Kasus Kekerasan Terhadap Jurnalis Selama 2020 Terburuk Pascareformasi
Pelaku kekerasan terhadap jurnalis didominasi polisi
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Makassar, IDN Times - Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS) Jakarta menggelar diskusi virtual bertajuk "Wartawan Dalam Kekerasan dan Bayang-Bayang Sepanjang 2020 dan Prospek 2021". Dua narasumber kunci dihadirkan yaitu, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Ade Wahyudin dan anggota Dewan Pers Ahmad Jauhar.
Ade memaparkan sejumlah persoalan yang menimpa jurnalis di Indonesia sepanjang 2020. Khususnya kekerasan terhadap jurnalis saat melakukan peliputan demonstrasi.
"Kasus yang kita monitoring melalui pemberitaan sampai dengan pengaduan yang masuk sepanjang 2020 ada 117 kasus. Angka itu sangat naik drastis hingga 32 persen dibanding tahun 2019,” kata Ade, Rabu (27/1/2021).
1. Kekerasan terhadap jurnalis pada tahun 2020 terburuk pascareformasi 1998
Ade menyatakan, 2020 adalah tahun terburuk bagi jurnalis sepanjang sejarah pascareformasi 1998. Penyebabnya, kata Ade, karena begitu banyak kekerasan dan intimidasi yang dialami jurnalis saat melaksanakan tugas peliputan. Meski dilidungi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, namun persekusi masih saja menimpa jurnalis.
Jenis kasus kekerasan terhadap jurnalis pada 2020 lalu antara lain, kata Ade, tindakan intimidasi hingga kekerasan verbal mencapai 51 kasus. Kemudian aksi kekeraan seperti penganiayaan secara fisik juga banyak ditemukan. Jumlah kasusnya tercatat sebanyak 24.
“Penganiayaan cukup sering kita temukan. Ketika jurnalis meliput demonstrasi dan menginvestigasi,” ungkap Ade.
Jenis kekerasan berikutnya adalah perampasan alat kerja seperti kamera dan handphone jurnalis. Tak hanya merampas, pelaku kekerasan bahkan kerap merusak alat-alat itu. Kasusnya mencapai 23. Kemudian, kekerasan dalam bentuk penghapusan disertai pemaksaan yang mencapai 22 kasus.
“Ini juga sering kali terjadi dan bahkan mungkin pelaku tidak mengetahui bahwa penghapusan karya jurnalistik itu adalah salah satu bentuk pelanggaran dalam UU Pers,” tegas Ade. Penghapusan karya jurnalistik, menurut Ade, biasanya dilatarbelakangi oleh pelaku yang menganggap bahwa apa yang diliput jurnalis adalah sesuatu yang sangat sensitif dan mengganggu kenyamanan mereka.
Selanjutnya adalah kasus penangkapan. Angkanya mencapai 19 kasus. “Penangkapan ini juga yang saya pikir pascareformasi cukup jarang, tapi di tahun 2020 ini cukup tinggi. Jadi ketika jurnalis meliput, itu ditangkap kemudian di-BAP. Kalau pun nanti dilepas itu beda soal tapi dari penangkapannya saja itu jadi problem besar,” ucapnya.
Bentuk lain kekerasan yang menimpa jurnalis di Indonesia, menurut catata LBH Pers, yaitu serangan digital dengan 12 kasus pada 2020. Serangan digital itu termasuk doxing, peretasan, spam messages dan hal-hal lain yang berbau internet. Serangan biasanya ditujukan kepada jurnalis di media sosial dan tempatnya bekerja. Terakhir, jelas Ade, adalah kasus kekerasan berupa kriminalisasi yang mencapai 10 kasus dan gugatan perdata 1 kasus.
Baca Juga: Catatan LBH 2020: Publik Makin Sulit Sampaikan Aspirasi
Baca Juga: Kebebasan Pers Melemah, Bagaimana Peran UU Pers Sekarang Ini?