TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kasus Nurdin Abdullah, ICW: Proyek Infrastruktur Lahan Basah Korupsi

ICW desak KPK usut dugaan keterlibatan Nurdin di proyek MNP

Peneliti ICW, Egi Primayogha, dalam diskusi virtual yang digelar JATAM dan WALHI Sulsel, Rabu (17/3/2021). Tangkapan layar YouTube

Makassar, IDN Times - Kasus dugaan korupsi yang menjerat Gubernur Sulawesi Selatan nonaktif, Nurdin Abdullah menjadi sorotan nasional. Nurdin ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK terkait pengadaan barang dan jasa, perizinan, serta pembangunan infrastruktur di Sulsel tahun anggaran 2020-2021.

Proyek infrastruktur, menurut data lembaga antikorupsi Indonesia Corruption Watch (ICW), masih menduduki peringkat atas kategori lahan basah praktik korupsi. Infrastruktur berada di posisi kedua setelah pengadaan barang dan jasa.

Peneliti ICW, Egi Primayogha, dalam diskusi virtual yang digelar JATAM dan WALHI Sulsel, Rabu (17/3/2021), mengatakan sekitar 17,3 persen kasus korupsi di Indonesia terkait infrastruktur yang dilakukan oleh para kepala daerah.

"Jadi ini telah menunjukkan bahwa infrastruktur menjadi lahan basah dalam hal praktik-praktik korupsi," kata Egi.

1. Sanksi untuk tindak pidana korupsi tergolong sedang

Petugas KPK menunjukkan barang bukti kasus korupsi Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah dan lima orang lainnya pada Minggu (28/2/2021) (IDN Times/Aryodamar)

Egi menjelaskan kasus Nurdin Abdullah bukan yang pertama, dan bukan tidak mungkin kasus serupa akan kembali terulang. Hal itu bisa terjadi ketika tidak ada perbaikan sistem kepartaian dan elektoral yang selama ini berlaku di Indonesia.

Fakta miris lainnnya, terang Egi, vonis hukum bagi kepala daerah yang tersandung korupsi masih tergolong kategori sedang yaitu 6 tahun 4 bulan. Hal ini dinilainya tidak akan memberikan efek jera. 

"Saya yakin ini tidak akan memberikan dampak yang baik untuk kepala daerah itu sendiri. Dalam arti mereka tidak akan memberi efek jera di situ karena vonisnya sangat sedang, tidak seperti yang kita harapkan," kata Egi.

2. Salah satu pemicu tindakan korupsi karena biaya politik mahal

Ilustrasi Koruptor (IDN Times/Mardya Shakti)

ICW menilai, korupsi yang dilakukan kepala daerah tidak dapat dilepaskan dari gelaran pemilihan umum. Sejak pemilu langsung digelar pertama kali pada 2004, biaya kontestasi politik pun semakin melambung. 

Pasalnya, tambah Egi, kandidat kepala daerah membutuhkan sokongan dana yang besar untuk kampanye, mahar kepada parpol, dan uang untuk pemilih. Hal ini pun lambat laun menjadi kebiasaan.

"Bicara soal parpol, kita juga melihat bahwa hampir semua parpol memberi sumbangan, hampir semua anggotanya atau orang yang pernah dicalonkan di Pilkada tersangkut kasus korupsi," kata Egi.

Baca Juga: Nurdin Abdullah Bantah Semua Tuduhan, Sebut KPK Menyita Uang Masjid

3. Kasus Nurdin Abdullah disayangkan banyak pihak

Tersangka Gubernur nonaktif Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah (kananh) bersiap menjalani pemeriksaan di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Jumat (5/3/2021). ANTARA FOTO/ Reno Esni

Lebih jauh Egi menerangkan, pihaknya belum bisa menyimpulkan ada utang budi yang mengikat Nurdin, meski kemungkinan itu tetap ada.

"Bisa saja dia (Nurdin) merasa perlu membayar balas budi atau yang lain sehingga ada praktik korupsi yang menyangkut dirinya," Egi menerangkan.

Jeratan korupsi yang menyeret Nurdin, juga disayangkan Egi. Lantaran selama ini Nurdin dikenal sebagai sosok yang bersih dan inovatif. Ditambah lagi dengan berbagai penghargaan yang diraihnya.

Egi yakin bahwa pencapaian Nurdin Abdullah itu dicontoh oleh banyak orang. Namun hal itu sekaligus menjadi beban moral bagi Nurdin sendiri ketika ada orang lain yang mencotoh dirinya. 

"Ketika saat ini dia tersangkut kasus korupsi, bebannya semakin bertambah. Dia mencoreng beban moral yang pernah dia miliki," kata Egi.

Baca Juga: Arman Hanis Bukan Lagi Kuasa Hukum Nurdin Abdullah

Berita Terkini Lainnya