Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Banjir Tahunan di Wania Mimika: Warga Pasrah Menunggu Air Surut

Dimianak Katagame, warga Kelurahan Kamoro Jaya (kawasan penduduk Suku Amungme), menyusuri jalan raya kampung yang terendam banjir. Semakin masuk ke kampung, air banjir semakin dalam. (IDN Times/Endy Langobelen)
Dimianak Katagame, warga Kelurahan Kamoro Jaya (kawasan penduduk Suku Amungme), menyusuri jalan raya kampung yang terendam banjir. Semakin masuk ke kampung, air banjir semakin dalam. (IDN Times/Endy Langobelen)
Intinya sih...
  • Banjir setiap tahun ketika hujan
  • Parit yang tak bisa menampung
  • Pemerintah: “Tanggung Jawab Bersama”
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Timika, IDN Times – Selama sepekan terakhir, warga Distrik Wania di Kabupaten Mimika, Papua Tengah, harus hidup dalam genangan banjir yang merendam rumah dan kebun mereka.

Dari Kelurahan Kamoro Jaya hingga Jalan Anggrek, keluhan warga sama: banjir sudah menjadi “langganan tahunan”, tapi solusi permanen dari pemerintah tak kunjung datang.

“Air naik begini otomatis kita punya tanaman mati semua. Petatas, singkong, ubi-ubi ini tidak ada panen lagi,” keluh Yapo Murib, warga Kelurahan Kamoro Jaya, Selasa (19/8/2025) siang, sambil menunjukkan kondisi kebunnya.

Sejak awal Agustus, hujan deras turun nyaris setiap hari. Kali Marah yang melintas di kampung itu tak lagi mampu menampung debit air.

Luapan sungai masuk ke halaman rumah warga, bahkan hampir masuk ke 55 pintu rumah di kawasan pemukiman Suku Amungme itu.

1. Banjir setiap tahun ketika hujan

Tampak banjir di halaman depan salah satu rumah di Kelurahan Kamoro Jaya (kawasan penduduk Suku Amungme). (IDN Times/Endy Langobelen)
Tampak banjir di halaman depan salah satu rumah di Kelurahan Kamoro Jaya (kawasan penduduk Suku Amungme). (IDN Times/Endy Langobelen)

Bagi Dimianak Katagame, warga Kelurahan Kamoro Jaya (kawasan penduduk Suku Amungme), banjir bukan peristiwa baru.

"Setiap kali hujan pasti banjir. Ini sudah biasa. Kalau air naik, kita tinggal di rumah keluarga. Kita punya kebun juga sudah tenggelam, busuk semua. Ubi, singkong, keladi, tidak bisa panen,” ujarnya pasrah.

Suara serupa datang dari Iriana Katagame yang juga merupakan warga Kelurahan Kamoro Jaya (kawasan penduduk Suku Amungme).

Ia menyebut pemerintah setiap tahun hanya datang membawa bantuan makanan, tetapi tidak menyelesaikan akar masalah.

“Tidak usah kasih makanan terus. Kita tanam sendiri makanan. Tapi banjir tiap tahun begini terus. Pemerintah harus kasih masuk alat berat, bersihkan got, kasih saluran besar,” katanya dengan kesal.

Bagi warga, banjir sudah menjadi simbol keterpinggiran. “Kali Marah” bukan hanya nama sungai, tapi juga metafora untuk kemarahan mereka terhadap pemerintah yang dianggap membiarkan persoalan berulang.

2. Parit yang tak bisa menampung

Iriana Katagame, warga Kelurahan Kamoro Jaya (kawasan penduduk Suku Amungme).
Iriana Katagame, warga Kelurahan Kamoro Jaya (kawasan penduduk Suku Amungme).

Menurut warga sekitar, penyebab utama banjir adalah parit yang terlalu kecil dan dangkal.

"Kuncinya itu alat berat harus gali kali kecil. Kalau tidak, banjir terus. Air dari kali itu kalau meluap, banjir bisa sampai dada orang dewasa,” jelas Iwan, warga yang sering beraktivitas di kampung itu.

Di kawasan lain, Jalan Anggrek, Suardi harus berjaga siang malam menguras air yang masuk ke rumahnya.

“Setiap dua jam kita pakai alkon kasih keluar air. Sudah dua hari begini. Drainasenya tidak lancar, jadi air balik masuk rumah,” ujarnya saat ditemui IDN Times di depan rumah.

Pembangunan yang makin padat membuat air hujan tak punya ruang untuk meresap, sehingga meluap ke pemukiman.

3. Pemerintah: “Tanggung Jawab Bersama”

Kepala Distrik Wania, Merlin Temorubun. (IDN Times/Endy Langobelen)
Kepala Distrik Wania, Merlin Temorubun. (IDN Times/Endy Langobelen)

Kepala Distrik Wania, Merlin Temorubun, mengakui banjir merendam sejumlah titik di wilayahnya, mulai dari Nawaripi, Lorong SMA Negeri 1, hingga Kamoro Jaya.

“Air di sana sempat setinggi pinggang orang dewasa. Kami sudah laporkan ke Bupati dan OPD teknis untuk ditindaklanjuti,” katanya ketika diwawancarai di depan SMA Negeri 1 Mimika.

Namun ia juga menyinggung rendahnya kesadaran masyarakat menjaga kebersihan lingkungan.

“Tumpukan sampah di drainase membuat air tersumbat dan kembali masuk rumah warga. Jadi ini tanggung jawab bersama, bukan hanya pemerintah,” tegasnya.

4. Faktor alam dan cuaca

Kepala Stasiun Meteorologi Kelas IV di Mimika, Aji Supraptaji. (IDN Times/Endy Langobelen)
Kepala Stasiun Meteorologi Kelas IV di Mimika, Aji Supraptaji. (IDN Times/Endy Langobelen)

Secara klimatologis, curah hujan tinggi di Mimika memang bukan hal baru. Kepala Stasiun Meteorologi Kelas IV di Mimika, Aji Supraptaji, menjelaskan bahwa wilayah Timika tidak mengenal musim kemarau.

“Sepanjang tahun hujan, dengan rata-rata di atas 300 milimeter per bulan. Puncaknya Juli-Agustus, jadi kondisi banjir sekarang sebenarnya normal,” ujarnya saat ditemui di Kantor BMKG Mimika, Selasa (19/8/2025) siang.

BMKG memperkirakan curah hujan mulai berkurang pertengahan September. Tetapi banjir berulang di Wania menunjukkan persoalan bukan semata faktor alam, melainkan juga infrastruktur dan tata ruang yang tidak memadai.

5. Siklus yang tak pernah putus

Warga Jalan Anggrek, Suardi, berdiri depan rumahnya yang terendam banjir. Ia berupaya menguras banjir menggunakan mesin alkon. (IDN Times/Endy Langobelen)
Warga Jalan Anggrek, Suardi, berdiri depan rumahnya yang terendam banjir. Ia berupaya menguras banjir menggunakan mesin alkon. (IDN Times/Endy Langobelen)

Setiap tahun warga Wania harus kehilangan kebun, rumah terendam, dan aktivitas lumpuh. Bagi banyak keluarga, itu berarti kehilangan sumber pangan sekaligus pendapatan.

Pemerintah berjanji akan menindaklanjuti laporan, tapi di lapangan warga masih harus mengungsi ke rumah kerabat atau menguras air dengan alkon.

“Kasih beras bisa habis, tapi kalau kebun mati kita mau makan apa?” keluh Mama Iriana.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Irwan Idris
EditorIrwan Idris
Follow Us