TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Usia 25, Alumnus Unhas Raih Gelar Doktor di Irlandia Utara

Qonita mengaku tertarik meneliti soal obat-obatan

Alumnus Unhas, Qonita Kurnia Anjani raih gelar doktor di usia 25 tahun di Irlandia Baru/humas Unhas

Makassar, IDN Times - Qonita Kurnia Anjani, alumni Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin (Unhas) angkatan 2012 berhasil mengembangkan karir keilmuaannya di luar negeri.

Bagaimana tidak, Qonita yang masih usia muda, 25 tahun, meraih gelar doktor di Queen’s University Belfast, Irlandia Utara.

Baca Juga: Hari Pertama UTBK-SBMPTN di Unhas, 140 Peserta Tidak Hadir

1. Tertarik mengembangkan obat-obatan

ilustrasi obat-obatan (IDN Times/Mardya Shakti)

Dari rilis Unhas, Qonita mengatakan telah lama tertarik dengan pengembangan obat-obatan. Dia menekuninya sejak semester satu di Unhas.

Qonita kemudian memulai menekuni bidang penelitian tentang teknologi penghantaran obat, khususnya teknologi memungkinkan obat bisa masuk ke dalam kulit.

Sejak itu, dirinya aktif mengikuti berbagai perlombaan yang berhubugan dengan penelitian di bidang farmasi. 

Ketertarikannya tersebut kemudian dituangkan dalam skripsi yang membahas tentang gel. Belakangan ia tahu, ternyata di luar negeri sudah dikembangkan teknologi serupa yang lebih praktis, yaitu microneedle. 

Qonita menjelaskan, bentuknya seperti patch yang dilengkapi dengan jarum-jarum mikro, yang dapat menghantarkan obat tanpa darah dan rasa sakit.

Penelitian ini kemudian berfokus pada pengembangan teknologi microneedle patch untuk obat-obatan tuberkulosis. 

"Saat itu saya benar-benar mengerahkan segala kemampuan dan tenaga untuk mengejar tenggat waktu yang tersedia. Alhamdulillah, saya dapat selesai dalam waktu dua tahun tiga bulan," Qonita menerangkan.

2. Didorong lanjutkan studi

Ilustrasi Mahasiswa (pexels.com/olia danilevich)

Qonita awalnya terdaftar memperoleh beasiswa sebagai mahasiswa S2 di Queen’s University Belfast, dengan masa studi dua tahun. 

Setelah melewati tahap initial review (evaluasi progres penelitian tiga bulan pertama), dosen pembimbing di Queen’s University Belfast melihat potensi penelitian yang ia garap, sehingga ia pun didorong melanjutkan penelitian S3.

Pertimbangannya, penelitian yang Qonita lakukan memenuhi standar untuk program Ph.D. 

"Sempat menolak waktu itu, apalagi mengingat beasiswa yang saya terima hanya untuk masa dua tahun, sedangkan untuk studi Ph.D membutuhkan waktu normal minimal 3 tahun," kata Qonita.

"Saya cukup dilematis, karena merasa tidak mampu termasuk untuk bertahan hidup di luar negeri, dengan tambahan satu tahun tanpa bantuan beasiswa," lanjutnya.

Baca Juga: Kementan dan Unhas Bahas Proyek Pusat Pengembangan Sagu Dunia

Berita Terkini Lainnya