Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Skor PISA 2018: Potret Muram Pendidikan Indonesia, Mendikbud Bisa Apa?

Ilustrasi siswi SMP. ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra

Makassar, IDN Times - Laporan terbaru yang dirilis oleh The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) menunjukkan pendidikan Indonesia masih dalam level belum memuaskan. Penilaian Programme for International Student Assessement (PISA) tahun 2018 jadi bukti sahih bahwa meningkatkan kualitas pendidikan tetap didapuk sebagai masalah krusial.

Pemaparannya disampaikan langsung oleh Head of Early Childhood and Schools OECD, Yuri Belfali, serta Totok Suprayitno selaku Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendikbud di Jakarta pada Selasa (3/12) silam. Satu hal gawat mencuat: posisi Indonesia kian menukik dalam urusan membaca, berhitung, hingga sains. Apakah ini adalah sinyal bahaya untuk pendidikan Indonesia?

1. PISA adalah tes tiga tahunan yang dilakukan OECD untuk mengukur kemampuan siswa-siswi di 78 negara

Twitter.com/oecdeduskills

Tes PISA yang diadakan tiap tiga tahun bertujuan untuk menilai kemampuan membaca, matematika, dan sains siswa di Indonesia yang telah menyelesaikan masa pendidikan dasar. Peserta PISA di Indonesia minimal sudah duduk di kelas 7 atau baru saja menduduki bangku sekolah SMP. Tes ini adalah tolok ukur kemampuan siswa-siswi dalam menerapkan pengetahuan yang sudah diterima selama enam tahun terakhir.

Jumlah sekolah yang menjadi sampel adalah 397 dengan siswa responden mencapai 12.098 yang terdiri dari siswa-siswi kelas 1 SMP hingga kelas 3 SMA. Dan di tiap sekolah tersebut, ada 2 hingga 41 siswa yang dipilih secara acak. Demi hasil yang valid, jenis sekolah yang dipilih mencakup negeri dan swasta yang tersebar di wilayah perkotaan atau pedesaan.

2. Dalam kurun waktu 18 tahun terakhir, akses anak-anak ke tingkat SD dan SMP meningkat tajam

ilustrasi guru mengajar di sekolah (ANTARA FOTO/Adiwinata Solihin)

Laporan PISA Indonesia dibuka dengan capaian positif. Indonesia kini termasuk negara dengan progres tercepat dalam memperluas akses pendidikan bagi anak-anak berusia 15 tahun ke bawah. Atau dengan kata lain, mereka adalah yang telah mengenyam bangku SD-SMP dan baru saja mengenakan seragam putih abu-abu SMA.

Saat Indonesia pertama kali mengikuti tes PISA pada tahun 2000, jumlahnya hanya 38%. Tepat tahun lalu, persentasenya melonjak jauh menjadi 85%. Ini sejalan dengan data Badan Pusat Statistik (BPS). Angka partisipasi pendidikan di jenjang SMP/sederajat naik dari 67% pada 2009 menjadi 79% pada 2018. Pada periode yang sama, di jenjang SMA/sederajat turut mengalami peningkatan dari 45% menjadi 61%.

3. Indonesia masih konsisten berada di papan bawah sistem penilaian PISA

IDN Times/Haikal Aditya

Namun, catatan positif meluasnya akses sekolah tak serta-merta meningkatkan dengan signifikan kualitas siswa. Buktinya, Indonesia menduduki peringkat ke-72 dari total 78 negara yang ikut ambil bagian dalam penilaian PISA terbaru.

Total skor yang diperoleh adalah 379, sama dengan Argentina yang duduk di peringkat ke-71. Indonesia duduk tepat di atas Saudi Arabia (73), Maroko (74), Kosovo (75), Panama (76), Filipina (77) dan Republik Dominika yang berada di posisi terbawah yakni 78.

Secara umum, kinerja siswa Indonesia masih kalah dengan sebagian besar negara Amerika Latin dan Eropa. Namun, sejauh mana kinerja yang diukur oleh PISA?

4. Dalam urusan membaca, hanya 30% yang sudah melewati kompetensi minimal

Ilustrasi kegiatan belajar anak madrasah (ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas)

Pertama, adalah kemampuan membawa siswa yang masih berada di level rendah. Rata-rata yang dipatok oleh OECD adalah 487. Berapa skor Indonesia? 371. Lebih baik ketimbang Filipina yang berada di peringkat terbawah (340) namun jauh di bawah Thailand yakni 393.

Menurut laporan Pusat Penilaian Balitbang Kemendikbud yang mengiringi rilis hasil tes PISA 2018, kemampuan literasi 7 dari 10 siswa berusia 15 tahun masih berada di bawah kompetensi minimal. Para siswa ini disebut hanya mampu mengidentifikasi informasi rutin dari bacaan pendek dan prosedur sederhana.

Dengan kata lain, hanya 30% siswa Indonesia yang telah mencapai level dua dalam urusan kemahiran membaca dan mengolah informasi.

