Buku "Kisah Kasih dari Dapur": Tak Cuma Makanan, Piring Juga Berisi Isu Sosial-Budaya

- Buku "Kisah Kasih dari Dapur" berisi 10 esai fokus pada khazanah kuliner di Sulawesi Selatan, menggambarkan potret dinamika budaya, ekonomi, dan gender dalam masyarakat.
- Penulis, Wilda Yanti Salam, merasa dekat dengan dunia kuliner karena dibesarkan oleh ibu yang berprofesi sebagai pembuat kue dan makanan. Ia juga melakukan riset tentang makanan sebagai simbol relasi kuasa.
- Wilda memilih bakso dan kapurung sebagai makanan yang mewakili spirit buku ini, serta membahas bagaimana beras mengubah kebiasaan konsumsi orang-orang di Sulawesi.
Makassar, IDN Times - Dapur bukan hanya sebuah ruangan dalam rumah yang seringkali hanya dianggap sebagai tempat mengolah masakan. Di dalamnya turut pula potret dinamika budaya, ekonomi hingga gender yang hidup dalam masyarakat. Hal tersebut menjadi bahasan peneliti Wilda Yanti Salam dalam buku kumpulan esai "Kisah Kasih dari Dapur" (Penerbit Partikular, 2024).
Berisi 10 esai, buku setebal 95 halaman tersebut berfokus pada khazanah kuliner di Sulawesi Selatan. Sebut saja tradisi membuat kapurung yang menjadi momen berkumpulnya para tetangga, pengawetan ikan agar tahan lama, keunikan pallu kaloa' yang jarang masuk radar pencinta kuliner, penyebutan kue tradisional di sejumlah lagu daerah, hingga sisi lain dari ballo'.
Bagi Wilda, memilih dapur dan makanan sebagai lensa kajian adalah pilihan yang sangat personal, bukan sekadar urusan mengisi perut. Apalagi lulusan program studi Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin itu sejak kecil dekat dengan dua hal tersebut.
1. Buku kumpulan esai ini berasal dari pengalaman dan minat sang penulis, Wilda Yanti Salam (kanan)

"Untuk konteks personalnya, dua kata ini adalah sumber yang paling dekat dan terhubung denganku, sehingga kenapa tidak kita memulai menulis dan menggeledah hal yang justru paling dekat dan familiar dengan kita," ujarnya saat dihubungi IDN Times pada Rabu lalu (18/6/2025). Pengalaman masa kecilnya dibesarkan oleh seorang ibu yang berprofesi sebagai pembuat dan penjual kue serta makanan, bahkan pernah memiliki warung di rumah, membentuk ikatan kuatnya dengan dunia kuliner. "Itulah kenapa aku merasa makanan itu sangat penting dan familiar buatku," kenangnya.
Secara gagasan, ketertarikan Wilda muncul sejak 2018 ketika ia sering nongkrong di Kampung Buku dan Penerbit Ininnawa. Berada di ruang diskusi tersebut ternyata memperkaya perspektifnya tentang Sulawesi Selatan.
"Ketika itu aku berpikir, kenapa ya, tidak ada atau kurang sekali buku-buku yang membicarakan makanan dan dapur sebagai bagian dari kajian sosial budaya?" tanyanya retoris.
Ia melihat bahwa buku tentang makanan umumnya terbatas pada resep atau pelengkap ritual, sementara kajian tentang dapur lebih sering berfokus pada arsitektur. Wilda merasa ada kekosongan dalam pembahasan filosofi makanan dan hubungannya dengan budaya Bugis kontemporer.
2. Selama riset, Wilda menemukan banyak contoh makanan justru menjadi simbol relasi kuasa

Wilda mengungkapkan bahwa selama proses penulisan, ia melakukan kombinasi antara menulis, membaca, berimajinasi, mengamati, dan merefleksikan ingatan serta memori pribadinya. Belakangan ia menyadari bahwa metode yang digunakannya disebut autoetnografi.
"(Ini adalah) suatu metode dalam metodologi etnografi yang belakangan sering dipakai apalagi dalam konteks kajian dekolonisasi yang begitu urgent dan familiar belakangan ini," ungkapnya.
Buku ini secara berani memposisikan makanan sebagai penggerak narasi. Selama proses riset dan perjalanan ke beberapa tempat di Sulsel, Wilda melihat banyak hidangan yang secara kuat merepresentasikan relasi kuasa. Baik dalam konteks rumah tangga, gender, maupun kelas sosial. Ia mencontohkan pengalamannya di sebuah kampung adat di Enrekang.
"Kami minta untuk pagi hari tidak usah makan berat, cukup buah saja. Dan tahu tidak buah apa yang dihidangkan untuk kami? Apel dan anggur!" ceritanya. "Ini ironi dan mengagetkan sekali, soal gimana orang melihat saya sebagai orang kota dan buah yang aku makan adalah apel dan anggur, buah yang akrab dengan kehidupan kota. Bayangkan, definisi buah pun harus kami dikasih apel dan anggur, padahal banyak buah lain yang lebih enak dan segar di kampung tapi kami disajikan si dua buah kota tadi," sambung Wilda.
3. Wilda memilih bakso dan kapurung sebagai makanan yang mewakili spirit buku "Kisah Kasih dari Dapur"

Dalam buku tersebut, Wilda juga membahas bagaimana beras justru mengubah kebiasaan konsumsi orang-orang di pulau Sulawesi. Awalnya mereka lebih akrab dengan sagu, jagung dan ubi. Tapi revolusi hijau ala Orde Baru yang tak memperhitungkan kearifan lokal menghadirkan dampak masif hingga sekarang. Akhirnya, muncul "aliran" makan kapurung bersama nasi, sesuatu yang disebut oleh Wilda sebagai bentuk kompromi.
Setelah rampung menyusun buku "Kisah Kasih dari Dapur", Wilda mengaku kini melihat dapur dengan cara yang sangat berbeda. "Bagiku dapur itu perspektif dan pendekatan, dan tidak ada habisnya membicarakan tentang segala hal dari dapur," tegasnya. Menurutnya, setiap rumah memiliki konstelasi dapurnya sendiri, dan ia merasa masih terus belajar mengakrabkan diri dengan dapur serta banyak mempelajari hal dari sana.
Ketika diminta memilih satu hidangan yang paling merepresentasikan spirit bukunya, Wilda memilih dua yakni kapurung dan bakso. "Kapurung karena aspek komunalitas yang memperlihatkan konstelasi budaya, alam dan politik yang berlangsung," jelasnya. "Bakso yang juga merekam banyak sekali sejarah perubahan pangan dan budaya makan di Sulawesi Selatan," tutup Wilda, yang menulis satu esai khusus perihal olahan daging sapi itu dalam "Kisah Kasih dari Dapur".