TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

IDI Makassar Jelaskan soal Hasil Rapid Test Positif dan Negatif Palsu

Rapid test tidak direkomendasikan untuk diagnosis COVID-19

Humas IDI Makassar dr Wachyudi. IDN Times/IDI Makassar

Makassar, IDN Times - Humas Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Makassar, dr Wachyudi Muchsin merespons hebohnya perbincangan di media sosial terkait hasil rapid test palsu. Wachyudi menjelaskan, rapid test merupakan salah satu penapisan awal guna 
mendeteksi antibodi yang diproduksi oleh tubuh seseorang untuk melawan virus corona atau COVID-19.

Rapid test dianggap tidak tepat digunakan dalam mendiagnosa COVID-19. "Tapi bukan penegakkan diagnosa COVID-19. Penegakan diagnosa itu adalah swab PCR," kata Wachyudi kepada IDN Times, saat dikonfirmasi Rabu (23/9/2020).

1. Banyak kasus kesalahan rapid test di Indonesia

Ilustrasi Rapid Test COVID-19. (IDN Times/ Herka Yanis)

Wachyudi mengatakan, sudah banyak kasus kekeliruan diagnosis yang terjadi di Indonesia karena menggunakan alat rapid test untuk menentukan seseorang terinfeksi COVID-19. Contohnya, jelas Wachyudi, ketika rapid test seseorang reaktif, malah pada pemeriksaan swab PCR, hasilnya justru negatif. Sebaliknya, rapid test nonreaktif namun ketika di-swab PCR, hasilnya menunjukkan positif.

"Jadi hasilnya positif atau dikatakan negatif palsu. Dikatakan positif palsu atau pun negatif palsu hasilnya. Negatif palsu itu bahasa awamnya tidak akurat," tegas Wachyudi.

Baca Juga: IDI Makassar Kritik Gubernur soal Pola Penanganan Pasien COVID-19

2. Rapid test tidak akurat, WHO sudah tidak merekomendasikan untuk dipakai

Petugas medis menunjukkan hasil screening rapid test non reaktif pasien di tenda darurat di depan IGD RSU Cut Meutia Aceh Utara, Aceh, Selasa (22/9/2020) (ANTARA FOTO/Rahmad)

Lebih rinci, Wachyudi menyebut bahwa hasil rapid test bukan menjadi satu-satunya tolok ukur untuk mendiagnois COVID-19 seseorang yang telah diperiksa. Baik hasil reaktif maupun nonreaktif. Swab PCR, kata Wachyudi, adalah satu-satunya alat yang sepatutnya digunakan.

"Positif dan negatif palsu itu tidak akurat. Itu poin utamanya, karena WHO pun sendiri, tidak merekomendasikan rapid test sebagai penegakan diagnosa. Swab PCR yang menjadi penegakan diagnosa," ungkap Wachyudi.

Baca Juga: IDI Makassar: Pilkada 2020 Berpotensi Munculkan 10 Juta Kasus COVID-19

Berita Terkini Lainnya