Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Larut dalam Seni Interaktif dan Antusiasme Luar Biasa di FKSM 2024

Para pengunjung sedang menyaksikan dari dekat karya "Tengara" yang dipamerkan dalam Festival Komunitas Seni Media (FKSM) 2024 yang berlangsung di Benteng Fort Rotterdam Makassar. (Dok. Istimewa)

Makassar, IDN Times - Bagaimana cara melihat interpretasi budaya Sulawesi Selatan dalam cara modern nan interaktif? Festival Komunitas Seni Media (FKSM) 2024 menjawab tantangan tersebut dengan lunas dan disambut antusiasme yang melebihi ekspektasi mereka sendiri.

Dalam edisi ketiga yang berlangsung di Benteng Fort Rotterdam, Senin (3/11/2024) hingga Sabtu lalu (9/11/2024), FKSM seolah menjadi gerbang warga Makassar untuk mendekatkan diri pada seni media. Meski menjadi hal yang sama sekali baru bagi banyak orang, terutama jika jarang atau bahkan belum pernah menyambangi acara sejenis, format tersebut terasa amat segar.

Mengangkat tema Jelajah Jala, terdapat total 24 karya seni yang dipamerkan selama sepekan dan tersebar di berbagai area dalam benteng peninggalan kolonial tersebut. Tapi, ada sejumlah karya mengangkat budaya dan mitos di seluruh penjuru Sulsel dalam kemasan nan unik. Penulis menyempatkan diri datang pada Rabu (6/11/2024) serta hari penutupan.

1. Oro Kelling Mencari Tuan, interpretasi unik dari fragmen kecil epos I La Galigo

Karya "Oro Kelling Mencari Tuan" yang dipamerkan dalam Festival Komunitas Seni Media (FKSM) 2024 yang berlangsung di Benteng Fort Rotterdam Makassar. (IDN Times/Achmad Hidayat Alsair)

Ada beberapa karya di FKSM yang mengangkat kebudayaan Sulsel dan mengundang animo besar dari pengunjung. Oro Kelling Mencari Tuan adalah patung kinetik setinggi 60 cm yang dilengkapi dengan sensor gerak. Karya yang terdiri dari tujuh buah tersebut mengikuti arah ke mana pengunjung bergerak dalam ruangan.

Karya dari Adi Gunawan, Muh Adnan Surya Azis, Nur Iqbal Rami dan Runi Virnita Mamonto tersebut membahas salah satu fragmen kecil dalam epos I La Galigo. Malleleang Raunna La Oro Kelling merupakan makhluk yang selalu mengiringi tuannya kemanapun, dengan kesetiaan tiada tanding. Bahkan, ia bahkan rela menguliti tubuhnya sendiri untuk dipakai sebagai jubah tuannya.

Di dalam ruangan, patung-patung tersebut selalu menoleh ke arah kiri atau kanan, seolah Oro Kelling masih mencari tuannya. Ini seolah menggambarkan nasib sang pelayan setia yang kisahnya terputus dalam epos, makhluk abadi yang terdampar di dunia serba mesin tapi enggan lupa jati dirinya sebagai seorang pelayan.

2. Menyimak kelahiran hewan endemik Macaca maura melalui karya Toakala Textile Installation

Karya "Toakala Textile Installation" yang dipamerkan dalam Festival Komunitas Seni Media (FKSM) 2024 yang berlangsung di Benteng Fort Rotterdam Makassar. (IDN Times/Achmad Hidayat Alsair)

Tepat di sebelah kanan ruangan Oro Kelling Mencari Tuan, terdapat Toakala Textile Installation dari seniman asal Makassar yakni Julia Garninda Guntur. Karya tersebut mengangkat legenda Toakala yang merupakan asal-usul kera hitam berekor pendek Macaca maura yang menjadi binatang endemik Sulawesi.

Dalam cerita tersebut, raja kera dari Kerajaan Abbo jatuh hati pada seorang putri cantik dari keluarga penguasa Kerajaan Pattiro yakni I Bissu Daeng. Sayang, upaya raja kera meminang anak raja ditolak mentah-mentah dan direspons dengan mencilik Bissu Daeng. Peristiwa ini kemudian memicu konflik antara dua kerajaan, dan berakhir dengan kaburnya raja kera bersama para monyet betina hamil yang lolos dari pembantaian.

Julia Gardinda Guntur menginterpretasikan legenda tersebut dalam tiga bingkai berukuran 100 x 80 cm. Pada permukaan seluruh bingkai, mozaik bordir kain daur ulang menjadi medianya untuk bercerita. Mekanisme gerak pada beberapa bagian bingkai membuat Toakala Textile Installation tetap terasa interaktif meski terlihat sederhana dalam pandangan pertama.

3. Tapak Puya mengajak pengunjung mengenali budaya Tana Toraja secara virtual

Salah seorang pengunjung sedang menggunakan instalasi interaktif bagian dari karya "Tapak Puya" yang dipamerkan dalam Festival Komunitas Seni Media (FKSM) 2024 yang berlangsung di Benteng Fort Rotterdam Makassar. (Dok. Istimewa)

Toraja pun menjadi basis karya dalam FKSM 2024. Diberi judul Tapak Puya, trio seniman dan peneliti yakni Agnes Hansella (DKI Jakarta) -  Barak Aziz Malinggi (Sulawesi Selatan) - Farhanaz Rupaidha (Jawa Narat) menggunakan teknologi untuk mengajak pengunjung melihat budaya dan magisnya meski terpisah 244 kilometer. Puya, dalam kepercayaan Aluk Todolo, adalah tempat peristirahatan abadi sekaligus tempat berkumpulnya arwah leluhur.

