TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Jalan Panjang Para Korban Westerling di Sulsel Mencari Keadilan

Aksi polisionil berdarah masih memberi trauma hingga kini

Seorang veteran bersama keluarganya melintas di depan Monumen Korban 40.000 Jiwa usai mengikuti upacara peringatan pembantaian Korban 40.000 Jiwa di Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (11/12/2019). (ANTARA FOTO/Arnas Padda)

Makassar, IDN Times - Aksi polisionil berdarah regu Depot Specialen Troepen (DST) pimpinan Kapten Raymond Westerling di Sulawesi Selatan, pada Desember 1946 hingga Maret 1947, seolah tak ada habisnya dibahas. Cerita saksi mata pembantaian pun selalu mengundang simpati, dan bahkan kemarahan.

Upaya mencari keadilan sebenarnya sudah dimulai sejak dekade 1950-an, atau ketika cerita aksi Westerling di Sulsel mulai dibahas media-media Eropa. Kapten didikan Inggris itu nyaris ditangkap oleh militer Indonesia di Tanjung Priok Jakarta. Saat itu ia hendak kabur menggunakan pesawat amfibi Kerajaan Belanda pada Januari 1950.

Namun, unit khusus bentukan intelijen APRIS kalah gesit dibanding jurus langkah seribu milik "Si Turki", julukan Westerling. Dalam pelariannya, ia sempat menetap cukup lama di Singapura.

1. Perdana Menteri RIS, Mohammad Hatta, sudah mengupayakan mengekstradisi Westerling yang kabur ke Singapura

Ilustrasi Mohammad Hatta (IDN Times/Arief Rahmat)

Kabar Westerling sedang ngaso di Singapura kontan membuat murka para anggota DPR. Mereka bertanya pada kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS) perihal langkah diplomatik apa yang bisa ditempuh. Ini demi menyeret Westerling untuk dihakimi di bawah yurisdiksi dalam negeri.

Mohammad Hatta, Perdana Menteri RIS, dalam sidang pleno tanggal 11 Maret 1950 menjabarkan bahwa pemerintah ingin menahan Westerling sebagai individu yang melakukan kejahatan kemanusiaan. Ini sekaligus menampik kemungkinan melihat kasus ini dari perspektif politis kental.

"Westerling tidak dapat kita anggap sebagai politikus. Tapi di belakangnya mungkin ada gerakan yang menggunakan dia sebagai pion untuk melakukan (hal) yang berdasarkan politik," ungkap Hatta menjawab pertanyaan Basri, seorang anggota DPR RIS asal Sulsel.

"Yang kita akan kemukakan ke pemerintah Inggris (waktu itu Singapura masih dibawahi langsung oleh Inggris, red.) ialah, bahwa kita akan mengadilinya sebagai orang yang melakukan (tindak) kriminal biasa," lanjut Hatta.

2. Raymond Westerling dibawa pulang ke Belanda pada Agustus 1950 untuk diadili atas dakwaan desersi

Kapten Raymond Westerling, seorang perwira Belanda dan pemimpin regu Depot Speciale Tropen (DST), dalam sebuah acara militer di Bandung pada 16 November 1948. (Netherlands Institute for Military Historie)

Yang jadi dasar kebijakan ini adalah perjanjian yang diteken oleh pemerintah Hindia-Belanda dan Inggris untuk urusan di Selat Singapura pada dekade 1860-an. Perjanjian tersebut mengatur dua hal.

Pertama, persetujuan tentang penyerahan para penjahat. Kedua, persetujuan tentang perlakuan yang sama untuk kapal-kapal yang berasal dari kedua negara, berbendera Hindia-Belanda atau Inggris.

Berbeda dengan ekspektasi, rencana tersebut urung terealisasi. Tahun 1950 jadi memang tonggak dimulainya peralihan kekuasaan dari pasca Konferensi Meja Bundar. Tapi, perjanjian antara Belanda-Indonesia yang diteken memaksa pemerintah pimpinan Soekarno berjanji tak mengungkit kejahatan perang yang dilakukan oleh kedua belah pihak.

Dengan ini, upaya menyeretnya sebagai penjahat perang dengan motif politis pun menguap. Inggris pun menolak mentah-mentah permintaan ekstradisi. Ia "dikirim" pulang ke Belanda menggunakan kapal laut pada Agustus 1950 untuk diadili atas dakwaan desersi. Namun ia sempat "menghilang" di Mesir selama sepuluh bulan sebelum terlihat di Belgia pada pertengahan 1951.

3. Penyelidikan tentang kekejaman regu pimpinan Westerling sudah dilakukan oleh pemerintah Belanda pada 1954

Suasana interogasi yang dilakukan pasukan Infanteri XV dan Depot Speciale Tropen pimpinan Kapten Raymond Westerling saat menyambangi kampung Salomoni di daerah Barru, 12 Februari 1947. (Netherlands Institute for Military History)

Waktu berlalu, luka dan trauma korban masih belum sembuh. Mulai dekade 1950-an akhir, beberapa sejarawan Belanda datang langsung ke Sulsel. Mereka mewawancarai penduduk yang jadi saksi mata aksi regu pimpinan Westerling. Pengakuan tersebut kemudiam mengubah persepsi penduduk Negeri Kincir Angin tentang aksi "Si Turki."

Pemerintah Belanda bahkan melakukan penyelidikan langsung di Parepare pada 1954. Dalam laporan setebal 24 halaman, mereka merinci kengerian yang disaksikan penduduk dengan mata kepala sendiri. Salah satu korbannya adalah Andi Makkasau, seorang Datu' (penguasa) Kerajaan Suppa yang waktu itu menjabat sebagai kepala Pusat Keamanan Rakyat setempat. Ia diekskusi mati oleh regu DST, dan jasadnya sempat terombang-ambing di pesisir Parepare.

Angka korban boleh saja simpang siur, namun nyawa manusia tetaplah nyawa. Saat sorotan kembali diarahkan ke dirinya, Westerling rela meladeni berjam-jam wawancara dengan jurnalis untuk menjelaskan aksinya di Sulsel. Sejumlah buku memoar pun ditulisnya.

Westerling tutup usia di Pumerend, Belanda, pada 26 November 1987, di usia 68 tahun. Tapi, itu tak menghalangi usaha kelompok pencari fakta dan pegiat HAM untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya di Sulsel.

Berita Terkini Lainnya