"Jika kita mendengarkan omongannya tanpa melihat orangnya, pasti kita mengira dia adalah orang Portugis sejati, karena ia berbahasa Portugis sama fasihnya dengan orang Lisbon. Ia menguasai dengan baik segala misteri kita, dan telah membaca kisah raja-raja kita di Eropa dengan keingintahuan besar."
Kisah Karaeng Pattingalloang, Raja Tallo yang Fasih Berbahasa Portugis

- Karaeng Pattingalloang lahir dari Sultan Awwalul Islam, Raja Tallo ke-7, yang memeluk Islam setelah bertemu dengan ulama pembawa Islam ke Sulawesi Selatan.
- Kepiawaian berbahasa Portugis Karaeng Pattingalloang dipuji oleh misionaris Prancis Alexandre de Rhodes dan membantu diplomasi perdagangan Makassar.
- Karaeng Pattingalloang memiliki koleksi perpustakaan fantastis termasuk memesan globe raksasa dan teropong buatan Galileo Galilei untuk menyalurkan hasrat intelektualnya.
Makassar, IDN Times - Bahasa Portugis kembali menjadi topik pembicaraan hangat selama beberapa pekan terakhir. Ini tak lepas dari wacana terbaru Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) tentang penerapan pelajaran bahasa tersebut di sekolah-sekolah. Hal tersebut diusulkan oleh Presiden Prabowo Subianto setelah menerima kunjungan kenegaraan Presiden Brasil, Luiz Inácio Lula da Silva, pada 23 Oktober 2025 lalu.
Hubungan kita dengan orang-orang penutur rumpun bahasa Lusofon tersebut sebenarnya tak hanya terjadi saejak era modern. Sejarawan Merle Calvin Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008) menyatakan bahwa Portugis adalah kerajaan Eropa pertama yang menjejakkan kaki di Nusantara, tepatnya Kepulauan Maluku, di bawah pimpinan Antonio de Abreu pada 1512 atau setahun usai Alfonso de Albuquerque tiba di Malaka (kini Malaysia). Mereka jauh lebih dulu ketimbang Belanda yang baru mendarat di Pelabuhan Banten pada tahun 1596.
Motivasi para pelaut-pedagang Portugis ini berlayar hingga lebih dari 15 ribu kilometer ini tentu saja adalah rempah-rempah, sebuah komoditas yang dibanderol dengan harga tinggi di Eropa saat itu. Meski pada akhirnya membuka lembaran kelam histori kolonialisme di Nusantara, kehadiran Portugis sudah cukup untuk menjadi motivasi seorang pemuda kelahiran Makassar untuk belajar bahasa negeri yang terletak di ujung Semenanjung Iberia tersebut.
1. Rasa haus ilmu pengetahuan diwariskan dari sang ayah, Sultan Awwalul Islam

Nama pemuda tersebut adalah I Mangadacinna I Daeng Baqle dan bergelar Karaeng Pattingalloang. Menurut Lontaraq Bilang yang mendokumentasikan tanggal-tanggal penting dalam sejarah Gowa-Tallo, ia lahir pada Agustus 1600 dari pasangan suami-istri Raja Tallo ke-7 Sultan Awwalul Islam I Mallingkaan Daeng Mannyonri Karaeng Matoayya dan permaisuri I Wara' Karaeng Lempangang. Yang menarik ayah Karaeng Pattingalloang ini adalah Raja Tallo pertama yang memeluk Islam setelah bertemu dengan salah satu dari tiga ulama pembawa Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk ri Bandang.
Anthony Reid menjuluki Raja Tallo ke-7 tersebut sebagai Sang Pencerah (Renaissance Man) dalam buku A History of Southeast Asia: Critical Crossroads (2015). Ini tak lepas dari fakta bahwa pendamping Sultan Alauddin sebagai Tuma'bicara-butta (juru bicara negeri Gowa-Tallo, setingkat Perdana Menteri) tersebut sudah menaruh minat pada buku-buku bertema teologi, sains hingga astronomi. William Cummings pun menguatkan fakta tersebut dalam buku Making Blood White: Historical Transformations in Early Modern Makassar (2002).
Kebiasaan membaca sang ayah rupanya menurun kepada Pattingalloang muda. Ia diwarisi hasrat ingin tahu sang ayah, dan seolah tidak ada habisnya. Saat menginjak remaja, ia mulai belajar sejumlah bahasa asing seperti Portugis, Latin, Spanyol dan Melayu. Hal tersebut dilakukan untuk membaca dan mempelajari buku-buku koleksi milik ayahnya. Ini membuatnya menjadi salah satu dari segelintir poliglot pada era Nusantara lawas.
2. Kepiawaian Karaeng Pattingalloang berbahasa Portugis dipuji oleh para orang Eropa

