TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Komnas Perempuan: Cuma 22 Persen Kasus Kekerasan Seksual Diadili

Sistem peradilan dianggap belum berpihak pada korban

Ilustrasi kekerasan seksual (IDN Times/Mia Amalia)

Makassar, IDN Times - Penghentian penyelidikan kasus tiga anak diperkosa di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan hanya satu dari sekian banyak kasus-kasus dugaan kekerasan seksual yang tidak berakhir di pengadilan. 

Hal itu disampaikan Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, dalam diskusi publik bertajuk 'Penghentian Penyelidikan Kasus Tiga Anak Diperkosa di Luwu Timur : Praktik Pengabaian atas Laporan Korban Kekerasan Seksual di Kepolisian'. Diskusi publik ini diselenggarakan LBH Makassar, Kamis (9/6/2022).

"Kasus Luwu Timur bukanlah satu-satunya. Kasus-kasus yang diadukan ke kepolisian tidak semua berakhir atau bisa diadili. Di catatan Komnas Perempuan, dari keseluruhan kasus itu 30 persen yang diadukan ke kepolisian dan 22 persen yang masuk ke persidangan. Berarti ada 70 persen yang tidak berlanjut," kata Aminah.

Baca Juga: Kasus Dugaan Perkosaan Tiga Anak di Luwu Timur Ditutup

1. Sistem peradilan tidak berpihak pada korban

Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi saat berbincang pada IDN Times, Rabu (20/10/2021)/ IDN Times Dini suciatiningrum.

Aminah menjelaskan salah satu faktor yang membuat kasus-kasus kekerasan seksual tidak sampai ke pengadilan yaitu penanganan kasus pemerkosaan dan kekerasan seksual belum fokus pada pemulihan dan hak korban. Hal seperti ini, kata dia, bukan hanya terjadi di kasus Luwu Timur tersebut.

Menurutnya, masalah utamanya berada pada sistem peradilan mulai dari substansi hukum yakni peraturan atau kebijakan tertulis maupun tidak tertulis. Kemudian, struktur dalam hal ini hukum institusi pemerintah, peradilan, dan para penegak hukum. Lalu, budaya hukum masyarakat yang terikat pada hukum, cara pandang, nilai dan kebiasaan.

"Ada permasalahan terkait dengan sistem peradilan pidana kita. Kita harus mengakui bahwa sistem peradilan pidana kita belum berpihak kepada korban, baik pada konteks substansi hukum, struktur hukum maupun budaya hukum," katanya.

2. Kasus sering terhambat di pembuktian

Ilustrasi kekerasan (IDN Times/Sukma Shakti)

Disahkannya Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) beberapa waktu lalu pun diharapkan menjadi angin segar. Pasalnya, ada beberapa hal yang dulunya tidak diatur kini telah diatur sehingga meminimalisir hambatan saat penyidikan kasus kekerasan seksual.

Aminah mengatakan UU TPKS ini sebagian besar memuat materi hukum acara khusus, mulai dari penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Dalam konteks kasus Luwu Timur, hal yang menjadi hambatan adalah sistem pembuktian. 

"KUHAP hanya mengatur lima alat bukti keterangan saksi, ahli, surat petunjuk keterangan terdakwa. Ini seringkali tidak mampu membawa kasus kekerasan seksual ke tingkat selanjutnya," katanya.

3. Sistem pembuktian diatur dalam UU TPKS

Ilustrasi kekerasan. (IDN Times/Mia Amalia)

Kasus kekerasan seksual berbeda dengan tindak kejahatan lainnya. Begitupun dengan sistem pembuktiannya yang tidak bisa disamakan dengan kasus kejahatan lain seperti pencurian karena ada nilai-nilai sosial yang melekat.

Di UU TPKS, dua alat bukti dimasukkan yaitu dokumen elektronik dan barang bukti. Jika selama ini barang bukti bukan alat bukti maka di UU TPKS telah menjadi alat bukti. Selain itu, keterangan satu orang saksi telah dinyatakan sah sebagai alat bukti begitu pula dengan surat.

"Misalnya rekam medik yang dulunya tidak dijadikan alat bukti tapi hanya menjadi petunjuk. Ini menjadi peluang bahwa kasus-kasus kekerasan seksual tidak mengalami hambatan di dalam konteks pembuktian," katanya.

Baca Juga: Kasus Dugaan Pemerkosaan di Luwu Timur Ditutup, Begini Respons KPPPA 

Berita Terkini Lainnya