Nestapa Masyarakat Luwu Timur di Tengah Aktivitas Tambang
Wilayah konsesi tambang nikel di Luwu Timur semakin luas
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Makassar, IDN Times - Masyarakat di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, dilanda kecemasan. Karena, suara mereka diabaikan. Walhasil pelbagai persoalan pun timbul akibat aktivitas tambang nikel.
Seorang masyarakat, Ameria Sinta, mengaku tidak pernah diajak bertemu dan komunikasi oleh PT Vale Indonesia. Padahal, perusahaan tambang nikel raksasa itu melakukan aktivitas tambang di Kecamatan Wasuponda. Bahkan, lahan masyarakat diserobot oleh Vale, tanpa ada ganti rugi.
“Warga tak mampu melawan,” ucap Ameria Sinta, masyarakat adat Padoe saat ditemui di rumahnya, Sabtu 27 Agustus 2022.
Padahal, masyarakat telah berkali-kali diperingati oleh Vale. Karena warga masih berkebun di lokasi itu, sehingga perusahaan memasang patok sebagai tanda wilayah konsesi.
Menurutnya, Vale adalah perusahaan tambang yang cerdik. Mereka mampu membuat bentrok antar satu warga dengan yang lain. Akibatnya, masyarakat tidak bisa bersatu.
Warga Desa Balambano, Lukman mengatakan tanahnya telah diserobot oleh Vale, tanpa sepengetahuannya. Luas lahan yang masuk konsesi satu hektare, tanpa ada ganti rugi.
Perusahaan atau pemerintah tidak pernah mengajak warga berkomunikasi. Klaim sepihak oleh Vale karena berdasar kontrak karya yang berlaku 17 Oktober 2014 hingga 28 Desember 2025.
Dampak tambang nikel hingga ke pesisir
Nelayan di Desa Pasi-pasi, Kecamatan Malili, Kabupaten Luwu Timur juga dirugikan akibat aktivitas pertambangan. Namun yang sangat dirasakan masyarakat pesisir adalah tambang yang dilakukan PT Citra Lampia Mandiri (CLM). Masifnya aktivitas tambang, membuat nelayan kehilangan mata pencaharian.
Seorang nelayan, Muhammad Anwar menyesalkan aktivitas tambang karena tidak komunikasi dengan masyarakat terlebih dahulu. Dampak itu dirasakan sejak dua tahun terakhir. Air laut berwarna kecokelatan akibat limbah tambang, apalagi ketika musim hujan.
“Kami harus mencari ikan lebih jauh lagi,” ucap Anwar sembari menyebutkan keuntungan yang diperoleh hanya Rp50 ribu sekali melaut.
Masyarakat sempat menggelar aksi demonstrasi April lalu. Namun tak ditanggapi oleh pihak perusahaan. Pemerintah setempat pun dianggap abai lantaran tak mendengarkan suara masyarakat.
Nelayan lain, Muhammad Said mengatakan masyarakat kerap mempertanyakan mengenai analisis dampak lingkungan (Amdal) perusahaan. Bahkan, warga kerap mengajak pihak perusahaan untuk melihat langsung kondisi laut yang tercemar. Namun tidak pernah direspons.
“Kalau ikut aturan, sebelum perusahaan beroperasi, harusnya ada komunikasi. Ini kan tidak ada,” ucap pria 48 tahun ini.
Dokumen yang diperoleh, PT CLM ini belum melengkapi izin pengelolaan dan izin pemanfaatan limbah B3.
Baca Juga: Tiga Gubernur di Sulawesi Tolak Perpanjangan Izin Usaha PT Vale