Kamp Moncongloe, Saksi Bisu Penderitaan Tapol Orde Baru di Sulsel
Kamp pengasingan ini menampung hampir seribu tahanan politik
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Makassar, IDN Times - Pasca Gerakan 30 September 1965, Orde Baru melakukan "pembersihan" kader-kader Partai Komunis Indonesia. Banyak dari mereka yang bernasib nahas, di mana nyawa melayang dalam seremoni barbar penjagalan. Jumlahnya pun ditaksir mencapai jutaan orang. Hilang hingga lenyap, meninggalkan cerita-cerita sadis yang membangkitkan bulu roma.
Soeharto membangun fondasi kekuasaan otoriternya dan duduk di atas tahta berbau kekerasan selama tiga puluh dua tahun. Namun cerita miris tak berhenti sampai di bagian pembantaian massal. Orde Baru turut menangkapi orang-orang yang diduga terkait dan memiliki hubungan --bahasa pemerintah waktu itu-- dengan PKI sebagai organisasi terlarang menurut TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966.
Salah satu upaya untuk membasmi paham Komunisme-Marxisme, pemerintah turut mendirikan kamp-kamp pengasingan di berbagai kota di Indonesia. Kamp ini digunakan sebagai tempat rehabilitasi simpatisan PKI. Namun, makna kata "rehabilitasi" yang selalu identik dengan konotasi positif justru tidak berlaku dalam hal ini. Di Sulawesi Selatan sendiri, salah satu kamp PKI terletak di Moncongloe, perbatasan Kabupaten Maros dan Gowa.
Baca Juga: Kisah Perjuangan Glenn Fredly Bebaskan Tapol Maluku Johan Teterissa
1. Tahanan kamp Moncongloe didatangkan secara bertahap dari kurun waktu 1969 hingga 1971
Terletak 17 kilometer dari Makassar, Moncongloe --yang memiliki arti "Tempat yang Tinggi"-- bisa ditempuh dengan waktu 40 menit perjalanan darat. Jauh dari hingar bingar kota, tempat ini ternyata menyimpan memori pahit. Berdasarkan buku Kamp Pengasingan Moncongloe (Desantara Foundation, 2009), wilayah ini dipilih karena dianggap aman dan mudah dikendalikan lantaran dikelilingi markas Kodam XIV Hasanuddin.
Kamp seluas 150 meter persegi ini menampung 911 jiwa, dengan rincian 859 pria dan 52 wanita. Mereka berasal dari sejumlah kota di seantero Sulsel seperti Majene, Mamasa, Pinrang, Parepare, Barru, Pangkep, Maros, Palopo, Tana Toraja, Takalar, Bantaeng, Bulukuba dan Selayar. Mereka datang secara bertahap ke Moncongloe dari tahun 1969 sampai 1971.
Namun seperti penghuni kamp-kamp PKI lainnya, mayoritas di antaranya adalah korban salah tangkap dan dituduh sebagai simpatisan organisasi berlambang palu-arit.
Setelah mendekam beberapa lama, tapol Moncongloe harus memenuhi kebutuhannya sendiri. Akan tetapi seiring waktu, mereka pun wajib memenuhi kebutuhan militer entah itu atas nama institusi atau kepentingan pribadi para petugas. Alhasil muncullah eksploitasi berlapis. Sekadar memenuhi kebutuhan pribadi pun menjadi sukar.
Baca Juga: Peristiwa Cendrawasih, Percobaan Pembunuhan Soekarno di Makassar