5. Kemampuan berhitung siswa-siswi Indonesia masih kalah dari Thailand, Brunei Darussalam, dan Malaysia

Ilustrasi Siswa SMA (IDN Times/Lazuardi Putra)

Kedua, adalah kemampuan siswa dalam memanfaatkan kemampuan berhitung. Rata-rata yang dipatok oleh OECD adalah 489. Indonesia berada di peringkat 72 dengan poin 379. Sekali lagi, lebih baik ketimbang Filipina yang berada di posisi 77 (353).

Tercatat hanya ada 28% siswa Indonesia yang sanggup menafsirkan dan mengenali situasi sarat perhitungan matematis tanpa instruksi lebih jauh, atau kemampuan matematika level 2 versi OECD. 

Bagaimana dengan beberapa negara tetangga? Filipina berada di bawah level 1 lantaran skor yang diperoleh jauh dari patokan OECD yakni 375,77. Indonesia dan Thailand duduk di level 1, Brunei Darussalam - Malaysia berada di level 2, sementara Singapura menempati level 4 alias tertinggi bersama China, Makau dan Hong Kong.

6. Catatan kemampuan saintifik sedikit lebih baik ketimbang membaca dan berhitung

ANTARA FOTO/Syaiful Arif

Terakhir, adalah kemampuan siswa dalam memanfaatkan pengetahuan berbasis sains. Untuk penilaian ini, OECD mematok nilai rata-rata 489. Indonesia berada di peringkat 70 dengan poin 396. Sedikit lebih baik daripada Saudi Arabia di posisi ke-71, akan tetapi kalah tipis dari Kazakhstan yakni 397.

Sains seolah menjadi sisi unggulan pendidikan Indonesia. Ada 40% siswa yang berada di level dua versi OECD. Artinya, mereka semua sanggup mengenali fenomena ilmiah dan mengidentifikasi kasus-kasus sederhana.

Jika mengurut peringkat sains OECD dari enam negara Asia Tenggara yang ikut ambil bagian, Filipina berada di posisi terbawah dengan poin mencapai 357. Selanjutnya ada Indonesia, Thailand (426), Brunei Darussalam (431), Malaysia (438), dan Singapura (551).

7. Dalam tes PISA 2018, mencuat masalah kesenjangan mutu pendidikan antar daerah

Pusat Penilaian Pendidikan Balitbang Depdikbud

Dari tes PISA ini juga, diketahui masalah krusial pendidikan Indonesia yakni kesenjangan mutu antar daerah. DKI Jakarta dan DI Yogyakarta ternyata sanggup membukukan angka yang jauh lebih tinggi ketimbang sejumlah negara ASEAN.

Contoh saja kemampuan membaca, kedua provinsi tersebut jauh lebih baik daripada Thailand serta Brunei Darussalam. Sayang, catatan tak menyebut secara rinci kondisi provinsi lain yang ikut serta dalam tes PISA tahun lalu.

Namun secara keseluruhan, pendidikan Indonesia kian melorot berdasarkan catatan PISA. Pada tes terakhir di tahun 2015, skor kemampuan membaca berada di angka 397 ketika tahun ini turun menjadi 371. Hal sama berlaku untuk kemampuan matematika yakni dari 386 menjadi 379. Hanya kemampuan sains yang masih bertahan, kendati tak menunjukkan peningkatan signifikan.

8. Akankah catatan Indonesia di PISA 2021 membaik di bawah Mendikbud Nadiem Makarim?

Menteri Pendirikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makariem ditemui usai menjadi pembina upacara peringatan Hari Guru Nasional, di Kemendikbud, Jakarta Selatan, Senin (25/11). IDN Times/Margith Juita Damanik

Namun jika mengikuti perkembangan di tes PISA sejak 2000, Indonesia memang konsisten berada di papan bawah. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim, menyebut perolehan Indonesia di PISA 2018 membuka sudut pandang baru memandang kondisi pendidikan dalam negeri kini.

"Laporan PISA sangat penting, memberi kita semua perspektif pendidikan Indonesia. Terkadang, kita tidak sadar dengan apa yang menjadi perhatian oleh PISA ini," ungkap Nadiem dalam peluncuran hasil PISA di Jakarta pada Selasa (3/12) lalu seperti dikutip dari laman berita Antara.

Hasil PISA disebutnya menjadi penggerak para guru untuk melakukan observasi kondisi dalam kelas secara lebih mendalam. Intinya, guru kembali diminta untuk belajar kembali.

Sorotan kini ia tujukan pada kesenjangan sumber daya dan guru berkualitas yang terpusat di sekolah-sekolah dengan reputasi mentereng, tingkat perundungan yang masih memprihatinkan, minimnya minat siswa menggali potensi diri, dan stereotip yang melekat ketika masyarakat berbicara perihal sekolah swasta dan negeri.

Yang patut dicatat, perhitungan PISA terbaru dilakukan ketika Muhadjir Effendy masih menjabat sebagai Mendikbud. Nah, sejauh mana perubahan yang dijanjikan Nadiem? Hasilnya bakal terlihat dalam tes PISA tahun 2021 mendatang.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Irwan Idris
Ach. Hidayat Alsair
Irwan Idris
EditorIrwan Idris
Follow Us