TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

PMII Gorontalo Nilai Penerapan New Normal Gagal, Picu Lonjakan Kasus

Penambahan kasus baru meningkat drastis dua hari terakhir

Seorang warga mengenakan kertas tisu sebagai masker di depan lapak pedagang masker di Limboto, Kabupaten Gorontalo, Gorontalo, Senin (20/7/2020). ANTARA FOTO/Adiwinata Solihin

Gorontalo, IDN Times - Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Gorontalo menilai pemerintah daerah setempat gagal menerapkan skenario adaptasi kebiasaan baru atau new normal life. Menurut Ketua Aksi dan Advokasi PMII, Winowi Pontoh, pemerintah tak mampu menekan angka penyebaran COVID-19 di Gorontalo.

Pada Senin 20 Juli 2020 terdapat penambahan 107 kasus baru COVID-19 di Provinsi Gorontalo. Berikutnya, Selasa 21 Juli, kasus bertambah 79 orang. Sejauh ini total kasus positif COVID-19 di Maka total akumulasi kasus COVID-19 di daerah itu sebanyak 615 orang.

“Ini adalah sejarah pertama sejak adanya kasus virus corona di Gorontalo, dalam satu hari saja bisa mencapai 107 kasus. Dan hal itu membuktikan adaptasi kebiasaan baru yang diterapkan oleh pemerintah gagal,” ujar Winowi, Rabu (22/07/2020).

Baca Juga: Waspada! Gorontalo Alami Kecepatan Laju Kematian COVID-19 Tertinggi

1. Penerapan protokol kesehatan di perbatasan dinilai tidak efektif

Pengurus PMII Kota Gorontalo/ Foto PMII

Menurut Winowi, ada sejumlah indikator gagalnya penerapan adaptasi kebiasaan baru. Salah satunya lemahnya penerapan protokol kesehatan, terutama di pintu-pintu masuk di perbatasan.

Dia menyebut banyak orang yang leluasa keluar dan masuk Gorontalo tanpa melalukan rapid test. 

"Bahkan ada yang tanpa syarat. Padahal kita tahu ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk masuk ke wilayah Gorontalo,” kata Winowi.

2. Biaya rapid test dianggap terlalu tinggi

Ilustrasi Rapid Test Tim IDN Times (IDN Times/Herka Yanis)

Winowo mengatakan pemerintah daerah juga menetapkan tarif mahal untuk rapid test. Di pintu perbatasan, biaya yang dikenakan senilai Rp250 ribu per orang. Kondisi serupa juga ditemukan pada sejumlah rumah sakit dan laboratorium swasta di Gorontalo.

Merujuk surat edaran Menteri Kesehatan, biaya rapid test direkomendasikan maksimal Rp150 ribu. Tingginya biaya membuat sebagian masyarakat enggan memeriksakan diri jika merasakan gejala atau punya riwayat kontak dengan orang yang terpapar.

"Dengan mahalnya tarif untuk rapid test, sehingga banyak masyarakat yang cenderung menghindari salah satu syarat masuk Gorontalo tersebut," katanya.

3. Protokol kesehatan tidak terselenggara dengan maksimal

Ilustrasi corona (IDN Times/Mardya Shakti)

Winowi melanjutkan, protokol kesehatan pada era new normal yang seharusnya diperketat, kenyataannya malah nyaris tanpa pengawasan. Dia mencontohkan kawasan publik seperti pasar tradisional, mal, dan pusat perbelanjaan. Winowi membandingkan dengan saat penerapan PSBB beberapa waktu lalu.

“Di mal misalnya, pengunjung yang mestinya diatur hanya 50 persen, justru tidak ada bedanya sebelum adanya COVID-19 Gorontalo,” katanya.

Menurut Winowi, melonjaknya angka COVID-19 dan abainya masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan, akibat lalainya pemerintah provinsi dalam menangani permasalahan virus corona.

“PMII akan terus mengontrol kinerja pemerintah dalam hal menangani pandemi. Ada juga beberapa isu yang sedang kami advokasi dan bukan tidak mungkin dalam waktu dekat kami akan melakukan demonstrasi,” ucap Winowi.

Baca Juga: Geram Kasus Corona Melonjak, Gubernur Gorontalo Siapkan Maklumat

Berita Terkini Lainnya