Salah satu kesaksian tentang kepiawaian Karaeng Pattingalloang berbahasa Portugis datang dari Alexandre de Rhodes SJ, seorang pastor dan misionaris asal Prancis. Hal tersebut tertuang dalam catatannya saat menyambangi Makassar pada tahun 1653 dalam rangka misi keagamaan. Catatan de Rhodes kemudian disadur ulang sejarawan Denys Lombard dalam bukunya yang berjudul Nusa Jawa: Batas-batas Pembaratan (1996).
Saat Karaeng Pattingalloang menjabat sebagai Raja Tallo ke-9 menggantikan Sultan Abdul Jafar Muzaffar I Manginyarrang Daeng Makkio pada 1641, ia membawa kemampuan diplomasi yang luwes serta bahasa asing mumpuni. Bahasa Portugis saat itu menjadi lingua franca perdagangan maritim global. Maka, kemampuannya bukan sekadar gimmick, tapi modal penunjang Makassar saat berinteraksi dengan pedagang atau utusan dari Eropa, termasuk Belanda (VOC) yang menjadi salah satu pemain kuat di pasar rempah-rempah.
3. Globe ukuran raksasa pernah dipesan Karaeng Pattingalloang langsung ke Belanda

Meski bertugas sebagai orang nomor dua di Gowa-Tallo, Karaeng Pattingalloang masih sempat menyalurkan hasrat intelektualnya pada ilmu pasti. Ini terlihat dari koleksi perpustakaan pribadinya yang fantastis. Geoffrey C. Gunn dalam buku First Globalization: The Eurasian Exchange, 1500 to 1800 (2003) menyebut bahwa koleksi mulai dari buku-buku terbitan Eropa hingga Turki, manuskrip kuno, empat volume Atlas dunia buatan Joan Blaeu (kartografer mahsyur asal Belanda).
Ia bahkan tercatat pernah memesan teropong buatan Galileo Galilei di tahun 1635, sebuah artefak astronomi paling mutakhir di zamannya. Lalu ada juga globe dunia berukuran raksasa yang dipesannya pada tahun 1644. Globe buatan tangan memiliki diameter fantastis yakni hingga 400 sentimeteR, yang menurut Denys Lombard adalah proyek terbesar yang pernah ditangani bengkel kerja Joan Blaeu. Semuanya diantar oleh kapal-kapal milik VOC, pihak yang dianggap ancaman terbesar Gowa-Tallo tapi masih menaruh hormat kepada Karaeng Pattingalloang.
Minat Pattingalloang terhadap matematika, astronomi, geografi, dan optik mencuatkan rasa kagum dari para pelancong dan intelektual Eropa. Apresiasi ini semakin kuat sebab bidang-bidang tersebut sedang berkembang pesat selama era Renaissance. Salah satu pujian datang dari dunia sastra saat Joost van del Vondel, seorang penyair terkenal Belanda, menciptakan puisi untuk menghormati Karaeng Pattingalloang setelah kematiannya pada tahun 1654 :
"Bola dunia itu, perusahaan Hindia Timur
Mengirimkannya ke rumah Pattingalloang agung
Yang otaknya menyelidik ke mana-mana
Menganggap dunia seutuhnya terlalu kecil
Kami berharap tongkat kekuasaannya memanjang
Dan mencapai kutub satu dan yang lain
Agar keuzuran waktu hanya melapukkan
Tembaga itu, bukan persahabatan kita"


















