TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Jalan Panjang Pengasingan Tuanku Imam Bonjol dari Padang ke Minahasa

Eksil dari Padang membentuk sejumlah marga baru di Sulut

Makam Tuanku Imam Bonjol di Desa Lotta, Kecamatan Pineleng, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. IDN Times/Savi

Manado, IDN Times – Demi memukul mundur perlawanan Tuanku Imam Bonjol di Sumatra Barat, ribuan pasukan kolonial Belanda dikerahkan ke sana. Di akhir Perang Padri, pasukan kolonial mengepung benteng Bonjol, dan Imam Bonjol sendiri sempat lolos. Meski begitu, ia akhirnya ditangkap pada sekitar tahun 1837.

Sejak penangkapannya di Sumatera Barat, Imam Bonjol tak hanya sendiri. Ia juga ditawan bersama anak tertuanya, Sultan Saidi; kemenakannya, Abdul Wahid; dan Baginda Tan Labih yang merupakan orang kepercayaan Imam Bonjol. Mereka bertiga juga terus dikawal oleh seorang perwira Belanda asal Minahasa bernama Letnan Palar.

Menurut Dosen Sejarah Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Roger Allan Kembuan, awalnya ketiganya hendak diasingkan di Cianjur, Jawa Barat. “Selama pengasingannya di Cianjur, Imam Bonjol menjadi guru agama dan Belanda melihat hal tersebut sebagai sebuah ancaman,” terang Roger, Minggu (27/2/2022).

Belanda menganggap, peran Imam Bonjol akan semakin menguat karena memiliki banyak pengikut di Cianjur. Akhirnya, Imam Bonjol beserta Sultan Saidi, Abdul Wahid, dan Baginda Tan Labih dibawa kembali ke Batavia sembari menunggu surat pemindahan pengasingan dari Gubernur Jenderal Belanda. Setelah menunggu selama kurang lebih 6 bulan, akhirnya muncullah surat keputusan bahwa rombongan Imam Bonjol akan diasingkan ke Ambon, Maluku.

1. Perjalanan Imam Bonjol ke Minahasa

Makam Tuanku Imam Bonjol di Desa Lotta, Kecamatan Pineleng, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. IDN Times/Savi

Tahun 1839, rombongan Imam Bonjol dibawa ke Ambon. Di Ambon, mereka ditempatkan di sebuah rumah di Kampung Melayu dan tinggal selama kurang lebih 2 tahun. Setelah habis masa sewa rumah yang ia tempati, Imam Bonjol berniat memperpanjangnya kembali, namun tidak diberikan. Ia justru diberi rumah di lokasi lain, namun Imam Bonjol menolak.

“Ketika menghadap ke Pimpinan Belanda di Ambon, Imam Bonjol mendapatkan saran dari sekretaris kantor bahwa sebaiknya pergi ke Manado, Sulawesi Utara karena biaya hidup juga lebih murah. Dari situ ia setuju,” terang Roger. Namun, saat ia pulang ke rumah, seorang Letnan Melayu mengatakan bahwa Manado bukan daerah dengan mayoritas penduduk Islam dan banyak babi berkeliaran.

Mendengar keterangan tersebut, Imam Bonjol mengurungkan niatnya pindah ke Manado, namun terlambat. Surat kepindahannya sudah ditandatangani oleh Gubernur Maluku. “Sempat ada cekcok, tapi karena sudah diperintahkan oleh Belanda dan kapal sudah siap, akhirnya ketiganya tetap pergi,” tutur Roger.

Pada Maret 1941, Imam Bonjol beserta rombongan akhirnya tiba di Manado setelah selama 3 hari berada di laut karena ombak tinggi yang tak memungkinkan kapalnya merapat ke Teluk Manado. Rombongan Imam Bonjol kemudian ditempatkan di Desa Kombi, Minahasa yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan Tondano pantai.

Dari Manado, Desa Kombi terletak cukup jauh, harus menempuh jarak sekitar 50 kilometer. Lokasi ini lebih jauh dibandingkan lokasi pengasingan Kyai Mojo di Tondano, yang saat ini dikenal dengan Kampung Jawa Tondano (Jaton). Belanda sendiri tidak ingin mengasingkan Imam Bonjol ke tempat yang sama dengan Kyai Mojo karena dianggap berbahaya dan bisa menimbulkan perlawanan.

Baca Juga: Tombolotutu, Tokoh Pejuang Sulteng yang Jadi Pahlawan Nasional

2. Awal perpindahan Imam Bonjol ke Desa Lotta

Makam Tuanku Imam Bonjol di Desa Lotta, Kecamatan Pineleng, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. IDN Times/Savi

Imam Bonjol dan rombongan hanya bertahan di Kombi selama kurang lebih 8 bulan. Imam Bonjol yang tak kuat cuaca dingin di Kombi, memutuskan bertemu Gubernur Jenderal Belanda yang saat itu berkunjung ke Manado untuk meminta pindah. Permintaan Imam Bonjol dikabulkan dan akhirnya mereka dipindah ke Koka, Minahasa untuk sementara waktu.

Di Koka, Sultan Saidi,  Abdul Wahid, dan Baginda Tan Labih sempat menikah dengan warga setempat. “Lalu waktu mau pindah ke Desa Lotta di Pineleng, rombongan Imam Bonjol beserta keluarga tidak diperkenankan ikut pindah. Jadi yang pindah hanya Imam Bonjol yang kemudian dikawal oleh Kopral Belanda, Apolos Minggu hingga meninggal dunia,” jelas Roger.

Hingga akhir hayat, kegiatan Imam Bonjol sehari-hari adalah berkebun dan beribadah. Apolos Minggu yang notabene bekas tentara KNIL terus mendampingi Imam Bonjol hingga akhir hayat, menjadi dekat dan dianggap seperti keluarga sendiri. Bahkan karena terlalu dekat, muncul persepsi masyarakat bahwa Apolos Minggu merupakan pengikut Imam Bonjol sejak dari Padang.

Setelah hidup di Desa Lotta selama lebih dari 10 tahun, Imam Bonjol akhirnya wafat pada 10 Desember 1852.

Baca Juga: Kisah 11 Pahlawan Nasional Asal Sulsel, dari Hasanuddin ke Pong Tiku

Berita Terkini Lainnya