Sejarah Awal Masuknya Kristen ke Sulsel

Kristen menyebar di Sulsel sejak pertengahan abad ke-16

Makassar, IDN Times - Menurut data penduduk tahun 2015, Kristen merupakan agama kedua dengan penganut terbanyak di Sulawesi Selatan. Rinciannya, terdiri dari 8,11 persen Protestan dan 2,25 persen Katolik.

Meski termasuk minoritas, riwayat penyebaran Kristen di Sulsel sudah berlangsung sejak pertengahan abad ke-16. Pasang surut kondisi politik saat itu turut mempengaruhi aktivitas para pendeta dan misionaris menyebarkan firman Tuhan.

Dalam buku The Bugis (Blackwell, 1996) yang disusun mendiang Christian Pelras, etnolog asal Prancis, dua bangsawan Makassar dibaptis pada tahun 1540 saat berkunjung ke Ternate. Saat itu, pelaut Portugis mulai menancapkan pengaruhnya dalam urusan perdagangan rempah-rempah di seantero Maluku. Terlebih pelaut Francisco Serrão menjalin relasi dengan penguasa setempat sejak tahun 1512.

Tahun 1541, dua orang itu kembali berkunjung ke Ternate membawa emas, kayu cendana dan senjata yang terbuat dari besi. Ketiganya disebut sebagai kekayaan alam yang berasal dari daerah mereka.

Baca Juga: Cornelis Speelman, Laksamana Kompeni Penakluk Supremasi Gowa-Tallo

1. Penguasa Kerajaan Siang melihat ajaran Kristen punya banyak kesamaan dengan kepercayaan lama Bugis

Sejarah Awal Masuknya Kristen ke Sulsel(Ilustrasi) Dok. Djarum Foundation

Seorang pedagang Portugis bernama Antonio de Paiva (atau Antoniy de Pavya), takjub dengan kabar yang didengarkan perihal kekayaan alam Makassar. Alhasil ia rela berlayar dari Malaka ke Sulawesi pada 1542 mencari kayu cendana. Ia tiba di Durate, sebuah daerah yang disebut berada di antara Toli-toli dan Dampelas di Sulawesi Tengah kini.

Ia sempat singgah beberapa bulan di Kerajaan Siang, salah satu kerajaan tertua di Sulsel yang pusat wilayahnya kini berada di Kabupaten Pangkep. Tahun 1544, ia kembali singgah di Siang dan tetangganya, Kerajaan Suppa' (kini Pinrang). Singkat cerita, raja Siang dan Suppa' dibaptis oleh Paiva setelah terlibat dalam "debat teologis yang sengit."

Raja Siang disebut bertanya tentang kenapa dan bagaimana Yesus bisa diangkat ke surga. Ini sedikit banyak mengingatkannya dengan yang dialami, Batara Guru, sosok yang dipercaya menjadi leluhur orang Sulawesi. Dalam epos La Galigo, ia disebut sebagai putra tertua dan anak sulung Datu Patoto', sang penguasa dunia atas atau kahyangan.

Selama diskusi dengan Paiva , Raja Siang menemui banyak kesamaan dengan tradisi Bugis. Ada konsep To Manurung yang "melindungi orang Bugis" dan Santo Yakobus sebagai pelindung Iberia (Portugal dan Spanyol). Turut pula kebiasaan tentara Portugis mengibat panji perang selama pertempuran. Sementara kerajaan Bugis mengenal Arajang yang juga punya fungsi serupa.

2. Keputusan banyak raja Ajattapareng memeluk agama Kristen sedikit banyak dianggap sebagai cara membendung pengaruh Gowa-Tallo

Sejarah Awal Masuknya Kristen ke SulselPemandangan pusat Kesultanan Gowa-Tallo dan Benteng Somba Opu dari lepas pantai, dalam lukisan Johannes Vingboons yang dibuat tahun 1665. (Wikimedia Commons/Nationaal Archief)

"Kembali ke Malaka, Paiva tak cuma membawa hadiah resmi untuk Kerajaan Portugal. Turut pula empat pemuda yang kemudian dikirim ke Goa (India) untuk dididik di sekolah Jesuit. Ada juga utusan dari dua raja sebagai pengantar permintaan pengiriman beberapa pendeta, serta mungkin juga dukungan militer," tulis Pelras (hal. 127).

Lebih jauh, Pelras berpendapat bahwa baik raja Siang dan Suppa' melihat keputusan masuk Kristen sebagai cara lain untuk membangun aliansi dengan Portugal. Mereka mulai khawatir dengan gelagat ekspansif yang datang dari Gowa-Tallo.

