TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Pro-Kontra Kebiri Kimia untuk Pelaku Kekerasan Seksual pada Anak-anak

Pegiat advokasi HAM nilai kebiri kimia tidak manusiawi

Ilustrasi kekerasan. (IDN Times/Mia Amalia)

Makassar, IDN Times - Pengesahan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020, menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Sebagian mengkritik kebijakan yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan tindakan kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, rehabilitasi, dan pengumuman identitas pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Sebagiannya lagi mendukung penuh aturan itu.

Praktisi hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Haswandy Andy Mas menilai peraturan itu berlebihan. Menurutnya, tindakan kebiri kimia bagi residivis atau terpidana kasus kekerasan seksual terhadap anak adalah salah satu bentuk penghukuman yang kejam dan tidak manusiawi karena menimbulkan rasa sakit baik fisik maupun mental.

"Itu yang dilarang oleh Konvensi Internasional, menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia yang telah diratifikasi oleh Indonesia berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 2008," kata Haswandy saat berbincang dengan IDN Times, Selasa (5/1/2021) di Makassar, Sulawesi Selatan.

1. Ada masalah dalam internal lembaga pengawasan para pelaku kejahatan

Ilustrasi Penjara (IDN Times/Mardya Shakti)

PP tersebut telah ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 7 Desember 2020. Peraturan itu merupakan turunan dari UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Haswandy menganggap, tindakan kebiri kimia sebenarnya mengonfirmasi bahwa terjadi persoalan dalam proses rehabilitasi. Mulai dari medis, psikiatri dan aspek sosial terhadap narapidana di lembaga pemasyarakatan. "Jangan-jangan ada persoalan manajemen koordinasi antara Lapas dan Bapas serta lembaga-lembaga terkait rehabilitasi dan reintegrasi sosial," ungkap dia.

Atau, kata Haswandy, persoalan lain seperti jumlah petugas layanan rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang terbatas sehingga proses pembinaannya tidak berjalan baik. Hal itu dianggap sebagai salah satu pemicu terpidana kembali mengulangi perbuatannya dengan melakukan kekerasan seksual saat keluar dari penjara.

"Mengingat adanya persoalan kelebihan jumlah tahanan dan narapidana di Rutan dan Lapas Indonesia yang telah menjadi pengetahuan bersama," Hasawandy menerangkan.

Baca Juga: KPAI: PP Kebiri Kimia Beri Kepastian Hukum Predator Seksual 

2. Kebiri kimia dianggap bukan solusi

Ilustrasi Suntikan (IDN Times/Arief Rahmat)

Haswandy mengatakan, Kementerian Hukum dan HAM sampai saat ini belum pernah melakukan evaluasi dan kajian secara komprehensif mengenai efektivitas manajemen koordinasi antarpetugas layanan dan kelembagaan, terkait proses rehabilitasi yang dijalankan di Rutan dan Lapas. "Termasuk pengawasan serta pelibatan masyarakat saat terpidana keluar dari penjara setelah menjalani hukuman," ujarnya.

Yang dibutuhkan sebenarnya, lanjut Haswandy, bukan hukuman pengebirian terhadap pelaku. Melainkan, mengevaluasi secara komprehensif pelaksanaan rehabilitasi dan reintegrasi sosial dalam meningkatkan kuantitas dan kualitas layanan rehabilitasi. "Serta reintegrasi sosial bagi terpidana," tutur mantan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar ini.

Baca Juga: ICJR Kritisi PP Kebiri Kimia: Anggarannya Besar dan Bersifat Populis

Berita Terkini Lainnya