TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Riwayat Bola Soba', Saksi Bisu Perjuangan Rakyat Bone Melawan Penjajah

Rumat adat bersejarah yang pernah ditinggali oleh Raja Bone

Situs bersejarah dan rumah adat Bola Soba' Saoraja Petta Penggawae yang terletak di Watampone, Sulawesi Selatan, sebelum terbakar. (Dok. Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan)

Makassar, IDN Times - Peristiwa terbakarnya rumah adat Kerajaan Bone, Bola Soba', pada Sabtu (20/3/2021) dini hari mengejutkan masyarakat. Kepala Bidang Pencegahan dan Penyelamatan Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Bone, Akbar menyebut bahwa pihak kepolisian masih menyelidiki penyebab kebakaran yang melahap habis situs bersejarah itu.

Lebih jauh, Akbar menjelaskan bahwa si jago merah menjalar dengan cepat lantaran semua sisi bangunan terbuat dari material kayu. Sebagian bahkan sudah lapuk dimakan usia.

Bangunan rumah panggung tradisional khas Bugis di Jalan Latenritatta, Kel. Manurunge, Kec. Tanete Riattang tersebut merupakan salah satu warisan historis Kerajaan Bone. Berumur lebih dari 100 tahun, Bola Soba juga menjadi saksi bisu perjuangan rakyat Bone dan Sulawesi Selatan (Sulsel) melawan penjajahan.

1. Bola Soba' didirikan pada masa pemerintahan Raja Bone ke-31, La Pawawoi Karaeng Sigeri MatinroE ri Bandung

Situs bersejarah dan rumah adat Bola Soba' Saoraja Petta Penggawae yang terletak di Watampone, Sulawesi Selatan, antara tahun 1900 hingga 1920. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)

Abdul Mutallib M. dalam buku Bola Soba: Sejarah dan Pemugarannya (Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sulawesi Selatan, 1984) menjelaskan bahwa Bola Soba didirikan saat Raja Bone ke-31, La Pawawoi Karaeng Sigeri MatinroE ri Bandung menjadi penguasa Kerajaan Bone (1895-1905).

Bola Soba' sendiri sempat dinamakan Saoraja, yang berarti "kediaman sang raja". Setelahnya, bangunan sepanjang panjang 39,45 meter ini ditempati oleh putra La Pawawoi yang bernama Baso Pagilingi Abdul Hamid. Baso Pagilingi kelak dilantik sebagai Petta Ponggawae (Panglima Perang) Kerajaan Bone oleh raja, setelah lebih dulu mendapat persetujuan dari Dewan Adat (Ade' Pitue).

Lebih jauh, derajat yang menempati Saoraja sendiri bisa dilihat dari jumlah singkap bubungan rumah (timpa' laja) sesuai tata kehidupan masyarakat Bugis. Lima singkap berarti sedang ditinggali raja, dan empat singkap jika dihuni oleh putra raja.

Baca Juga: Nama Khas Bugis Makassar, Identitas Kultural Pengingat Kampung Halaman

2. Sempat jatuh ke tangan Belanda dalam peristiwa Rumpa'na Bone

Situs bersejarah dan rumah adat Bola Soba' Saoraja Petta Penggawae yang terletak di Watampone, Sulawesi Selatan, sebelum terbakar. (Dok. Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan)

Peristiwa Rumpa'na Bone (Runtuhnya Bone), yakni invasi tentara Hindia-Belanda pada 1904 hingga 1905, berdampak amat dalam bagi eksistensi Kerajaan Bone. Dipimpin oleh Petta Ponggawae, masyarakat dan bala tentara saling bahu membahu menahan laju ratusan prajurit KNIL pimpinan Kolonel C. Van Loenen. Namun mereka tak sanggup menghalau lantaran armada musuh dilengkapi persenjataan yang lebih canggih.

Laskar Bone terus menerus terdesak mundur. Raja La Pawawoi terpaksa menyingkir ke daerah Pasempe setelah Saoraja berhasil direbut oleh KNIL pada 30 Juli 1905. Petta Ponggawae pun kerap berpindah-pindah untuk menjaga perlawanan. Mulai dari Palakka, Pasempe, Gottang, Lamuru, Citta di daerah Soppeng hingga ke Bulu Awo yang berbatasan dengan Tana Toraja.

Di Bulu Awo inilah Petta Ponggawae gugur diterjang peluru prajurit KNIL pada 18 November 1905, sekaligus mengakhiri perlawanan rakyat Bone. La Pawawoi, yang saat itu berusia 80 tahun, tertangkap dan diasingkan ke Bandung kemudian Batavia. Ia mangkat pada tanggal 17 Januari 1911.

3. Pada masa Revolusi Kemerdekaan, berfungsi sebagai markas kelompok pejuang KGSS

Situs bersejarah dan rumah adat Bola Soba' Saoraja Petta Penggawae yang terletak di Watampone, Sulawesi Selatan, sebelum terbakar. (Dok. Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan)

Pada tahun 1912, Saoraja difungsikan oleh otoritas Hindia-Belanda sebagai penginapan dan menjamu tamu-tamu asal Belanda atau Eropa. Dari situlah awal penamaan Bola Soba', yang bermakna "rumah persahabatan", atau dalam bahasa Bugis yakni Sao Madduppa to Pole.

Pasca-mangkatnya La Pawawoi, tak ada raja yang memerintah selama 26 tahun. Selama itu pula Saoraja tak pernah ditinggali oleh penguasa tertinggi Bone. Barulah pada masa Raja Bone ke-32, La Mappanyukki Sultan Ibrahim MatinroE ri Gowa (1931-1946), Bola Soba' difungsikan sebagai istana sementara. Ini dijelaskan dalam Laporan Pemugaran Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sulawesi Selatan tahun 1982 oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Salah satu inisiator Deklarasi Jongaya tersebut bahkan mengizinkan petinggi kelompok Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) bermarkas di Bola Soba' selama masa perjuangan pasca-Proklamasi Kemerdekaan. Tahun 1957, tempat tersebut sempat menjadi asrama TNI sebelum berubah jadi situs bersejarah.

Baca Juga: Kebakaran Hanguskan Rumah Adat Kerajaan Bone

Berita Terkini Lainnya