TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Penanganan Kasus Penganiayaan Anak di Minahasa Utara Dikritik

DP3A dan Polres dinilai lambat menangani kasus

ilustrasi kekerasan (IDN Times/Nathan Manaloe)

Manado, IDN Times – Penanganan kasus penganiayaan kepada remaja AR (14) di Desa Tatelu, Minahasa Utara, Sulawesi Utara, dinilai lambat. Pasalnya, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) dan Polres Minut, baru bergerak satu bulan setelah penganiayaan yang terjadi pada 13 Oktober 2022.

Korban justru mendapatkan pendampingan sejak awal kasus oleh Gerakan Perempuan Sulut (GPS). Padahal, ibu korban melaporkan penganiayaan tersebut ke polisi pada tanggal 14 Oktober 2022.

“Ibu korban sudah melapor tapi tidak ada respon apa-apa. Faktanya kalau tidak ada dorongan masyarakat, itu kasus tidak jalan,” kata Staff Database LSM Swara Parampuang (Swapar), Nurhasanah, Jumat (25/11/2022).

Saat ini, Swapar yang juga tergabung dalam GPS, terus mengawal agar kasus tersebut tetap ditangani secara hukum. Sebelumnya, diketahui bahwa 7 tersangka tidak ditahan dan hanya wajib lapor karena masa hukuman hanya 3 tahun 6 bulan.

Baca Juga: Polres Minahasa Utara Tetapkan 7 Tersangka Penganiayaan Anak Perempuan

1. Korban sempat dirujuk ke UPTD PPA Sulut namun menolak

Konferensi pers Polres Minut kasus remaja digunduli dan diarak di Desa Tatelu, Dimembe, Minut, Sulawesi Utara, Selasa (22/11/2022). IDNTimes/Savi

Sebelum penganiayaan, korban dan ibunya diketahui tinggal di halaman rumah salah satu pelaku. Namun karena dituduh mencuri, korban dan ibunya diusir dari rumah pelaku. Kini, ibu korban pindah ke Tomohon sedangkan AR tinggal di Bitung mengikuti keluarganya yang lain.

Kepala DP3A Minut, Hanny Tambani, mengatakan bahwa pihaknya sudah mendatangi korban di Bitung dengan membawa psikolog klinis dan tim doa. Usai penganiayaan dan pengarakan terjadi, korban sempat dirujuk ke UPTD PPA Sulut, namun tidak mau karena masih trauma.

“Sekarang keadaannya sudah lebih baik dibanding waktu awal,” kata Hanny Tambani.

2. DP3A Minut dinilai tidak proaktif

Seorang remaja yang dituduh mencuri handphone di Desa Tatelu, Dimembe, Minut, Sulawesi Utara, digunduli sebelum diarak keliling kampung. IDNTimes/Istimewa

Meski korban sudah pindah tempat tinggal, kini para pelaku terus meneror dengan mendatangi keluarga untuk meminta mereka mencabut laporan. Hal ini diungkapkan oleh Aktivis GPS, Jean Maengkom. Adanya teror tersebut menunjukkan bahwa kondisi korban saat ini masih belum aman.

GPS menilai, DP3A Minut seharusnya lebih proaktif kepada korban, sehingga tidak ada alasan korban tidak mau didampingi. “Fakta di lapangan, ketika GPS menangani kasus tersebut bisa langsung bertemu dengan korban,” ucap Jean Maengkom.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Nurhasanah. Ia menilai pendekatan yang dilakukan DP3A Minut kurang atau belum tepat sehingga korban lebih memilih didampingi oleh LSM. Di sisi lain, Jean Maengkom menegaskan bahwa para pelaku harus dihukum supaya ada efek jera.

Hal itu juga bisa menjadi pembelajaran untuk orang lain agar tidak main hakim sendiri. Pasalnya, ketika AR diarak, tidak ada satupun warga yang membela korban, hanya menjadikan AR sebagai tontonan.

“Makanya perlu penanganan komprehensif, harus ada pendidikan untuk masyarakat. Kalau ada persitiwa seperti itu harus ada tindakan,” ujar Jean Maengkom.

Berita Terkini Lainnya