TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Pandemi, Kekerasan pada Perempuan dan Anak di Makassar Meningkat

Berbagai pembatasan mempengaruhi kerentanan psikologis

Kantor P2TP2A Makassar IDN Times/Sahrul Ramadan

Makassar, IDN Times - Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Makassar mencatat peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di masa pandemi COVID-19.

Psikolog P2TP2A Makassar Haeriyah mengatakan, peningkatan kasus terlihat antara Maret hingga Desember 2020. Jumlahnya meningkat signifikan dibandingkan periode yang sama sebelumnya.

"Peningkatannya itu pesat, bahkan sampai di atas 50 persen. Itu kalau digabung dengan klien pribadi saya, jadi 80 persen," kata Haeriyah kepada IDN Times, Sabtu (5/12/2020).

Baca Juga: Komnas Perempuan: Kekerasan Berbasis Gender Naik 63 Persen 

1. Pembatasan aktivitas di luar rumah turut memicu kekerasan

Ilustrasi perempuan alami tindak kekerasan (IDN Times/Arief Rahmat)

Haeriyahmenerangkan, peningkatan jumlah kasus kekerasan diketahui berdasarkan laporan yang ditangani kepolisian dan dilimpahkan ke P2TP2A. Peningkatan tersebut, kata dia, antara lain disebabkan pembatasan aktivitas di luar rumah.

Selama pandemi, masyarakat disarankan bekerja dan belajar di rumah. Pemerintah juga sempat menerapkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

"Orang kan boring, itu berdampak terhadap kondisi kerentanan psikologis. Kondisi kejiwaan itu sangat dipengaruhi, suka-tidak suka itu yang terjadi," ujar Haeriyah.

2. Umumnya kekerasan dialami keluarga dengan ekonomi rendah

Haeriyah psikolog P2TP2A Kota Makassar. IDN Times/Sahrul Ramadan

Haeriyah menyebut sejumlah jenis kekerasan yang kerap terjadi terhadap perempuan dan anak. Antara lain kasus sanak di bawah umur hamil di luar nikah lalu ditinggalkan, penganiayaan oleh orang tua sendiri, atau pelecehan seksual oleh orang-orang terdekat. Ada juga kasus umum seperti penganiayaan oleh suami terhadap istri.

"Apalagi kalau suaminya dipecat dari pekerjaan," ucap Haeriyah.

Dari semua kasus, kata Haeriyah, umumnya kekerasan kerap terjadi pada keluarga dengan latar belakang ekonomi kelas menengah ke bawah. Kondisi psikologis yang terganggu akibat membuat pelakunya tertekan hingga akhirnya melampiaskan kepada orang terdekat.

"Apalagi kalau rumahnya kecil, tidak bergerak ke mana-mana, hanya di ruang lingkup situ-situ saja melihat orang tuanya mengomel dan sebagainya. Itu sangat-sangat berpengaruh."

Baca Juga: Picu Kekerasan Rumah Tangga, Ini Dampak Psikologis COVID-19

Berita Terkini Lainnya