Tahun 1545, Pastor Vicente Viegas dikirim oleh pemerintah Portugis sebagai bentuk relasi persahabatan. Ia di Suppa' yang masuk dalam Federasi Ajattapareng. Satu setengah tahun menetap di sana, ia turut membaptis raja Kerajaang Alitta dan Kerajaan Bacukiki', dua sekutu dekat Suppa'.

Lebih jauh, Pelras menemukan fakta bahwa Viegas turut membaptis penguasa Tallo sebagai taktik "menyalip" relasi Siang-Portugal. Kendati demikan, tak ada lontaraq yang mencatatnya. Namun, salah satu kronik menyebut bahwa ada dua pangeran muda Gowa yang dititipkan ke Portugis untuk menimba ilmu.

3. Masyarakat Gowa-Tallo mulai melihat masuknya misionaris pada tahun 1525

Sejarah Awal Masuknya Kristen ke SulselLukisan tentang kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan pada abad ke-16. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)

Sayangnya, langkah Portugis memprioritaskan kerajaan-kerajaan Sulsel berkurang secara bertahap mulai tahun 1559. Sekitar tahun 1584, empat biarawan Fransiskan menetap di Makassar namun hanya sebentar.

Pelras menyebut bahwa para raja didasarkan "kesalahpahaman serius" tentang dogma Kristen. Selain itu, mereka disebut tak siap mengganti posisi para Bissu, para pendeta dari ajaran lama To Riolo, dalam struktur pemerintahan kerajaan.

Di sisi lain, sejarah turut mencatat perkembangan pesat Katolik di Gowa-Tallo. Dalam buku Sejarah Gereja Katolik Indonesia (G. Vriens, 1972), ini diawali dengan tibanya tiga misionaris asal Portugal yakni Pastor Antonio do Reis, Pastor Cosmas de Annunciacio, seorang Bruder Bernardinode Marvao, di Pelabuhan Makassar pada 1525.

Dengan kata lain, Gowa-Tallo diklaim lebih dulu berhubungan dengan para pemuka agama Katolik ketimbang para bangsawan Ajattapareng. Mereka melakukan pelayanan kepada para pelaut dan warga Portugis. Ketiganya pun melayani sejumlah raja dan bangsawan lokal yang telah dibaptis.

Hubungan Gowa-Tallo dan Portugis memasuki fase baru setelah Bandar Malaka direbut VOC pada Januari 1641. Sultan Alauddin, penguasa saat itu, menitahkan penerimaan pengungsi warga Portugal yang terusir. Jumlahnya sekitar tiga ribu orang.

4. Sempat surut pasca Perjanjian Bongaya, aktivitas misionaris baru kembali menggeliat jelang abad ke-20

Sejarah Awal Masuknya Kristen ke SulselPemandangan Gereja Katedral Makassar, pusat aktivitas Kristen Katolik, antara tahun 1900 hingga 1919. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)

Persaingan ketat Belanda-VOC dengan Portugis dalam berebut supremasi perdagangan rempah-rempah Nusantara berimbas pada aktivitas pastor-misionaris Portugis di Gowa-Tallo. Puncaknya terjadi pada Perjanjian Bongaya 1667, setelah aliansi VOC memaksa Sultan Hasanuddin melepas supremasi maritim kerajaannya.

Kompeni mewajibkan pengusiran seluruh orang Portugis, termasuk para rohaniawan Kristen Katolik. Mereka dengan berat hati, para Pastor dan Bruder pergi dari daerah yang sudah ditinggali selama lebih dari tiga dekade.

Pasca Perjanjinan Bongaya, atau selama 225 tahun, tak ada Pastor Katolik menetap di Makassar. Jemaat yang masih ada cuma dilayani oleh rohaniawan yang rela menempuh perjalanan laut dari Surabaya atau Larantuka (Flores Timur).

Pemerintah Kolonial Belanda pada awalnya bersikap netral untuk perkara  agama. Namun perubahan arah politik dan dorongan Politik Etis turut berimbas ke negara koloni. Pada 1892, sebuah surat dari Batavia memerintahkan pemindahan Pastor Aselbergs SJ, dari Larantuka ke Makassar.

Pastor Aselbergs inilah yang merintis upaya pembangunan gereja katedral. Niat mulianya baru terwujud tiga tahun berselang, dimulai dengan pemberian sebidang tanah dan rumah di Komedistraat (kini Jl. Kajaolalido) pada 1895. Gereja katedral tersebut akhirnya rampung di tahun 1900.

Baca Juga: Karaeng Pattingalloang: Poliglot dan Pencinta Sains Asal Gowa-Tallo

Topik:

  • Aan Pranata

Berita Terkini Lainnya