TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Sikap Polda Sulsel soal Penganiayaan Dosen UMI Makassar

AM, dosen di Makassar jadi korban kekerasan

Ilustrasi. Polisi terlibat bentrok dengan demonstran dalam unjuk rasa di depan Kantor DPRD Sulsel. IDN Times/Sahrul Ramadan

Makassar, IDN Times - Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan buka suara menyikapi kasus dugaan penganiayaan yang dilakukan aparat terhadap AM, dosen Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar. Kabid Humas Polda Sulsel Kombes Ibrahim Tompo mengaku prihatin atas kejadian tersebut.

Terlepas dari itu menurut Ibrahim, ada hal-hal mendasar yang harusnya dipahami di balik kejadian tersebut. "Terkait dengan prosedur penanganan unjuk rasa apalagi dengan chaos dan ribut seperti itu, kita sudah punya standar," kata Ibrahim kepada jurnalis di Makassar, Selasa (13/10/2020).

1. Polisi telah mengimbau agar perusuh demo dan masyarakat membubarkan diri

Polisi mengamankan demonstrasi Omnibus Law berujung bentrok di depan Kantor DPRD Sulsel. IDN Times/Sahrul Ramadan

AM, dosen di FH UMI menjadi korban penganiayaan saat aparat kepolisian membubarkan aksi unjuk rasa tolak Omnibus Law UU Cipta Kerja, di Jalan Urip Sumoharjo, Kamis, 8 Oktober 2020, lalu. Ibrahim bilang, pihaknya telah mengimbau agar perusuh dalam unjuk rasa membubarkan diri, begitupun dengan masyarakat yang tidak berkepentingan agar meninggalkan lokasi demonstrasi.

Imbauan itu, kata Ibrahim, disampaikan melalui mobil dengan alat pengeras suara. Ibrahim menyebut, suara imbauan itu mempunyai jarak jangkau kurang lebih dua kilometer. "Yang terdengar cukup nyaring dan semua jelas. Kemudian disemprotkan dengan water canon air kepada orang-orang perusuh," ucap Ibrahim.

Baca Juga: Kasus Dosen Dianiaya, Mahasiswa UMI Makassar Demo Tutup Jalan

2. Polisi tembakkan gas air mata untuk mengurai massa

Bentrok susulan demonstran dengan polisi di depan Kantor DPRD Sulsel. IDN Times/Sahrul Ramadan

Prosedur pengamanan unjuk rasa lanjut Ibrahim, dilanjutkan dengan menembakkan flash ball atau gas air mata. Hal itu dilakukan untuk semakin mengurai massa agar segera membubarkan diri. "Kemudian barulah dilakukan upaya-upaya pendorongan ke belakang, agar massa bubar," ujar Ibrahim.

Setelah tahapan itu, lanjut Ibrahim, petugas akhirnya mulai menyisir sejumlah lokasi dan menangkap pengunjuk rasa yang dianggap membandel. "Dengan prosedur yang kita lakukan itu, seseorang yang normal (paham) mungkin akan meninggalkan tempat itu," imbuh Ibrahim.

Karena kondisi yang begitu kacau, menurut Ibrahim, petugas akhirnya mencurigai semua yang masih bertahan di lokasi kejadian unjuk rasa. Terlebih petugas lapangan telah berulang kali mengimbau agar siapapun yang tidak berkepentingan meninggalkan lokasi kejadian.

Baca Juga: IKADIN Sulsel Kecam Brutalitas Polisi ke Dosen saat Demo UU Ciptaker

Berita Terkini Lainnya