Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Menjaga Warisan Islam, Kisah Alquran Tua di Museum Balla Lompoa

Mushaf Alquran tua yang disimpan di Museum Balla Lompoa, Kabupaten Gowa. (IDN Times/Asrhawi Muin)

Makassar, IDN Times - Di salah satu bilik Museum Balla Lompoa, Gowa, tersimpan sebuah mushaf Alquran berusia ratusan tahun. Berukuran sekitar 35 cm x 49 cm, mushaf ini cukup besar dibandingkan Alquran modern.

Terlihat jelas, huruf Hijayyah pada mushaf itu ditulis tangan secara manual. Lembaran-lembaran kertasnya tampak sudah menua dan rapuh. Seolah akan koyak jika disentuh langsung. Mushaf itu disimpan rapi dalam sebuah lemari kaca yang tertutup. 

Alquran ini bukan sekadar kitab suci, tetapi juga bukti perjalanan panjang Islam di Sulawesi Selatan. Selembar demi selembar, aksara Arab yang tertulis dengan tinta asli di atas kertas tua menjadi saksi bisu perkembangan agama Islam di wilayah ini.

Menurut Andi Jufri Tenribali, Kurator Museum Balla Lompoa, mushaf ini diduga merupakan salah satu Alquran yang dibawa ke Sulawesi Selatan oleh ulama besar dari Mekkah. Alquran ini diperkirakan diselesaikan pada tahun 1841 M oleh Syekh Ahmad Umar, seorang ulama keturunan Bugis yang lama tinggal di Mekkah. 

"Kita tahu bahwa ada ulama besar suku Bugis yang lama berada di tanah suci Mekkah. Beliau ini yang bernama Syekh Ahmad Umar berkesempatan menulis sebuah kitab suci mushaf Alquran ini, diselesaikan oleh beliau di tanah suci Mekkah," jelasnya saat ditemui di Museum Balla Lompoa, Kabupaten Gowa, Sabtu 8 Maret 2025.

1. Islam dan Kesultanan Gowa-Tallo

Museum Balla Lompoa di Kabupaten Gowa. (IDN Times/Asrhawi Muin)

Kesultanan Gowa dan Tallo resmi memeluk Islam pada tahun 1605. Jufri menuturkan Kerajaan Gowa dan Tallo merupakan kerajaan kembar. Raja Tallo ke-6, Karaeng Loe ri Sero, menjadi yang pertama bersyahadat, diikuti oleh I Mangngarangi Daeng Manrabbia atau Sultan Alauddin I, Raja Gowa ke-14. 

Sejak saat itu, Islam berkembang pesat di Sulawesi Selatan, khususnya di wilayah Gowa-Tallo dengan dukungan tiga ulama besar dari Minangkabau, yaitu Datuk Ri Bandang, Datuk Ri Tiro, dan Datuk Patimang. Mereka diutus oleh Sultan Aceh Darussalam, Sultan Iskandar Muda, untuk menyebarkan ajaran Islam di wilayah ini.

Mushaf Alquran menjadi bagian tak terpisahkan dari Islamisasi Gowa-Tallo. Setiap kerajaan atau kesultanan memiliki Alquran sebagai identitas keagamaan mereka. Keberadaan Alquran di istana seolah menegaskan bahwa Islam telah mengakar di dalam sistem kerajaan. 

"Alquran itu kehadirannya variatif. Kita tidak tahu secara kebenaran kapan, tapi setiap kesultanan atau kerajaan harus memiliki mushaf Alquran. Di Kerajaan Gowa sendiri, sekalipun sudah menjadi kerajaan Islam, berarti sudah kesultanan, jelas harus memiliki identitas keagamaan secara resmi yaitu Alquran," kata Jufri.

2. Keunikan mushaf kuno

Mushaf Alquran tua yang disimpan di Museum Balla Lompoa, Kabupaten Gowa. (IDN Times/Asrhawi Muin)

Salah satu keunikan mushaf Alquran di Museum Balla Lompoa ini adalah proses pembuatannya yang sangat teliti. Tulisan ditorehkan dengan tangan menggunakan tinta alami, yang hingga kini masih diteliti komposisinya. 

Proses penulisannya juga rumit dan memakan waktu bertahun-tahun. Mushaf ini ditulis dengan menggunakan kalam yaitu alat tulis yang dibuat dari tulang daun lontar. 

"Kalam ini digunakan penulis, kalam dicelupkan pada tinta, lalu ditulis pada lembaran kertas. Jadi masih menggunakan cara tradisional ya," kata Jufri.

