TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Fenomena Comot Isi Berita untuk Feed Medsos Akun Pseudonim, Legalkah?

Jenis pelanggaran UU Hak Cipta yang terjadi setiap hari

Kegiatan seminar Pascasarjana Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Fajar (Unifa) Makassar. Dok IDN Times/Istimewa

Makassar, IDN Times - Seiring perkembangan teknologi dan komunikasi, fenomena konten jurnalistik disebar melalui akun media sosial pseudonim semakin marak terjadi. Entah itu hanya tangkapan layar judul atau bahkan mengopi seluruh isi berita. Fenomena ini sering disebut sebagai free riding. Media daring yang mengutamakan kecepatan pun jadi seolah memiliki kompetitor.

Berangkat dari fakta tadi, mahasiswa Pascasarjana Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Fajar (Unifa) Makassar coba melakukan telaah secara menyeluruh. Bertempat di Hotel Golden Tulip Essential, mereka mengadakan seminar bertajuk "Media Mainstream versus Media Sosial" pada Selasa, 2 Februari 2021 lalu.

Hadir sebagai pembicara yakni Herwin Bahar (Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Sulawesi Selatan dan Suardi Tahir (Wakil Ketua Bidang Pendidikan PWI Sulsel). Turut pula Muhammad Asdar selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Pascasarjana Unifa dan Dekan Fakultas Pascasarjana Unifa, Dr. Ismail Marzuki.

1. Fenomena free riding konten jurnalistik melanggar UU Hak Cipta

Kegiatan seminar Pascasarjana Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Fajar (Unifa) Makassar. Dok IDN Times/Istimewa

Menurut Abdul Azis, salah satu mahasiswa yang membawakan materi, free riding terjadi akibat lemahnya perlindungan produk jurnalistik. Padahal, hal demikian telah diatur dalam UU Hak Cipta No. 28 Tahun 2014.

Main "comot" konten jurnalistik disebut tak lagi bersifat murni menyebarkan informasi ke followers. Melainkan cara lain meningkatkan impresi dan jangkauan akun. Tentu agar keuntungan dari pengiklan bisa datang.

"Jadi ini bukan murni untuk mengabarkan pengikut atau akun yang dijangkaunya tapi juga untuk mencari keuntungan profit. Bisa dilihat di bio akunnya, ada akun dengan terang-terangan mendeklarasikan diri sebagai akun bisnis, menampilkan nomor WhatsApp untuk keperluan bisnis dan menampilkan akun-akun lain yang bisa jadi satu grup bisnis," kata Azis.

2. Konten jurnalistik digunakan oleh banyak akun pseudonim untuk komersialisasi

Unsplash.com/S O C I A L . C U T

Kendati UU Hak Cipta (UUHC) No. 28 Tahun 2014 Pasal 43 telah menggarisbawahi mana pelanggaran dan mana yang bukan, tindakan "free riding" pun tak berarti bisa dilakukan dengan bebas.

Poin C menyebutkan: "Pengambilan berita aktual, baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita, Lembaga Penyiaran, dan surat kabar atau sumber sejenis lainnya dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap."

Namun, "free riding" produk jurnalistik di media sosial bertentangan dengan poin D yakni: "Pembuatan dan penyebarluasan konten Hak Cipta melalui media teknologi informasi dan komunikasi yang bersifat tidak komersial dan/atau menguntungkan Pencipta atau pihak terkait, atau Pencipta tersebut menyatakan tidak keberatan atas pembuatan dan penyebarluasan tersebut."

Menurut Azis, akun anonim seperti di Instagram menggunakan produk jurnalistik untuk tujuan komersialisasi.

"Walaupun informasi media mainstream dapat dikutip tapi apabila tujuannya untuk memperoleh pendapatan dari iklan/endorse atau komersialisasi dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta," ujarnya.

Baca Juga: Mondial Fest 2019: Menengok Peran Media Sebagai Juru Damai

3. Penggunaan alasan adanya aturan public domain pun keliru

Kegiatan seminar Pascasarjana Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Fajar (Unifa) Makassar. Dok IDN Times/Istimewa

Bagaimana jika akun anonim terkait berkilah dengan alasan tak ada tujuan komersil sama sekali? Azis menyebut media daring tetap rugi dari segi Hak Cipta atau Hak Ekonomi.

"Walaupun tindakan mengutip kreasi hak cipta dibantah bahwa bukan untuk mencari keuntungan, tetapi tindakan itu merugikan kepentingan ekonomi dari pencipta dalam hal ini media. Ini juga dianggap sebagai pelanggaran hak cipta. Inilah fenomena yang kami lihat," lanjutnya.

Selain itu, alasan konten menjadi milik publik atau public domain juga keliru. Pasal 58 UU Hak Cipta, kata dia, telah mengatur bahwa ciptaan berupa buku, pamflet, dan semua hasil karya tulis lainnya akan berlaku selama hidup Pencipta dan terus berlangsung selama 70 tahun setelah si Pencipta konten meninggal dunia.

Lalu kenapa free riding terus terjadi? Azis menyebut belum ada media atau pihak yang melaporkannya. Ada juga dugaan jika media kurang memperhatikan Hak Cipta dari produk jurnalistiknya sendiri.

Baca Juga: AIESEC Unhas Ajak Millennial Paham Peran Penting di Tengah Pandemik

Berita Terkini Lainnya