TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Wacana Cuti Melahirkan 6 Bulan, Apindo Sulsel: Harus Ditinjau Lagi

Pengusaha nilai cuti 6 bulan tidak efektif

Ilustrasi karyawan (ANTARA FOTO)

Makassar, IDN Times - Dalam waktu dekat, DPR RI bakal membahas Rancangan Undang-undang (RUU) Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA). Meski baru wacana, RUU ini membuat pengusaha ketar ketir lantaran salah satu pasalnya memuat hak cuti melahirkan 6 bulan dan cuti suami selama 40 hari.

Menanggapi hal tersebut, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sulawesi Selatan (Sulsel), Suhardi Astra, mengatakan RUU tersebut tetap harus ditinjau lagi karena akan berefek pada ekonomi dan produktivitas perusahaan. 

"Tentu harus dikaji karena multiefek ini. Kalau 6 bulan wanita tidak bekerja, tentu bagi perusahaan tidak produktif. Kami tetap berpandangan bahwa RUU itu tetaplah harus ditinjau lagi baik-baik," katanya kepada IDN Times, Jumat (24/6/2022).

1. Dikhawatirkan berefek pada produktivitas perusahaan

Ilustrasi Pemimpin Perusahaan. (IDN Times/Aditya Pratama)

Menurut Suhardi, cuti 6 bulan bagi pekerja perempuan yang melahirkan menghadirkan dilema tersendiri. Di satu sisi, cuti 6 bulan baik untuk memberikan ASI eksklusif demi kesejahteraan ibu dan anak. Namun di sisi lain, hal ini akan berdampak pada perusahaan. 

Cuti 6 bulan dianggap terlalu lama dan tidak efektif. Karena selama itu, karyawan yang bersangkutan tidak bekerja dan berimbas pada produktivitas perusahaan. 

"Bayangkan ini digaji. Itu kalau badan usaha padat karya tentu akan berefek produksinya. Kalau produksi menurun tentu dari sisi itu juga berpengaruh pada kinerja dari badan usaha," ucapnya.

Baca Juga: Buruh di Sulsel Menentang Aturan Baru Pencairan Jaminan Hari Tua

2. Dikhawatirkan berpengaruh saat perekrutan

Ilustrasi pelamar kerja. IDN Times/Galih Persiana

Dari sisi pekerja perempuan itu sendiri, kata Suhardi, juga tidak akan mengenakkan jika wacana itu disahkan. Dia berpandangan bahwa cuti 6 bulan itu bukan perkara si karyawan tidak bekerja namun tetap digaji, melainkan akan berpengaruh saat perekrutan tenaga kerja perempuan. 

Dengan adanya kemungkinan penurunan produktivitas akibat cuti 6 bulan, tambahnya, maka dikhawatirkan ke depannya perusahaan bakal berasumsi bahwa perekrutan tenaga kerja perempuan tidak akan membantu dalam produktivitas. Karena itu, Suhardi berharap agar pemerintah hati-hati sebelum mengambil kebijakan.

"Jadi jangan sampai nanti ada kecenderungan saat penerimaan karyawan wanita pada posisi yang tawar-menawarnya rendah. Nanti dianggap tidak produktif. Ini juga tidak mudah. Makanya tolong diperhatikan," kata Suhardi.

Baca Juga: Aksi May Day Fiesta 2022, Buruh Sulsel Bawa 17 Tuntutan

Berita Terkini Lainnya