TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

KAKS Unhas: Permen PPKS Penting demi Ruang Pendidikan Aman

Inisiatif Nadiem menyulut pro-kontra selama sepekan terakhir

Ilustrasi korban kekerasan (IDN Times/Arief Rahmat)

Makassar, IDN Times - Selama sepekan terakhir, Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi menuai pro-kontra.

Sebagian menilai ini adalah langkah progresif Mendikbudristek Nadiem Makarim. Terlebih pada Pasal 5 digarisbawahi bahwa definisi kekerasan seksual adalah jika tidak ada persetujuan dari salah satu pihak.

Pasal 5 ini pula rupanya bergulir jadi bola panas sebab dianggap bertentangan dengan nilai syariat, Pancasila, UUD 1945, Peraturan Perundangan-Undangan lainnya, dan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia. Meski MUI dan Muhammadiyah mengapresiasi Permen PPKS ini, mereka meminta evaluasi di pasal-pasal tertentu setelah dilakukan kajian dari sisi hukum.

Baca Juga: Poin Penting Permendikbud PPKS yang Cegah Kekerasan Seksual di Kampus

1. KAKS Unhas menyayangkan interpretasi negatif dari Pasal 5 Permen PPKS

Mendikbud Nadiem Anwar Makarim dalam acara kerjasama Kemendikbud dengan Netflix (Dok.IDN Times/Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan)

Komite Anti Kekerasan Seksual (KAKS) Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar menyambut baik terbitnya Permendikbud PPKS. Bagi mereka, ini adalah langkah awal nan baik untuk melawan hal yang kerap menodai institusi perguruan tinggi.

Namun, mereka menyayangkan pihak-pihak yang menentang dengan alasan bahwa ini adalah bentuk dari legalisasi zina.

"Padahal zina telah diatur dalam produk yang Lex Superior yaitu, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada Pasal 284," kata salah satu perwakilan KAKS Unhas yakni Andi Aliyah Putri R., kepada IDN Times pada Jumat malam (12/11/2021).

Ia menyebut bahwa kalimat "tanpa persetujuan korban" di Pasal 5 Permen PPKS berakibat multitafsir dan tidak sejalan dengan Pasal 31 UUD 1945.

2. Permen PPKS perlu ditinjau dari persektif korban yang selama ini memilih bungkam

Ilustrasi pelecehan seksual (IDN Times/Mardya Shakti)

Lebih jauh, Aliyah menjelaskan bahwa argumen kontra yang mencuat adalah Pasal 5 di mana hubungan seksual di luar pernikahan sah-sah saja dilakukan.

"Ada banyak sekali yang memiliki perspektif yang sama. Namun, mereka luput untuk menganalisis jauh aturan ini dari landasan-landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis dari Permen PPKS," kata Aliyah.

"Ini lah menjadi kekhawatiran utama bagi pejuang ruang aman dalam meruntuhkan perspektif pelaku," imbuhnya.

Selain itu, Aliyah mengatakan Permen PPKS ini perlu ditinjau dari perspektif korban. Mayoritas selama ini memilih bungkam karena takut akan mempengaruhi keamanan pribadi dan kehidupan akademiknya.

Nadiem menyebut ada empat misi yang hendak dicapai lewat Permen PPKS. Antara lain upaya pemenuhan hak setiap warga negara atas pendidikan tinggi yang aman, memberi kepastian hukum bagi pemimpin kampus untuk mengambil langkah tegas atas kasus kekerasan seksual, sarana edukasi bagi masyarakat, khususnya, serta wadah kolaborasi kementerian dan kampus untuk menciptakan budaya akademik yang sehat.

Baca Juga: Komnas HAM: Permendikbudristek PPKS Sejalan dengan Perlindungan HAM

Berita Terkini Lainnya