Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Cerita Jurnalis SCTV di Palu, Dihina karena Wawancara Pakai HP Cina

Sejumlah jurnalis berunjuk rasa di Jalan Gubernur Suryo, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (25/9/2019). ANTARA FOTO/Didik Suhartono
Intinya sih...
  • Jurnalis senior SCTV di Kota Palu, Syamsudin Tobone, mengalami penghinaan dari pejabat kepolisian karena merekam wawancara menggunakan ponsel pintar buatan Cina.
  • Kombes Pol Dodi Darjanto menolak diwawancarai dengan alasan ponsel yang digunakan oleh Syamsudin tidak canggih, padahal ponsel tersebut adalah VIVO keluaran terbaru.
  • Kapolda Sulawesi Tengah, Irjen Pol Agus Nugroho, turun tangan untuk menindaklanjuti kasus ini dan Kombes Dodi Darjanto akhirnya dicopot dari jabatannya sebagai Dirlantas Polda Sulawesi Tengah.

Makassar, IDN Times - Pagi itu, Syamsudin Tobone, jurnalis senior SCTV di Kota Palu, Sulawesi Tengah, bersiap menjalankan tugas rutinnya. Dia hendak meliput hari pertama Operasi Patuh Tinombala 2024 yang digelar Direktorat Lalu Lintas (Ditlantas) Polda Sulawesi Tengah. 

Syamsudin membawa ponsel pintar andalannya. Alat yang setia menemaninya dalam setiap liputan, menggantikan kamera besar yang dulu dianggap wajib oleh jurnalis televisi.

Namun, hari itu menjadi hari yang tak terlupakan. Sebuah komentar dari seorang pejabat tinggi kepolisian memantik emosi Syamsudin. Pejabat itu melontarkan hinaan hanya karena Syamsuddin merekam wawancara menggunakan HP produksi Cina. 

Syamsuddin pun menceritakan kronologi kisahnya kepada IDN Times saat diwawancarai via telepon, Minggu (8/12/2024).

1. Dihina karena merekam wawancara pakai HP Cina

ilustrasi orang memegang gadget (pexels.com/Pixabay)

Rabu pagi, 17 Juli 2024, di Tugu Nol Kota Palu, Syamsudin bertemu Kombes Pol Dodi Darjanto, yang saat itu menjabat Direktur Lalu Lintas Polda Sulawesi Tengah. Janji wawancara telah diatur melalui Humas Polda. 

Seperti biasa, Syamsudin mengeluarkan ponselnya, siap merekam keterangan resmi. Namun, respons yang dia terima mengejutkan. 

"Loh kamu wawancara saya pakai HP? Saya jawab 'Iya Pak, kenapa? Dia bilang 'Saya tidak mau diwawancarai kalau pakai HP. Apalagi HP mu itu HP Cina. Itu bahasa yang pertama terlontar," kata Syamsuddin menirukan nada mencibir dari Kombes Dodi.

Syamsudin pun tertegun, merasa alat kerjanya diremehkan. Selama ini, tidak pernah ada narasumber yang mempermasalahkan alat yang digunakannya. 

Namun kali ini berbeda. Kombes Dodi terus mengulang pernyataannya. Dia bahkan menyarankan agar atasan Syamsudin mengganti alat kerjanya dengan 'HP yang canggih'.

"Katanya 'Kasih tahu direkturmu supaya ganti dengan HP yang canggih'. Dia bukan suruh saya pakai kamera televisi yang canggih tapi HP yang canggih. Berarti HP saya dianggap tidak canggih. Padahal HP saya VIVO keluaran terbaru waktu itu, kualitas gambarnya bagus dan saya sudah pakai berkali-kali," kata Syamsudin mengenang momen itu.

2. Pelecehan terhadap profesi jurnalis

Ilustrasi profesi jurnalis. (IDN Times/Arief Rahmat)

Bagi Syamsudin, ponsel bukan sekadar alat komunikasi. Dalam dunia jurnalistik modern, ponsel telah menjadi bagian dari revolusi teknologi sebab praktis, cepat, dan efisien. 

Liputan, pengeditan, hingga pengiriman gambar ke redaksi dapat dilaksanakan dalam hitungan menit. Namun, komentar Kombes Dodi menyentuh sesuatu yang lebih dalam. Baginya, ini bukan hanya soal alat, tapi soal penghargaan terhadap profesi.

