TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Aksi Virtual Climate Strike: Saatnya Menghentikan Perusakan Lingkungan

Lingkungan rusak, krisis iklim semakin parah

Kondisi pasca banjir di Masamba Luwu Utara, Kamis (16/7/2020). Humas Pemprov Sulsel

Makassar, IDN Times - Ratusan orang muda Indonesia berunjuk rasa menyikapi global climate strike atau aksi jeda dan pemogokan iklim global. Mereka menyuarakan kedaruratan iklim yang melanda seluruh dunia, khususnya sejumlah daerah di Indonesia. Lembaga pemerhati lingkungan, individu, akademisi, hingga aktivis lingkungan dan masyarakat rentan dan terdampak kerusakan lingkungan, hadir dalam aksi virtual yang digelar pada Jumat (25/9/2020).

Kekeringan, banjir bandang, polusi dan pencemaran lingkungan lainnya menjadi sejumlah isu pokok dalam unjuk rasa virtual ini. Menurut Direktur Justice, Peace and Integrity of Creation Ordo Fratrum Minorum (JPIC-FOM) Kang Gunretno, krisis iklim yang terjadi saat ini dipengaruhi beragam faktor.

Salah satunya, politik kebijakan yang memfasilitasi kepentingan pemilik modal yang terus menerus mengembangkan strategi untuk mengekstraksi sumber-sumber alam dan manusia. "Jadi perampasan ruang-ruang hidup oleh proyek legislasi atau melalui instruksi yang dibuat semuanya menyasar pada hak dan kepentingan warga," kata Gunretno.

Baca Juga: 3 Nelayan Pulau Kodingareng Makassar Ditangkap, Perahu Ditenggelamkan

1. Perubahan iklim dan perusakan lingkungan tidak terlepas dari campur tangan perusahaan ekstraktif

ANTARA FOTO/Abriawan Abhe

Ancaman pandemik COVID-19 menurutnya, beriringan dengan krisis perubahan iklim yang sangat mencekam. Terlebih, pemerintah menurut Gunretno, belum lama ini membukakan ruang atau karpet merah kepada pemilik modal besar untuk berinvestasi, mengeruk seluruh sumber daya alam, serta ruang atau unit produksi masyarakat yang ramah lingkungan. Hal tersebut tertuang dalam sebuah regulasi atau undang-undang.

"Kita tahu akhirnya semua industri ekstraktif mulai bermunculan, investasi yang juga merambah lingkungan mengambil alih lahan-lahan produksi masyarakat, mencemari tanah, membuat hutan menjadi gundul dan berbagai macam kerusakan pada alam," ungkapnya.

Selain itu, Gunretno mengatakan, energi fosil terus menerus dipompa, diambil sehingga menyebabkan berbagai macam dampak kerusakan lingkungan dan perubahan iklim ekstrem. Mulai dari polusi udara, air hingga tanah. Upaya eksploitasi lingkungan masif, menurutnya, tidak dibarengi dengan penindakan hukum tegas. Justru melemah di hadapan pemilik modal.

Baca Juga: Walhi Minta Presiden Evaluasi soal Banjir Bandang di Luwu Utara

2. Perusakan lingkungan, perubahan masif iklim dicemaskan akan terus terjadi jika tidak ada upaya pembenahan

ANTARA FOTO/Abriawan Abhe

Ketua Pondok Pesantren Misykat Al-Anwar Roy Murtadho mengatakan, krisis iklim sudah di depan mata dan terus berjalan beriringan dengan ekspansi modal. Kekeringan, banjir bandang, perambahan hutan, hingga ekploitasi sumber daya alam lainnya yang berdampak terhadap kehidupan masyarakat tidak dibarengi dengan perbaikan kondisi.

"Selama tidak ada tendensi politik lebih maju melihat persoalan lingkungan, saya khawatir kita ini akan serba terlambat. Mestinya ada solusi konkrit, radikal dan masif yang mestinya dilakukan untuk kembali membenahi persoalan yang terjadi. Ini bisa dilakukan dan digerakkan mulai dari sekarang," ungkap Roy dalam forum yang sama.

Roy mengajak agar seluruh masyarakat lebih peka terhadap permasalahan lingkungan yang terjadi saat ini. Kesadaran tersebut, menurutnya, mesti dibarengi dengan tindakan langsung agar perusakan lingkungan yang sebagian besar disebabkan karena ekstraksi perusahaan pemilik modal, bisa menjadi bagian dari kampanye kesadaran.

Baca Juga: WALHI-KIARA Jelaskan Dampak Tambang Pasir terhadap Nelayan Kodingareng

Berita Terkini Lainnya