TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Guru Besar UIN Palu: Politik Identitas Bahaya Laten Pemecah Bangsa

Prof Lukman S Thahir ingatkan bahaya politik identitas

Ilustrasi politik. (Unspalsh/Maarten van den Heuvel)

Makassar, IDN Times - Politik identitas berdampak buruh pada persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Demikian disampaikan Guru Besar Ilmu Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng), Prof. Lukman S. Thahir.

Menurut Lukman, politik identitas dapat menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat akibat konflik yang menyangkut isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

"Politik identitas akan mengelompokkan masyarakat menjadi dua bagian dan menjatuhkan lawan dengan hal yang berkaitan dengan identitas, dengan inisialnya masing-masing, sebagai strategi yang efektif dan sangat bersifat emosional untuk mendapatkan suara terbanyak," kata Lukman, dikutip ANTARA, Jumat (30/9/2022).

1. Politik identitas untuk kepentingan kelompok tertentu

Prof Lukman S Thahir, Guru Besar Filsafat UIN Datokarama Palu, Sulawesi Tengah (kanan)/Kemenag.go.id

Menurut Lukman, saat ini merebak isu politik identitas yang mengacu pada kepentingan identitas kelompok tertentu. Politik identitas adalah strategi yang lebih mengutamakan kepentingan kelompok yang didasarkan pada kesamaan identitas, seperti agama, gender, dan budaya.

Bahaya laten politik identitas tersebut, menurutnya, dapat memicu konflik dan perpecahan, apabila dibiarkan terus menerus dan tidak diintervensi dengan narasi positif. Akibatnya, relasi antarumat beragama akan terpecah yang pada akhirnya mengancam kestabilan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

"Maka, (politik identitas) harus dilawan, salah satunya dengan konten atau narasi yang kontra-politik identitas," Lukman menerangkan.

2. Simbol-simbol agama sering digunakan dalam politik identitas

Gedung Rektorat UIN Datokarama Palu, Sulawesi Tengah/uindatokarama.ac.id

Lebih jauh Lukman menjelaskan, politik identitas dengan mengatasnamakan isu agama, katanya, biasanya mengutamakan kepentingan politik yang dibumbui dengan berbagai ayat dan simbol-simbol agama. Bagi para pendengarnya, hal itu dirasa berbau surgawi, sehingga mengakibatkan mereka yang terpengaruh tidak merasakan bahaya mengancam bagi diri mereka.

"Model pendekatan politik seperti ini, lambat atau cepat, akan mencederai dan mengkotak-kotakkan masyarakat; yang akhirnya merusak tatanan hidup masyarakat," katanya.

Lukman pun mengingatkan penyelenggara pemilu, partai politik, tokoh agama, tokoh masyarakat, serta pemerintah untuk mengedukasi masyarakat agar tidak terbuai dengan narasi-narasi politik identitas.

Baca Juga: Dosen Politik Unhas: Kalau Pemilu Mau Murah, Gak Masuk Akal

Berita Terkini Lainnya