Kriminolog: Lemahnya Pengamanan Jadi Celah Terjadinya Kericuhan di Makassar

- Akumulasi faktor pemicu, termasuk ketidakpuasan sosial dan kematian pengemudi ojek sebagai titik picu kekerasan.
- Tanggung jawab pelaku langsung dan penyelenggara aksi, serta perlunya evaluasi manajemen dan rantai komando aparat kepolisian.
- Jalan pemulihan kepercayaan publik melalui transparansi forensik, audit SOP pengamanan, restorasi korban, dan manajemen risiko pra-aksi.
Makassar, IDN Times - Pakar Kriminologi Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Rahman Syamsuddin, menilai kerusuhan yang berujung pada pembakaran gedung DPRD Kota Makassar dan Sulsel bisa dijelaskan lewat teori kriminologi.
Menurutnya, routine activity theory menggambarkan situasi itu. Yakni, ada pelaku yang termotivasi, target yang dianggap sesuai, kantor DPRD sebagai simbol kemarahan, serta ketiadaan penjagaan efektif.
“Kombinasi itu membuat peluang kekerasan meningkat,” kata Rahman kepada IDN Times, Rabu (3/9/2025).
1. Akumulasi faktor pemicu

Faktor pemicu juga tak lepas dari ketidakpuasan sosial terkait isu tunjangan dewan, dinamika massa yang kehilangan kontrol individu, hingga efek penularan aksi. Titik picunya, kata Rahman, adalah kematian seorang pengemudi ojek, Affan Kurniawan, yang ditabrak kendaraan polisi saat gelombang protes terjadi di Jakarta.
"Itu mempercepat kemarahan berubah jadi kekerasan terhadap simbol negara," jelasnya.
2. Siapa bertanggung jawab?

Rahman menjelaskan, tanggung jawab paling nyata ada pada pelaku langsung pembakaran dan perusakan. Pasalnya, tindakan membakar gedung umum diancam Pasal 187 KUHP, dengan hukuman lebih berat jika ada korban jiwa.
Namun, penyelenggara aksi juga punya tanggung jawab sosial. Undang-Undang 9/1998 menegaskan kewajiban menjaga ketertiban dalam menyampaikan pendapat di muka umum.
Sementara itu, aparat kepolisian wajib melindungi dan mengamankan jalannya aksi. "Kalau pengamanan lemah, maka perlu ada evaluasi manajemen dan rantai komando," ucap Rahman.
Meski begitu, ia menekankan bahwa tuduhan pembiaran tidak bisa asal dilontarkan. Perlu bukti konkret apakah polisi memang mengetahui risiko nyata, mampu mencegah, tapi sengaja tidak bertindak.
"Kesimpulan harus berbasis investigasi resmi, bukan asumsi," tambahnya.
3. Jalan pemulihan kepercayaan publik

Kerusuhan 29 Agustus lalu di Makassar menewaskan empat orang. Rahman menilai, lemahnya pengamanan membuat tindakan rusuh lebih mudah terjadi.
"Dalam kerumunan, kontrol situasional yang runtuh bisa memicu efek domino, dari vandalisme ke pembakaran besar," ujarnya.
Agar kepercayaan publik pulih, ia menyarankan Polri membuka transparansi forensik, cepat menangkap pelaku berdasarkan bukti digital, dan mengaudit SOP pengamanan secara independen.
"Restorasi juga penting, santunan korban, pemulihan gedung DPRD, serta komunikasi publik yang jelas,"ucapnya.
Untuk mencegah kejadian serupa, Rahman menekankan perlunya manajemen risiko sejak pra-aksi, respons berjenjang saat aksi, hingga penegakan hukum yang cepat, pasti, dan adil pasca-aksi.
"Kerusuhan bisa dicegah bila aparat siap, massa terfasilitasi menyalurkan aspirasi, dan provokator segera dipisahkan," tutupnya.