TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

IDI Makassar Bantah Tudingan Dokter Untung karena Tangani Corona

"Itu semua tidak benar dan fitnah"

Humas IDI Makassar dr Wachyudi. IDN Times/IDI Makassar

Makassar, IDN Times - Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kota Makassar angkat bicara menyikapi stigma hingga tudingan yang menimpa dokter dan tenaga kesehatahan (nakes), terkait untung besar di  balik penanganan pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit.

Humas IDI Makassar, dr Wachyudi Muchsin mengatakan, ada yang menganggap nakes dan tenaga medis rumah sakit, seperti dokter, memanfaatkan dan mendapatkan anggaran dari pemerintah pusat, dalam penetapan status pasien COVID-19. Padahal tudingan itu tidak bedasar.

"Itu semua tidak benar dan fitnah. Pertanyaannya negara dapat uang dari mana ratusan juta dikalikan semua pasien COVID-19 se-Indonesia?," kata dr Yudi dalam rilis pers yang diterima jurnalis, Sabtu (6/6).

Baca Juga: Waduh! Warga di Makassar Menjarah Cool Box Sampel Swab Pasien COVID-19

1. Ada yang menuduh penanganan COVID-19 sebagai konspirasi agar dokter untung besar

Pj Wali Kota Makassar Yusran Jusuf meninjau rapid test di Paotere Makassar, Rabu (3/6). Humas Pemkot Makassar

Yudi mengatakan, pihaknya menerima beragam komentar dan tudingan dari masyarakat. Dia menyebut, bahkan ada yang menuduh penanganan virus corona sebagai konspirasi dokter agar mendapatkan untung besar. Belakangan ini juga muncul berbagai protes dan keributan terkait penetapan status pasien.

IDI Makassar, kata Yudi, meminta masyarakat agar tidak mudah terprovokasi fitnah bahwa ada untung besar dokter serta paramedis. Dia mencontohkan beredarnya rekaman video keluarga pasien COVID-19 yang meninggal. Dalam video itu, nakes dan paramedis dituding mendapatkan kucuran dana yang sangat besar dari Kementerian Keuangan setiap pasien terkait COVID-19 yang diterima oleh rumah sakit.

"Informasi hoaks seperti itu berimbas ke dokter serta paramedis," kata Yudi.

2. Pasien COVID-19 masih dianggap sebagai aib oleh masyarakat

Bilik swab test yang dibuat oleh peneliti lintas ilmu Universitas Indonesia (Dok. Humas UI)

Menurut Yudi, faktor lain yang menjadi kecemasan di tengah kondisi sosial, karena masyarakat masih banyak yang menganggap bahwa kasus COVID-19 ini adalah aib. Stigma itu, menurutnya yang memicu amarah masyarakat, apabila ada keluarganya yang dirawat kemudian dinyatakan sebagai pasien dalam pengawasan (PDP).

Padahal disebutkan, Yudi, PDP adalah status risiko, bukan suatu diagnosis dari penyakit yang diderita pasien.

"Padahal ini bukanlah aib, melainkan musibah kita bersama. Untuk kasus yang meninggal dalam status PDP dan belum ada hasil swab-nya, memang menimbulkan dilematis bagi tenaga medis dan kegundahan bagi keluarga korban," ucapnya.

Baca Juga: Kasus Corona di Sulsel Disorot Jokowi, Nurdin: Tidak Usah Lihat Kurva

Berita Terkini Lainnya