Masuk ke dalam ruangan tempat Tapak Puya dipamerkan, mozaik corak seluruh kain tenun khas Toraja terpajang dalam 10 bingkai yang terpasang di dinding lorong menuju ruangan utama. Kain-kain tenun tersebut juga terlihat di belakang bingkai-bingkai tersebut, membentuk peta wilayah Toraja dalam format unik.

Namun, yang menarik perhatian adalah pengunjung bisa menjelajahi Tana Toraja secara virtual. Ibarat game, mereka harus mengajak seorang tokoh "berjalan-jalan" lewat game stick. Lanskap perbukitan, iring-iringan orang dalam upcara Rambu Solo' serta jejeran rumah Tongkonan bisa ditemui dalam perjalanan. Fase perjalanan menuju Puya terasa sebab sang tokoh di instalasi interaktif tak bisa berinteraksi dengan orang lainm alias seolah telah menjadi entitas gaib.

4. Resahnya Sinrijala dengan kondisi lingkungan sekarang disampaikan secara magis di Tengara

Karya "Tengara" yang dipamerkan dalam Festival Komunitas Seni Media (FKSM) 2024 yang berlangsung di Benteng Fort Rotterdam Makassar. (Dok. Istimewa)

Isu lingkungan tak lupa menjadi perhatian dalam FKSM 2024. Ini sangat dominan dalam Tengara karya Lintang Radittya (DI Yogyakarta), Monica Hapsari (DKI Jakarta) serta para anggota IPPM Warga Manggarabombang (Makassar). Mereka mengangkat Sinrijala, mitos buaya putih yang mendiami Sungai Tallo.

Mitos tersebut diyakini sebagai kearifan lokal untuk menjaga kepatuhan pada ekosistem dan menghindari upaya pencemaran lewat ritual-ritual seperti Appanaung ri Jeqneq dan Appanaung ri Ere. Semuanya bertujuan untuk memuliakan sungai, tempat tinggal sekaligus wilayah kekuasaan Sinrijala. Tapi, kepungan sampah kini mengancam tahta sang buaya putih.

Tengara menjadi respons atas isu tersebut. Lintang dan Monica mengajak para warga di bantaran Sungai Tallo untuk mengumpulkan sampah. Sampah tersebut kemudian diolah menjadi bagian dari karya, dan membentuk gelombang naik turun saat digerakkan. Tak lupa, irama dari tabuhan otomatis galon menyambut para pengunjung. Magis kembali terasa, seolah tengah bertamu menghadap Sinrijala yang rasa resahnya belum reda.

5. FKSM 2024 mendapat sambutan luar biasa dari warga Makassar, membuktikan seni tetap

Para penonton sedang menyaksikan film pendek "Tellurian Drama" karya Riar Rizaldi (DKI Jakarta) yang diputar dalam Festival Komunitas Seni Media (FKSM) 2024 yang berlangsung di Benteng Fort Rotterdam Makassar. (Dok. Istimewa)

Lantas bagaimana dengan respons warga Makassar kepada FKSM 2024? Berdasarkan informasi yang dihimpun IDN Times, jumlah pengunjung selama sepekan mencapai 37 ribu orang. Tentu saja ini angka yang mencengangkan untuk ukuran sebuah pameran kesenian dengan format interaktif. Kampanye di media sosial juga memberi dampak signifikan.

Namun, antusiasme istimewa tersebut memang memberi ujian. Panitia sempat kesulitan menangani crowd terutama yang hendak memasuki ruangan tempat instalasi dipamerkan. Tak heran, ini berdampak ke beberapa karya yang tak berfungsi maksimal selama beberapa hari jelang penutupan.

Antrian masuk dan pembatasan jumlah orang dalam ruangan baru diterapkan pada dua hari jelang penutupan. Tapi bisa dimengerti, lantaran membludaknya pengunjung sama sekali di luar dugaan panitia penyelenggara. Meski menghadapi antrian mengular, respons positif tetap datang dari pengunjung.

Salah satunya yakni Andi Erwin, seorang pengajar yang datang pada hari terakhir pameran. Baginya, acara tersebut menjadi kegiatan seni terunik sekaligus terbaik di Makassar sepanjang tahun ini. Ia sepakat bahwa FKSM 2024 menjadi momentum positif yang semangatnya harus selalu dijaga.

"Selain itu, disajikannya 24 karya ini membuat terobosan untuk memperkenalkan kebudayaan dari seluruh pelosok Indonesia. Pameran seperti ini perlu menjadi agenda tahunan di Makassar mengingat tingginya animo masyarakat," jelasnya kepada IDN Times.

"Adapun karya yang membahas tentang budaya Sulsel pun sangat menarik dan bahkan bisa dibilang unik. Tidak banyak yang tahu tentang budaya tersebut (di masa sekarang, red.). Oleh karena itu, pameran seperti ini hendaknya dilestarikan dan dijadikan motivasi untuk menggali budaya dari seluruh pelosok Sulsel yang minim ekspos," tandas Andi Erwin.

Masifnya respons pada FKSM 2024 membuktikan bahwa warga Makassar sebenarnya memiliki minat tinggi pada acara pameran seni. Meski cara setiap orang menikmatinya jelas berbeda-beda, bukankah datang dan berkenalan dengan seni untuk kali pertama adalah hal yang harus diapresiasi?

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ach. Hidayat Alsair
Aan Pranata
Ach. Hidayat Alsair
EditorAch. Hidayat Alsair
Follow Us