII Wirabuana Mayjen Agum Gumelar, Kapolda Sulsel Gubernur Sulsel Zainal Basri Palaguna, Kapolda Sulsel Brigjen Ali Hanafiah, Wali Kota Ujung Pandang Malik B Masry berjibaku meredam keberingasan massa yang tersulut emosi.

Baca Juga: Gedung DPR/MPR RI, Salah Satu Saksi Bisu Lahirnya Reformasi Tahun 1998

2. Hasil investigasi Komnas HAM kerusuhan ikut dipicu kesenjangan sosial

Sebelum Jakarta, Kerusuhan Rasial Pecah di Makassar pada 1997IDNTimes/Abdurrahman

Pasca kerusuhan di tanah Anging Mammiri ini, Sekjen Komnas HAM Baharuddin Lopa bersama dua anggotanya Soegiri dan Koespramono Ihsan ini langsung berangkat menuju Ujung Pandang, Jumat 19 September, guna melakukan investigasi.

Setelah tim Komnas HAM meninjau lokasi pembunuhan bocah Anni, menemui kedua orang tua Anni, mengamati kondisi perkotaan, dan menemui pelaku kerusuhan yang sempat ditahan, Komnas HAM mengambil kesimpulan sementara bahwa aksi kerusuhan disebabkan bukan semata-mata oleh pembunuhan bocah Anni, tetapi juga akibat kesenjangan antar golongan dalam masyarakat di Ujung Pandang kala itu, sebagaimana berita Media Indonesia, Minggu 21 September 1997, dikutip Abdul Baqir. 

Pangdam VII/Wirabuana saat itu, Agum Gumelar menyebut ada pihak tertentu yang menunggangi kasus kematian bocah Anni yang dibunuh oleh etnis Tionghoa, yang menyebabkan terjadi kerusuhan selama hampir dua hari di Ujung Pandang--yang sekarang berganti nama menjadi Makassar. 

3. Selain kerusuhan rasial tahun 1997, juga terjadi Tragedi Amarah yang menewaskan 3 mahasiswa UMI

Sebelum Jakarta, Kerusuhan Rasial Pecah di Makassar pada 1997IDNTimes/Abdurrahman

Sekitar setahun sebelum peristiwa kerusuhan rasial di Makassar, tepatnya April 1996, terjadi tragedi yang dikenal dengan nama Tragedi April Makassar Berdarah (Amarah). Saat itu, tiga mahasiswa Universitas Muslim Indonesia (UMI) yang tewas dalam unjuk rasa menolak kenaikan tarif angkutan dalam kota (angkot), yaitu Saiful Bya, Andi Sultan Iskandar, dan Tasrif.

Ketiganya tewas usai terjadi demonstrasi berujung bentrok dengan aparat keamanan. Kenaikan tarif angkot yang dikenal di Makassar dengan sebutan pete-pete dinilai mahasiswa sangat memberatkan masyarakat kecil yang mengandalkan pete-pete sebagai alat transportasi sehari-hari. 

Setiap tanggal 24 April, ratusan mahasiswa UMI memperingati Tragedi Amarah dengan menggelar long march dari kampus UMI Jalan Urip Sumoharjo, menuju ke makam rekan mereka yang meninggal, di Taman Pemakaman Islam Panaikang, Jalan Urip Sumoharjo dan Taman Pemakaman Umum Dadi di Jalan Lanto Daeng Pasewang. 

Baca Juga: Kenapa Angkot Makassar Disebut Sebagai Pete-pete?

Topik:

  • Ita Lismawati F Malau

Berita Terkini Lainnya