TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Pelaku Kekerasan Seksual pada Anak di Sulsel Kebanyakan Orang Dekat

Kekerasan seksual terjadi karena relasi kuasa

Ilustrasi Kekerasan pada Anak. (IDN Times/Aditya Pratama)

Makassar, IDN Times - Kasus kekerasan seksual terhadap anak di Sulawesi Selatan masih terus terjadi. Mirisnya, kebanyakan pelaku merupakan orang yang dekat atau memiliki hubungan kekeluargaan dengan korban.

Kepala UPT Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel), Meisy Papayungan, menyatakan dari analisis kasus yang selama ini ditemui, faktor pertama terjadinya kekerasan seksual terhadap anak adalah relasi kuasa.

"Karena biasanya pelakunya adalah orang yang dikenal, orang yang punya hubungan. Jarang kasus orang yang tidak kenal. Hampir 90 persen di antaranya adalah orang yang dikenal oleh korban," kata Meisy kepada IDN Times saat ditemui di kantornya, Kamis (28/10/2021).

1. Kasus kekerasan perempuan dan anak di Sulsel masih tinggi

Ilustrasi kekerasan seksual (IDN Times/Sukma Shakti)

Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Sulsel masih tergolong tinggi. Berdasarkan data SIMFONI PPA Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, sepanjang 2021 ini tercatat ada 1.016 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Sulsel. 

Dari angka tersebut, kekerasan seksual menempati urutan kedua dengan jumlah 263 kasus. Secara keseluruhan, korban di bawah umur juga hampir mencapai 50 persen. Dari angka tersebut, ada 61 korban berusia 0-5 tahun, 137 korban berusia 6-12 tahun, dan 305 korban berusia 13-17 tahun.

Dari data tersebut juga terlihat bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak paling banyak terjadi di ranah domestik yaitu rumah tangga. Berdasarkan tempat kejadian, sebanyak 426 kasus kekerasan terjadi di rumah tangga.

Baca Juga: P2TP2A Makassar Dampingi Remaja Diduga Terlibat Prostitusi Online

2. Kekerasan seksual terjadi karena relasi kuasa

Ilustrasi kekerasan anak (IDN Times/Mardya Shakti)

Meisy mengungkapkan kekerasan seksual kepada anak terjadi karena adanya relasi kuasa dan ketimpangan gender. Selama ini, anak selalu diasosiasikan sebagai pihak yang lemah dan rentan, khususnya anak perempuan meski tak menutup kemungkinan terjadi juga pada anak laki-laki.

"Selama ini kita kenal bahwa gender perempuan, kemudian posisi anak memang rentan karena secara relasi kuasa itu memang (dipandang) lebih rendah dari laki-laki di dalam rumah. Jadi relasi kuasa itu menjadi salah satu pendorong," kata Meisy.

Pelaku yang didominasi orang dekat justru akhirnya melanggengkan relasi kuasa. Pelaku umumnya akan menganggap anak sebagai pihak yang tidak berani menolak dan melaporkan jika mengalami kekerasan seksual. 

"Di kasus-kasus yang kami tangani, ada pelaku yang mengajari anaknya bahwa 'kalau kamu tidak ikut apa yang ayah minta, kamu tuh anak durhaka karena melawan orang tua'. Itu kan abuse ya," kata Meisy.

Baca Juga: Psikolog Ungkap Tanda Kekerasan Seksual pada 3 Anak di Lutim

Berita Terkini Lainnya