TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Mengurai Benang Kusut Terorisme dan Kekerasan Bersama KontraS Sulawesi

Harus diakhiri untuk menciptakan masyarakat yang lebih aman

Ilustrasi kasus terorisme, IDN Times/ istimewa

Makassar, IDN Times - Belakangan, kekerasan berlandaskan ekstremisme kembali menjadi topik hangat yang diperbincangkan masyarakat. Ini tak lepas dari peristiwa bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar dua pekan lalu, dan penembakan di Mabes Polri Jakarta pada 31 Maret 2021.

Dengan rentetan kejadian beruntun, masyarakat seolah menyaksikan kekerasan belum bisa dibendung oleh negara. Meski Densus 88 Polri telah aktif menangkap jaringan terduga pelaku tetap saja tindakan terorisme terjadi dan mengancam stabilitas keamanan masyarakat.

Isu tersbut coba diangkat oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sulawesi dalam webinarnya pada Jumat (9/4/2021) sore. Dengan tajuk "Menghadang Ekstremisme Kekerasan di Indonesia", turut hadir Muhammad Najib Azca, Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM, serta Iwan Lapasere, Direktur Lembaga Pengembangan Studi dan Hak Asasi Manusia (LPSHAM) Sulawesi Tengah.

Baca Juga: Mencegah Cikal Bakal Terorisme di Kalangan Millennial

1. Aktivitas teroris kini tak lepas dari konflik komunal di Poso dekade 2000-an

Tangkapan layar seminar KontraS Sulawesi bertajuk "Menghadang Ekstremisme Kekerasan di Indonesia" yang digelar pada Jumat 9 April 2021. (IDN Times/Achmad Hidayat Alsair)

Najib Azca menjelaskan bahwa fenomena gerakan ekstremisme ini muncul dengan tiga konsep. Pertama, sebagai perlawanan atas otoritarianisme. Kedua, terjadinya konflik di sebuah daerah. Dan ketiga yakni bercorak lokal.

"Yang bercorak lokal ini karena terjadi di dalam daerah seperti Poso dan Ambon," jelasnya kepada para peserta webinar.

Konflik komunal di dua wilayah tersebut terjadi di pengujung dekade 1990-an dan awal 2000-an. Baik Poso dan Ambon bisa diselesaikan lewat Deklarasi Malino I dan II, setelah melalui proses pembicaraan lebih dulu.

Dosen senior Departemen Sosiologi UGM itu menjelaskan bahwa kelak di kemudian hari, beberapa tokoh dalam konflik Poso kemudian bergabung ke dalam kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang kini dipimpin Ali Kalora.

Ternyata, MIT memiliki hubungan erat dengan kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) sebab sama-sama terafiliasi dengan ISIS. Polri menyebut JAD menjadi otak pengeboman di Makassar. Penyerangan ke Mabes Polri dilakukan secara individual (lone wolf), namun pelakunya disebut telah berbaiat kepada ISIS.

2. Alasan JAD memiliki jangkauan lebih luas

Anggota polisi mengumpulkan sisa serpihan ledakan bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (29/3/2021). ANTARA FOTO/Arnas Padda

Menurut Najib Azca, ada dua perbedaan besar antara kelompok teroris dekade 2000-an dan yang kini eksis. Ideologi ekstrem, yang dulu hanya disebar lewat pertemuan-pertemuan tertutup yang cenderung esoterik, kini bisa diperoleh melalui gawai masing-masing.

"Ini muncul karena faktor-faktor persebaran pemikiran dan ideologis yang sedemikian keras, dan pesatnya di luar daerah konflik terutama sejak zaman digital. Itu masif sekali. Propaganda kelompok ekstremisme kekerasan ini mulai dilakukan sejak 2010," ungkapnya.

Selain itu, kelompok teroris JAD yang akhir-akhir ini lebih aktif disebut Najib punya kemampuan paramiliteristik cenderung lebih rendah. Bandingkan dengan kelompok Jamaah Islamiyah (JI) di dekade 2000-an awal yang sebagian anggotanya sudah mendapat latihan militer di Afghanistan dan Filipina Selatan.

"Selain itu, daya letaknya jauh lebih rendah. Korbannya (dalam aksi pengeboman atau penyerangan) justru lebih banyak pelakunya sendiri. Namun jangkauannya jauh lebih luas sebab tersebar utamanya di era digital," sambung Najib.

3. Menyoal transparansi operasi militer Madago Raya di wilayah perbukitan Poso

Tangkapan layar seminar KontraS Sulawesi bertajuk "Menghadang Ekstremisme Kekerasan di Indonesia" yang digelar pada Jumat 9 April 2021. (IDN Times/Achmad Hidayat Alsair)

Berbicara di sesi kedua, Iwan Lapasere menjabarkan fakta-fakta yang ia kumpulkan perihal aktivitas kelompok teroris di Poso. Berjalan sejak awal tahun 2016, Operasi Madago Raya --dulu dikenal sebagai Operasi Tinombala-- sudah memasuki tahun kelima. Sekitar 3 ribu personel dikerahkan di daerah perbukitan untuk mencari anggota MIT.

Dengan anggota MIT yang kini tinggal 9 orang, Polri memperpanjang operasi militer tersebut hingga Juni 2021. Dengan ruang gerak yang kian sempit, ia menyebut Polri harusnya sudah bisa mengakhiri Madago Raya secara cepat.

"Mereka sudah terkepung, tapi bagaimana bisa mereka masih berkeliaran dengan bebas? Harusnya ada strategi yang tepat (untuk mengakhiri operasi militer) agar situasi segera tenang," papar sosok jurnalis televisi tersebut.

"Operasi ini juga menelan anggaran yang sangat besar. Harusnya ada transparansi sebab masyarakat berhak tahu apa saja yang dilakukan oleh personel operasi di lapangan. Ini masalah kepercayaan," lanjut Iwan.

Baca Juga: Perempuan Rentan Jatuh dalam Aksi Radikalisme dan Terorisme

Berita Terkini Lainnya