5 Tanda Kamu Sering Lari dari Emosi yang Sebenarnya Perlu Dihadirkan

Emosi adalah bagian alami dari kehidupan yang membantu kita memahami diri sendiri dan orang lain. Kita sering merasa tidak nyaman menghadapi emosi tertentu, seperti sedih, marah, atau kecewa, sehingga cenderung menghindarinya. Padahal, mengabaikan emosi ini bisa menimbulkan stres, kebingungan, dan masalah dan konflik.
Kita perlu menyadari cara kita menghadapi perasaan pribadi. Menghindari emosi bukanlah solusi, tetapi tanda bahwa ada sesuatu yang perlu diperhatikan dan diproses. Berikut lima tanda kita sering lari dari emosi yang sebenarnya perlu dihadirkan.
1. Sering mengalihkan perhatian

Kita cenderung sibuk dengan pekerjaan, gadget, atau hiburan ketika merasa sedih atau kecewa. Misalnya, setelah bertengkar dengan teman atau pasangan, kita langsung menonton serial atau scroll media sosial agar tidak merasakan sakit hati. Mengalihkan perhatian memang terasa nyaman, tetapi hanya menunda proses memahami dan melepaskan emosi yang penting.
Selain itu, kita mungkin menggunakan kegiatan sosial atau hobi sebagai pelarian dari rasa cemas atau marah. Kita merasa lega sementara, tetapi emosi yang tidak dihadapi tetap menumpuk di dalam diri. Dalam jangka panjang, kebiasaan ini bisa membuat kita merasa lelah, hampa, atau mudah tersinggung.
2. Sulit mengungkapkan perasaan

Kita sering menahan diri untuk tidak jujur soal perasaan, misalnya tidak ingin terlihat marah atau kecewa di depan pasangan atau teman. Kita memilih diam, tersenyum, atau mengalihkan topik agar orang lain tidak menyadari kegelisahan kita. Namun, menahan emosi ini justru membuat ketegangan menumpuk dan menimbulkan stres emosional.
Selain itu, sulit mengungkapkan perasaan bisa merusak hubungan sosial. Kita mungkin terlihat dingin atau cuek padahal sebenarnya hanya butuh dukungan. Menghadapi dan mengekspresikan emosi dengan tepat, misalnya melalui menulis jurnal, dapat membantu kita lebih rileks dan hubungan sosial lebih harmonis.
3. Sering menyalahkan diri atau orang lain

Ketika menghadapi emosi yang sulit, kita cenderung menyalahkan diri sendiri atau orang lain agar tidak merasa rentan. Misalnya, saat merasa cemburu atau kecewa, kita lebih memilih menyalahkan pasangan daripada memahami akar emosi kita sendiri. Hal ini membuat kita sulit belajar dari pengalaman dan memahami diri sendiri secara mendalam.
Selain itu, kebiasaan menyalahkan bisa memperburuk konflik. Kita kehilangan kesempatan untuk introspeksi dan mengambil langkah perbaikan. Menghadapi emosi dengan jujur justru akan membantu kita mengenali pola perasaan untuk membuat keputusan lebih bijak ke depannya.
4. Menghindari konflik atau situasi yang menantang

Kita cenderung menjauh dari situasi yang memicu emosi tidak nyaman, misalnya menghindari diskusi serius dengan pasangan atau teman. Padahal, menghindari konflik hanya menunda penyelesaian masalah dan membuat emosi semakin menumpuk. Kebiasaan ini bisa membuat kita merasa tidak tenang dan sulit terbuka.
Selain itu, menghindari situasi menantang membatasi kemampuan kita untuk belajar menghadapi perasaan dengan sehat. Kita mungkin merasa aman sementara, tetapi masalah emosional tetap ada. Menghadapi konflik secara sadar dan empatik justru melatih kita mengekspresikan emosi dengan cara yang lebih sehat.
5. Merasa kosong atau hampa

Sering merasa kosong, hampa, atau mudah bosan bisa menjadi tanda kita menekan emosi terlalu lama. Misalnya, kita selalu sibuk bekerja atau berkegiatan agar tidak merasakan kesedihan atau kekecewaan. Perasaan yang dihindari ini tetap memengaruhi kesejahteraan mental dan bisa menimbulkan rasa tidak puas dalam hidup.
Selain itu, perasaan hampa dapat memengaruhi hubungan dan motivasi dalam diri. Kita mungkin kesulitan merasakan kebahagiaan atau menikmati momen sehari-hari. Menghadirkan dan memproses emosi yang sebenarnya membantu kita lebih utuh dan mampu menjalani hidup dengan seimbang.
Menghindari emosi mungkin terasa nyaman sementara, tetapi kita perlu menyadari dampaknya dalam jangka panjang. Kita harus berani menghadapi dan memahami setiap perasaan agar lebih kuat, bijak, dan resilien. Menyadari tanda-tanda di atas adalah langkah awal untuk hidup dengan kondisi emosional yang sehat.