"Ini pelecehan profesi. Baru kali ini, saya mengalami perlakuan seperti ini," ujar Syamsuddin.

Setelah wawancara selesai, rasa tidak nyaman terus menghantui Syamsuddin. Dia merasa perlu menyuarakan apa yang dialaminya. 

Kronologi kejadian pun dia tulis dan bagikan kepada rekan-rekan wartawan di Palu. Berita tentang pelecehan itu segera menyebar luas.

"Setelah saya buatkan kronologinya, saya bagikanlah ke grup wartawan Palu. Mereka buat ramai-ramai itu berita. Mereka sempat konfirmasi ke Dirlantas cuma kan hampir semuanya tidak ada direspon," ujarnya.

3. Solidaritas wartawan dan tindakan tegas Kapolda mencopot Dirlantas

Ilustrasi pekerjaan jurnalis. (IDN Times/Arief Rahmat)

Syamsudin tidak sendirian. Organisasi jurnalis, rekan-rekan media, dan bahkan kantor pusat SCTV di Jakarta memberi dukungan penuh. Kapolda Sulawesi Tengah, Irjen Pol Agus Nugroho, juga turun tangan dengan mengundang Syamsudin untuk membahas insiden tersebut.

Awalnya, dia sempat curiga dengan ajakan bertemu dari Kapolda. Dia curiga bakal ada ajakan untuk mendamaikan kasus ini. Karena itu, dia tak ingin ada tawar-menawar terkait kasus ini. 

"Tapi beliau (Kapolda) bilang 'Saya panggil justru karena saya juga mau menindaklanjuti. Saya tidak mau juga situasi saya di sini yang selama ini sudah terbangun bagus dengan media malah dirusak dengan anggota ini," kata Syamsudin menirukan ucapan Kapolda. 

Syamsudin benar-benar menuntut agar Kapolda bersikap tegas dalam menindaklanjuti kasus ini. Jangan sampai, kasus serupa terulang lagi di kemudian hari. Dia tak ingin sikap Kapolda hanya sekedar janji lisan.

Hanya dalam waktu seminggu, langkah tegas diambil. Kombes Dodi Darjanto dicopot dari jabatannya sebagai Dirlantas Polda Sulawesi Tengah. Dia juga dimutasi ke daerah lain.

"Dia (Kapolda) bilang 'Pak Syam, percaya saja sama saya. Saya akan menindaklanjuti kasus ini'. Beberapa hari kemudian muncul SK pencopotannya sebagai Dirlantas. Saya juga dikirimkan dari Jakarta TR mutasi. Setelah itu, saya tidak ikuti lagi perkembangannya," kata Syamsudin.

4. Menjadi pelajaran berharga agar saling menghargai

ilustrasi jurnalis (pexels.com/Terje Sollie)

Bagi Syamsudin, insiden ini lebih dari sekadar persoalan pribadi. Ini adalah pengingat bahwa penghargaan terhadap profesi adalah fondasi penting dalam hubungan antara jurnalis dan pejabat publik.

Setelah berita tersebut viral, Kombes Dodi mencari Syamudin bahkan mengutus staf untuk mendatanginya dan membawakan uang dan barang. Namun dia dengan tegas menolaknya.

Kombes Dodi juga mendatangi rumahnya untuk meminta maaf secara pribadi dan meminta supaya kasusnya dihentikan. Namun, masalah ini sudah terlanjur terjadi dan tidak bisa dihentikan begitu saja. 

"Saya bilang tidak bisa. Ketika saya meminta kantor menghentikan masalah ini tentu mereka curiga jangan-jangan saya sudah dikasih sesuatu. Saya tidak mau, saya bilang, Bapak ambil saja hikmahnya peristiwa ini," katanya.

Dia menegaskan bahwa inilah konsekuensi yang harus diterima Kombes Dodi berkat ulahnya sendiri. Sejak awal, Syamsudin hanya ingin menjalankan tugasnya sebagai jurnalis dengan mewawancarai Kombes Dodi selaku narasumber. 

"Kalau pun ternyata ada konsekuensi yang Bapak terima, anggaplah itu pembelajaran buat Bapak dan saya juga. Kita harus saling menghargai. Kalau Bapak mau dihargai, hargai dulu orang. Saya juga begitu. Jangan kita merasa di atas orang lain," kata Syamsudin.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Irwan Idris
Ashrawi Muin
Irwan Idris
EditorIrwan Idris
Follow Us