TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Aparat Hukum Diminta Usut Tuntas Pemerkosaan Gadis 15 Tahun di Sulteng

Korban butuh pendampingan psikologi, sosial, dan kesehatan

Ilustrasi kekerasan pada perempuan. (IDN Times/Nathan Manaloe)

Makassar, IDN Times - Organisasi non-pemerintah yang mempromosikan hak-hak anak, Save the Children Indonesia, mengecam kasus pemerkosaan anak perempuan berusia 15 tahun di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Mereka meminta aparat penegak hukum mengusut tuntas kasus kejahatan itu.

Yanti Kusumawardhani, Child Protection Advisor Save the Children Indonesia mengatakan sangat prihatin dan berduka. Kasus itu adalah bentuk kekerasan seksual pada anak dan merupakan pelanggaran hak anak yang fundamental.

Ada sejumlah pelanggaran hukum yang terjadi pada kasus pemerkosaan anak tersebut. Di antaranya Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Undang–Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Save the Children Indonesia menyampaikan sejumlah desakan kepada pemerintah dan aparat penegak hukum. Di antaranya merespon Kasus ini dengan prinsip kepentingan terbaik bagi anak yang memprioritaskan keselamatan anak, agar tetap merasa aman, bebas untuk mengungkapkan pendapat dan kebutuhannya.

"Mengusut Tuntas Kasus Kekerasan Seksual pada anak, dan menghukum para pelaku sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku," kata Yanti melalui keterangan pers yang diterima, Jumat (2/6/2023).

Baca Juga: Gadis 15 Tahun di Sulteng Diperkosa 10 Pria, Satu Pelaku Diduga Brimob

1. Korban butuh pendampingan psikologi, sosial, dan kesehatan

ilustrasi kekerasan (IDN Times/Nathan Manaloe)

Yanti mengatakan, penanganan kasus ini perlu dilakukan oleh pekerja sosial, manajer kasus, atau pendamping kasus terlatih yang ditunjuk. Dengan tetap melibatkan profesional atau layanan yang dibutuhkan seperti psikolog, advokat, layanan medis, dan profesi atau layanan terkait lainnya.

Alur yang dapat dilakukan oleh pekerja sosial atau pendamping kasus diantaranya adalah Meminta persetujuan penyintas, melakukan asesmen secara menyeluruh, merumuskan rencana pemberian layanan dan tidak membatasi pada pemberian layanan hukum.

"Memberikan layanan yang dibutuhkan dengan memperhatikan hak anak, tahap perkembangan anak, melakukan monitoring dan evaluasi serta terminasi atau pengakhiran kasus apabila hak anak dan kebutuhannya telah terpenuhi," ucap Yanti.

Berikutnya, Save the Children juga mendorong pendampingan psikologi mental, sosial, dan kesehatan anak yang melekat oleh pendamping yang berkompeten. "Sampai pada tahap anak memiliki kesiapan dan keamanan secara mental dan psikologis di lingkungan sosialnya."

2. Semua pihak wajib merahasiakan identitas anak

Ilustrasi Garis Polisi (IDN Times/Arief Rahmat)

Save the Children Indonesia juga menganggap perlu pengembangan supervisi berjenjang, mulai dari tingkat kabupaten/kota, provinsi hingga tingkat nasional. Itu untuk memastikan setiap kasus tertangani dengan baik. Supervisi harus memberikan fungsi edukasi, dukungan, disamping fungsi administratif kepada seluruh SDM penyedia layanan perlindungan anak.

Yanti mengatakan, kerahasiaan adalah salah satu prinsip utama dalam menangani kasus kekerasan terhadap anak. Seluruh pihak wajib merahasiakan identitas anak baik anak sebagai pelaku tindak pidana, korban maupun saksi dalam pemberitaan di media cetak ataupun elektronik. Sebagaimana diatur pada pasal 19 UU nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan juga pada Peraturan Dewan Pers Nomor 1 tahun 2019 tentang pedoman pemberitaan Ramah Anak.

"Hal ini merupakan bentuk dari menyediakan lingkungan yang aman untuk anak yang menjadi penyintas, termasuk tidak mempublikasikan identitas anak, keluarga terkait dan tempat dimana anak tinggal saat ini.

Baca Juga: Korban Perkosaan di Sulteng akan Jalani Operasi Pengangkatan Rahim

Berita Terkini Lainnya