TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Pakar Sebut Rapid Test Gratis di Makassar Tidak Efektif Atasi Corona

Satu-satunya cara yang efektif adalah PCR swab test

Rapid test massal di Makassar, Selasa, 12/5/2020. (Humas Pemprov Sulsel)

Makassar, IDN Times - Epidemiolog Universitas Hasanuddin (Unhas) Ansariadi menyoroti agenda rapid test atau tes cepat COVID-19 yang digelar Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Rapid test digelar secara gratis untuk masyarakat di Makassar mulai Senin hari ini, 6 Juli 2020.

Menurut Ansariadi, rapid test tidak efektif untuk penanganan COVID-19. Tes itu tidak bisa digunakan untuk mengidentifikasi apakah seseorang terpapar atau tidak.

"Rapid test itu bukan alat diagnostik. Bukan untuk memastikan apakah seseorang terpapar COVID-19. Fungsinya hanya untuk menyaring, kira-kira orang itu pernah terpapar oleh  mikro organisme lainnya yang menyebabkan terjadinya peningkatan antibodi,"kata Ansariadi kepada IDN Times, Senin.

Baca Juga: IDI Makassar Kritik Gubernur soal Pola Penanganan Pasien COVID-19

1. Hasil rapid test reaktif bisa saja karena terpapar virus selain COVID-19

Rapid test massal di Makassar, Selasa (12/5). Humas Pemprov Sulsel

Ansariadi mengatakan, hasil rapid test reaktif bukan menjadi tolak ukur apakah seseorang terpapar COVID-19 atau tidak. Substansi dari rapid test hanyalah untuk memastikan antibodi seseorang. Hasil rapid test reaktif bisa jadi karena pengaruh atau faktor dari penyakit maupun virus dan mikro organisme lainnya.

"Hanya saja karena yang banyak beredar adalah corona, makanya dicurigai jangan-jangan corona. Itu pun harus dipastikan corona penyebab COVID-19 atau virus lainnya. Jadi tergantung tujuannya, kalau untuk mendiagnosa memang tidak cocok pakai rapid," Ansariadi menjelaskan.

Ansariadi menilai, upaya pemerintah untuk menekan laju penyebaran COVID-19 dengan berbagai metode sebenarnya cukup baik. Hanya saja, ketika rapid test digunakan dengan tujuan untuk mendiagnosa hingga memvonis seseorang terpapar COVID-19, menurutnya itu sangat tidak tepat dan keliru.

2. Rapid test tidak bisa mendeteksi virus yang baru masuk ke tubuh

Para peserta UTBK gelombang I di ITS pemegang KIP-Kuliah melakukan rapid test di gedung Plasa dr Angka ITS. Dok. Humas ITS

Menurut Ansariadi, rapid test hanya berfungsi untuk menyaring orang-orang yang antibodinya sedang bermasalah. Persoalan antibodi pun tidak selalu bisa dikaitkan dengan COVID-19.

Dia melanjutkan bahwa memastikan bahwa seseorang terbukti terpapar COVID-19 hanya dengan pemeriksaan lanjutan, yakni PCR swab test. Selain itu, rapid test hanya dapat mengetahui antibodi seseorang reaktif atau tidak, jika orang terpapar virus setelah empat hari atau seminggu lebih.

"Antibodi itu biasanya atau kira-kira muncul setelah lewat dari semingggu. Kalau ada mikro organisme yang masuk, baru itu tubuh memproduksi antibodi. Kira-kira satu minggu kemudian itu baru bisa terdeteksi. Dia (rapid) tidak bisa mendeteksi kalau virusnya itu baru dua atau tiga hari di dalam tubuh," ucap Ansariadi.

Baca Juga: Kasus COVID-19 di Sulsel Melonjak, Benarkah karena Penelusuran Masif?

Berita Terkini Lainnya