TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Di Makassar, KDRT Dominasi Kasus Kekerasan pada Perempuan Selama 2019

Ada 16 kasus KDRT yang ditangani LBH Makassar

Haswandy Andy Mas, kanan. IDN Times / Aan Pranata

Makassar, IDN Times - Dalam rentang waktu Januari hingga Desember 2019, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar telah menerima 31 pengaduan terkait kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di sejumlah daerah di Sulawesi Selatan.

Dari permintaan pendampingan dan laporan yang diterima, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) disebutkan mendominasi sepanjang tahun, khususnya di Kota Makassar. 

“Berdasarkan bentuk kekerasan didominasi oleh kasus KDRT sebanyak 16 kasus, serta kekerasan seksual itu sebanyak 15 kasus,” kata Staf Divisi Perlindungan Hak Perempuan dan Anak LBH Makassar, Rezky Pratiwi dalam ekspos catatan akhir tahun 2019, di kantor LBH Makassar, Selasa (31/12).

1. Enam orang korban terpaksa menempuh jalur pidana kemudian bercerai

Pengadilan Agama Makassar / Sahrul Ramadan

Dari puluhan kasus yang menimpa perempuan secara umum, kata Rezky, enam di antara perempuan yang menjadi korban KDRT menempuh upaya hukum lanjutan dalam konteks pelanggaran pidana. Umumnya, korban KDRT mendapatkan penganiayaan berat oleh pasangan yang dianggap tidak dapat ditolerir. Kekerasan fisik berupa pemukulan, menampar, melempar benda berat dan perbuatan lainnya yang mengakibatkan korban terluka.

“Korban menempuh jalur pidana dengan laporan tindak pidana kekerasan fisik, penelantaran rumah tangga hingga zina. Dimana selanjutnya korban mengajukan gugatan perceraian. Di kasus lainnya, korban memilih hanya mengajukan gugatan cerai setelah mengalami kekerasan dan penelantaran keluarga dalam waktu yang lama,” ungkap Rezky.

Kurangnya pemahaman tentang Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, menurut Rezky, dianggap menjadi salah satu pemicu keretakan dalam rumah tangga. Akibatnya perempuan yang terlihat lemah di hadapan pasangan, kerap menjadi sasaran kekerasan.

Padahal, kata Rezky, di dalam UU tersebut secara umum dijelaskan tentang keberimbangan hak dan kedudukan antara suami dan istri. Dalam artian, pengambilan keputusan tentang rumah tangga serta pembagian peran semestinya mencerminkan kesetaraan.

“Tapi pada realitasnya, masih tinggi ketimpangan relasi gender dalam rumah tangga. Dimana suami memegang kontrol sepenuhnya sebagai seorang laki-laki sehingga kekerasan bisa langgeng, dalam konteks perkawinan,” terangnya.

Baca Juga: 85 Korban Kekerasan Aparat Ditangani LBH Makassar Sepanjang 2019

2. Eksekusi putusan terkait nafkah, dianggap LBH belum berkeadilan bagi perempuan

Pengadilan Agama Kota Makassar / Istimewa

Lebih lanjut dijelaskan Rezky, putusnya ikatan perkawinan secara resmi nyatanya tidak menghentikan kekerasan yang dialami perempuan dari mantan suami. Di antara beberapa aduan yang diterima LBH, perempuan yang telah bercerai, cukup kesulitan mengurus administrasi data kependudukan, identitas anak, hingga harus menanggung sendiri nafkah atas anak.

“Di kasus lain meski dalam putusan pengadilan, ayah atau mantan suami berkewajiban membayarkan nafkah istri dan anak setiap bulannya, namun pada implementasinya kewajiban ini jarang dibayarkan sebagaimana besaran nafkah yang ditetapkan dalam putusan pengadilan,” ujar Rezky.

Kondisi itu, lanjut Rezky, mencerminkan jika eksekusi putusan tentang pembayaran nafkah masih terhambat karena tidak adanya sikap dan sanksi tegas yang diberikan kepada ayah anak atau mantan suami. LBH memperkirakan kejadian ini akan terus berulang jika tidak ada tindakan tegas dari pihak pengambil keputusan.

Baca Juga: LBH Makassar Desak Penuntasan Kasus Difabel Meninggal Dunia di Rutan  

Berita Terkini Lainnya