Karena menggunakan metode tradisional, maka prosesnya tidak boleh salah. Jika ada kesalahan, maka proses penulisan harus diulang dari awal. Karena itu, hanya ulama besar yang punya kompetensilah yang harus menulisnya dengan sangat hati-hati.

"Tidak bisa salah, maka itu penulisan sebuah mushaf Alquran itu mengandung waktu yang panjang, apalagi satu Alquran berarti 30 juz itu bisa membuka waktu yang paling banyak," kata Jufri.

Selain mushaf yang ditulis oleh Syekh Ahmad Umar, ada juga Alquran lain yang diduga ditulis oleh Syekh Zainal Abidin, ulama besar keturunan Bugis. Mushaf ini kini berada di Jakarta untuk proses konservasi guna mencegah kerusakan lebih lanjut.

"Beliau mnyerahkan satu mushaf ini kepada Raja Gowa, sementara ini berada di pusat kepustakaan di Jakarta untuk dilakukan upaya pelestarian. Jadi yang ada sekarang di sini akan kita kirim juga ke Jakarta untuk dilakukan tindakan penyelamatan penuh," kata Jufri.

3. Tantangan dalam pelestarian

Andi Jufri Tenribali, Kurator Museum Balla Lompoa. (IDN Times/Asrhawi Muin)

Merawat mushaf tua bukanlah hal mudah. Jufri, yang telah menjadi kurator selama lebih dari 20 tahun, menjelaskan bahwa kondisi mushaf yang sudah berusia ratusan tahun memerlukan perawatan khusus. 

Dia mengatakan merawat benda-benda bersejarah tidak bisa sembarangan. Harus ada ahli yang mengerti cara menjaga manuskrip kuno. Salah satu langkah sederhana yang diterapkan pihak museum yaitu membuka lemari penyimpanan agar ada sirkulasi udara.

"Kondisinya memang perlu perawatan. Caranya kita memelihara minimal adalah membuka pintu lemari supaya udara bisa sirkulasi. Kalau tidak begitu akan terjadi pengaruh, bisa rusak apalagi sudah ratusan tahun ini," ungkapnya.

Jufri menegaskan bahwa perawatan mushaf Alquran tersebut harus mendapat petunjuk dari ahlinya. Kecuali jika bahannya non kertas, maka pihak museum bisa merawat sendiri.

"Ada orang spesialis dan layak dipercaya, karena ada satu sikap orang-orang Makassar, utamanya orang istana, sangat menghormati kitab suci tersebut. Maka perlu suatu sikap yang harus mempunyai keahlian. Kalau di sini, saya yang dipercaya," kata Jufri.

4. Menelusuri jejak mushaf lainnya

Andi Jufri Tenribali, Kurator Museum Balla Lompoa. (IDN Times/Asrhawi Muin)

Keberadaan mushaf kuno di Sulawesi Selatan tidak hanya terbatas pada Museum Balla Lompoa. Jufri dan timnya berencana mengadakan survei ke berbagai wilayah bekas kekuasaan Kerajaan Gowa untuk mencari mushaf-mushaf lainnya yang mungkin masih tersimpan di komunitas tertentu. 

Dulu, kata Jufri, Alquran tidak hanya ada di istana, tetapi juga disebarkan ke berbagai tempat untuk pengajaran agama. Kini, pihaknya ingin melacak dan menyelamatkan manuskrip-manuskrip ini agar bisa terjaga dengan baik.

"Orang-orang dulu selalu memiliki sikap sangat hormat kepada kitab suci. Disimpan baik-baik pada komunitasnya sendiri. Maka kami ada upaya untuk survei kalau perlu bagaimana bisa diberikan pemahaman supaya barang lestari ini harus ditempatkan di Museum Istana Balla Lompoa," katanya. 

Upaya pelestarian ini bukan hanya demi sejarah, tetapi juga untuk menjaga warisan intelektual dan spiritual umat Islam di Sulawesi Selatan. Di balik lembaran-lembaran mushaf tua ini, tersimpan jejak perjalanan sebuah peradaban yang harus terus dilestarikan.

"Wilayah kerajaan dulu dipelihara menjadi identitas mereka. Nah sebagian kami ada simpan di sini, ada juga sudah memerlukan pemeliharaan," katanya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ashrawi Muin
Aan Pranata
Ashrawi Muin
EditorAshrawi Muin
Follow Us