TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

NFT di Mata Seniman Virtual Maros yang Karyanya Mendunia

Memahami sistem NFT tak semudah yang dibayangkan

Firman Hatibu, seniman vektor art dan desain grafis asal Sulawesi Selatan, bersama beberapa karyanya. (Dok. Pribadi)

Makassar, IDN Times - Fenomena Non-Fungible Token alias NFT belakangan jadi perbincangan hangat di media sosial. Ghozali Everyday yang viral karena berhasil mendapatkan miliaran rupiah dari hasil menjual foto selfie sejak tahun 2017 sampai 2021 dianggap sebagai ikon kesuksesan dari platform digital tersebut.

Di Indonesia, NFT kian ramai diperbincangkan khalayak. Namun barang digital yang dijual belikan dengan teknologi blokchain itu kerap disalahartikan segelintir orang. Ada yang bahkan nekat mengadu peruntungan dengan menjual data pribadi, seperti KTP. Alih-alih mendapat keuntungan, orang itu justru mendapat cibiran dari warganet.

Lantas, bagaimana sebenarnya sistem kerja sederhana NFT agar kita bisa mendapat cuan? Apakah algoritmanya sama dengan sejumlah platform penjualan digital lainnya?

IDN Times berkesempatan untuk berbincang seniman virtual asal Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Firman Hatibu. Dia merupakan pegiat seni yang karyanya telah mendunia. Kalau kamu membuka aplikasi CorelDraw dan muncul poster saat loading, itu adalah karyanya.

Baca Juga: Firman Hatibu, Seniman Asal Maros Sulsel yang Karyanya Mendunia

1. Memahami sistem kerja NFT rumit meski hasilnya menjanjikan

lesastucesdecresus.fr

Firman Hatibu berbagi pengalaman tentang kerumitan di NFT. Secara sederhana, dia mengatakan sistem kerjanya berbeda dengan media sosial yang banyak digunakan orang mengunggah foto, video, atau berkas lainnya.

"NFT itu sebenarnya bukan seperti platform pada umumnya yang seperti ada karya langsung posting," kata Firman saat dihubungi, Jumat malam (21/1/2022).

Firman mengatakan, selain harus mengunggah karya orisinal, member juga mesti menyiapkan beberapa akun paltform lain. Seperti E Wallet atau dompet virtual untuk menyiapkan dana. Setiap hendak memasukkan karya pun mesti membayar.

"Itu tidak gratis. Kalau banyak karya bayar juga, kemudian ada biaya adminnya juga ke situsnya," ucap pria 38 tahun ini.

Member, kata Fiman lebih dulu membeli semacam mata uang yang disediakan NFT. Beberapa di antaranya seperti Ethereum. Bila dijual atau di rupiahkan, 1 etherium seharga 40-an juta. Setiap karya yang bakal diunggah pun lebih dulu dipungut pajak sebelum dijual ke platform lain seperti Opensea dan semacamnya.

2. Pasar karya di NFT biasanya adalah kolektor dan ilustrator

Proses kreatif Firman Hatibu, seniman vector dan ilustrator asal Sulawesi Selatan. (Dok. Pribadi)

Secara sederhana, kata Firman, setiap karya yang dipamerkan untuk dijual, semestinya disertai dengan penjelasan yang sangat detail. Semakin aneh karya atau absurd dan berbeda dengan yang lainnya maka semakin besar pula kemungkinan ada yang tertarik membeli.

"Karena pasarnya memang beda. Macam kadang karya tidak masuk akal, loh, kenapa ada yang suka," ucapnya.

Sepengetahuan Firman, pasar NFT biasanya dimintai oleh kolektor hingga ilustrator. Namun lagi-lagi, keindahan karya menurut member, bukan menjadi patokan ada atau tidaknya peminat.

"Itu tadi kerumitannya. Makanya kan kadang orang bingung kenapa karyanya nda jelas tapi kok bisa laku," ujar Firman.

Dia merujuk dalam contoh kasus Gozali Everyday yang memamerkan foto diri sendiri di tengah lautan karya lainnya. Namun, karena keberuntungan dan peminat keanehan NFT yang begitu banyak sehingga foto itu laku.

"Jadi bukan patokan juga karena aneh terus laku," ungkap Firman.

Baca Juga: Mengenal OpenSea, Tempat Jual-Beli NFT yang Hype Abis!

Berita Terkini Lainnya