TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Mengenal Suru Maca, Tradisi Khas Makassar Menyambut Ramadan

Bermakna filosofis, hasil akulturasi agama dan kebudayaan

Salah satu keluarga di Makassar yang menggelar Suro' Baca belum lama ini. Dok. IDN Times/Istimewa

Makassar, IDN Times - Beberapa daerah di Indonesia memiliki cara tersendiri menyambut datangnya bulan Ramadan. Kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun menjadi tradisi yang dilestarikan hingga saat ini. Seperti Suru Maca atau Assurommaca yang masih terus dilaksanakan sebagian masyarakat di Makassar, Sulawesi Selatan.

Tradisi Suru Maca biasanya digelar setiap akhir bulan Sya'ban atau sepekan sebelum Ramadan. Keluarga yang masih memegang teguh tradisi ini akan berkumpul di salah satu rumah anggota keluarga. 

Di sana, mereka menyediakan berbagai hidangan mulai dari makanan yang terbuat dari ayam hingga ikan dan berbagai hidangan tradisional khas Makassar. Setelah hidangan tersedia, orang pun akan berdoa bersama. Setelah itu, hidangan yang disiapkan bisa disantap bersama-sama.

1. Tradisi dilaksanakan oleh anggota keluarga

Ilustrasi Ramadhan (IDN Times/Sukma Shakti)

Laode Wowo, warga Makassar yang masih mempertahankan tradisi Suru Maca mengaku melaksanakannya karena sudah menjadi tradisi turun-temurun dari keluarganya. Karena merasa menghormati keluarga terdahulu, maka dia dengan senang hati melanjutkan tradisi itu.

"Itu memang tradisi orang-orang tua dulu. Jadi kita ikuti saja tradisinya. Kalau kita mau hilangkan juga nanti dibilang tidak bisa karena memang orangtua begitu dulu," kata Wowo kepada IDN Times, Jumat (9/5/2021).

Wowo mengatakan tradisi itu digelar setiap tahun jelang Ramadan. Dalam pelaksanaannya, acara itu hanya diikuti keluarga terdekat yang digelar di dalam rumah. 

"Tidak ada orang lain. Cuma keluarga kita sendiri. Kalau orangtua kita meninggal masih dibacakan Al Fatihah kalau kita mimpikan orangtua kita datang. Kalau tidak, pergi di masjid kasih sumbangkan uang di masjid baru kita niatkan untuk orangtua," kata Wowo.

Selain acara baca doa, ada juga ziarah makam yang dilakukan setiap tahun.

"Tapi kita tidak minta-minta di kuburan. Kita kalau pergi membersihkan sambil baca-baca doa untuk keluarga yang sudah meninggal," katanya.

2. Bermakna filosofis sebagai persiapan diri menyambut Ramadan

Ilustrasi Al-Quran (pixabay.com)

Tradisi Suru Maca disebut memiliki makna filosofis yang kuat. Sebab menyangkut kesiapan diri dan jiwa setiap individu untuk memasuki bulan suci Ramadan.

Peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Makassar, Kementerian Agama RI, Sabara Nuruddin, mengatakan bulan Ramadan merupakan bulan yang sakral bagi umat muslim. Dia menilai, Suro' Baca merupakan hal penting bagi masyarakat yang mengamalkannya dalam menyambut sakralitas bulan Ramadan dengan membacakan doa keselamatan.

"Membaca doa keselamatan, menolak bala yang mungkin menimpa di bulan suci Ramadan. Jadi yang paling penting adalah mempersiapkan diri agar siap untuk memasuki bulan suci Ramadan. Itu filosofinya," kata Sabara.

Baca Juga: Masjid Tua Katangka, Saksi Sejarah Masuknya Islam di Sulsel

3. Akulturasi antara ajaran Islam dan budaya lokal

Warga melintas di area Pantai Losari saat matahari terbenam di Makassar, Sulawesi Selatan. (ANTARA FOTO/Arnas Padda)

Sabara mengungkapkan masih banyak hal yang perlu didalami dari tradisi Suru Maca, termasuk soal sejarah bagaimana awal mula munculnya tradisi ini. Dia menilai, tradisi ini diprediksi sudah ada sejak zaman sebelum Islam masuk di tanah Makassar.

"Kalau melihat pola Islamisasi di tanah Makassar itu memang ada tradisi-tradisi yang sudah ada sebelum Islam. Ketika Islam masuk, mengalami proses yang disebut dengan proses islamisasi," katanya.

Sabara mencontohkan tradisi membaca Galigo atau mantra-mantra lokal yang sudah ada sejak dulu. Pada zaman dulu, mantra-mantra lokal dibacakan dalam berbagai momen penting siklus hidup seperti pesta panen hingga masuk rumah baru.

"Kemudian oleh pendakwah Islam, pembacaan Galigo diganti dengan pembacaan barzanji. Upacaranya tetap ada, tapi mengalami proses yang disebut dengan islamisasi," katanya.

Menurut Sabara, belum diketahui persis momentum apa yang melatarbelakangi munculnya tradisi pembacaan Galigo. Namun yang jelas, kata dia, tradisi itu sudah ada sebelum Islam datang dan tetap dilestarikan oleh para pendakwah.

"Namun dikomparasikan dengan Islam sehingga doa-doanya sudah doa yang banyak mengakomodir doa-doa dari Islam dan peletakan momen yaitu di bulan Sya'ban jelang bulan suci Ramadan. Jadi ini sebenarnya proses kalau mau dibilang akulturasi antara budaya lokal dan Islam," katanya.

Baca Juga: Ang Ban Tjiong, Pelopor Tradisi Pantun Melayu dengan Bahasa Makassar

Berita Terkini Lainnya