TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Parade Jersey PSM Makassar dari Masa ke Masa (3)

Menilik sejenak masa Ligina hingga Liga Primer Indonesia

ANTARA FOTO/Yusran Uccang

Makassar, IDN Times - Jersey sebagai "pakaian perang" di mata para penikmat sepak bola seolah menjadi bagian penting dari perjalanan panjang sebuah kesebelasan. Pakaian mereka turut menjadi saksi bisu segala kesuksesan atau keringnya prestasi di lapangan hijau. Jatuh bangun hingga setiap tetes keringat yang mengucur turut dirasakan para pemain dalam balutan baju kebesaran.

PSM juga demikian. Sejak mulai merasakan ketatnya kompetisi nasional pada 1951, warna merah sudah identik dengan mereka. Berikut IDN Times sajikan secuplik perjalanan Pasukan Ramang serta jersey yang menemani mereka sejak era Ligina hingga masa Liga Primer Indonesia.

Baca Juga: Parade Jersey PSM Makassar dari Masa ke Masa (1)

Baca Juga: Parade Jersey PSM Makassar dari Masa ke Masa (2)

7. Delapan musim bersama Adidas

Instagram.com/memori_psm

Begitu masuk era kompetisi Ligina (gabungan Perserikatan dan Galatama) sejak 1994/95, Adidas menjadi apparel seluruh kontestan kasta teratas selama tiga musim beruntun yakni dari tahun 1994 hingga 1997. Namun, jersey yang disuplai raksasa perlengkapan olahraga Jerman itu bukan perkara asing. Kerja sama sempat dijalin dengan sejumlah klub Perserikatan era 1980-an, termasuk PSM.

Setelah menjuarai Ligina 1999/2000, Adidas kembali menjadi supplier kit selama lima musim selanjutnya (2001-2006), menemani langkah mereka di Ligina dan AFC Champions League. Ya, desain keempat bertahan cukup lama. Yang acapkali berubah hanyalah barisan sponsor di dada.

8. Musim 1998/99, terbentur di fase kedua

Instagram.com/sulselfootballhistory

PSM masih berstatus sebagai "raksasa" di musim 1998/99. Setelah kompetisi 1997/98 terhenti di tengah jalan akibat iklim politik yang kian tak kondusif, Juku Eja harus melepas sebagian pemain bintangnya. Yang paling mencolok tentu saja Luciano Leandro serta Jacksen F. Tiago.

Meski demikian, sejumlah nama lokal menjadi tumpuan tim utama. Ada Zain Batola, Jufri Samad, Ayyub Khan, Ronny Ririn, Ali Baba, Yusrifar Djafar dan masih banyak lagi. Hadir pula duo legiun asing Latin yang mengambil alih peran juru gedor dan pengatur serangan, yakni Rodrigo Araya dan Ariel Gutierrez.

Nyaris tanpa tanding di Wilayah Timur, langkah PSM harus terhenti di babak 10 besar. Mereka terjerembap sebagai juru kunci Grup B, kalah bersaing dengan PSMS, Persija, Pelita Bakrie dan Pupuk Kaltim.

Setelah kewajiban apparel seragam resmi ditanggalkan, PSM menggandeng Reebok, perusahaan olahraga asal Amerika Serikat, sebagai supplier mereka selama dua musim.

9. Musim 1999/2000, akhirnya kembali jawara!

Instagram.com/sulselfootballhistory

Pasca hasil kurang memuaskan, PSM langsung bergerak cepat dengan mendatangkan sejumlah nama tenar. Ada gelandang Yeyen Tumena serta juru gedor Kurniawan Dwi Yulianto (keduanya alumnus program Primavera), kiper Hendro Kartiko, striker Miro Baldo Bento, arsitek lini tengah Bima Sakti - Aji Santoso, dan bek sayap Ortizan "Sajojo" Solossa.

Legiun asingnya pun berkualitas. Ada duo tembok belakang Orume Charles Lionga - Joseph Lewono, si gempal namun anggun Carlos de Mello yang sudah mencicipi gelar Ligina bersama Persebaya di musim 1996/97 dan penyerang Saphou Lassy yang berkebangsaan Gabon.

Ayam Jantan Dari Timur finis sebagai penguasa Wilayah Timur, selisih 9 poin dengan runner-up Arema. Keperkasaan kembali teruji di babak 8 besar. Tiga laga kontra Pupuk Kaltim - Persijatim - PSMS berakhir dengan kemenangan. Di semifinal, giliran Persija yang dilibas berkat gol tunggal Miro Baldo Bento.

Anak asuh Henk Wullems kembali bersua Pupuk Kaltim di partai puncak yang berlangsung di SUGBK pada 23 Juli 2000. Di hadapan 30 ribu pasang mata, mereka menggunduli rival mereka sejak babak penyisihan tersebut dengan skor tipis 3-2.

Nah, jersey Reebok edisi musim 1999/2000 agaknya menjadi buruan kolektor lantaran reputasinya menemani PSM menyabet gelar juara perdana di kompetisi berformat baru.

10. Menggandeng apparel lokal

Instagram.com/memori_psm

Sempat "mesra" dengan beberapa apparel asing, PSM berlabuh pada buatan lokal. Vilour, penyedia baju olahraga asal Bandung, menjadi pilihan utama. Kerja sama terjalin selama tiga musim yakni 2007/08 (kiri), 2011/12 (tengah) dan 2010/11 (kanan). Namun, jersey ini menjadi saksi perjuangan mereka berkutat di papan tengah hingga menyeberang ke Liga Primer Indonesia.

11. Musim 2008/09, terseok di papan tengah

ANTARA FOTO/Yusran Uccang

Ligina berganti menjadi Liga Super, namun perubahan tak hanya terjadi dalam segi nama saja. PSSI meminta seluruh klub peserta menjunjung tinggi asas profesionalitas, yang berarti, menggantungkan pendanaan aktivitas pada usaha sendiri ketimbang menyelipkan nama dalam daftar alokasi anggaran APBD.

Nah, pertama kali berurusan dengan label profesional, PSM sempat terseok-seok di papan tengah. Syamsul Chaeruddin cs finis di peringkat 8 edisi pertama Liga Super. Padahal materi skuad mereka musim itu tak jelek-jelek amat. Ada kiper Samsidar, bek Handi Hamzah, dan gelandang Ali Khaddafi - Lantame Ouadja Sakibou.

Yang mencuri perhatian? Sektor depan mereka diisi para pemain haus gol. Ada Julio Lopez (eks PSIS), Claudio Pronetto (musim sebelumnya memperkuat Deltras Sidoarjo) serta Aldo Barreto yang memulai petualangannya di Indonesia bersama PSM.

Di musim perdana Liga Super, PSM menggandeng apparel asal Italia yang sudah tak asing di telinga pecinta sepak bola dunia: Diadora.

Berita Terkini Lainnya