TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Pemerintah Diminta Tinjau Ulang Pembangunan Bendungan Pamukkulu 

Pamukkulu akan jadi bendungan terbesar ketiga di Sulsel

Google Earth

Makassar, IDN Times - Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) mendesak Pemerintah untuk mengkaji ulang proyek pembangunan Bendungan Pamukkulu di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Proyek yang masuk dalam program strategis nasional itu dianggap sarat pelanggaran HAM dan berisiko terhadap kehidupan masyarakat lokal.

Bendungan Pamukkulu rencananya menjadi yang terbesar ketiga di Sulsel, setelah Bendungan Bili-bili di Gowa dan Paseloreng di Wajo. Proyek berdiri di atas lahan seluas 640 hektare, pada masa pengerjaan 2017-2022, dengan total biaya proyek Rp1,7 triliun dari APBN dan utang luar negeri.

Direktur WALHI Sulsel Muhammad Al Amin mengatakan, 200 hektare lahan bendungan berdiri di kawasan hutan. Sedangkan sisanya akan menenggelamkan tiga dusun di Desa Kele Ko’mara, Kecamatan Polongbangkeng Utara, dengan 312 kepala keluarga terdampak. Namun dalam pelaksanaannya, pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dianggap cenderung tidak peduli dengan hak-hak masyararakat yang terdampak.

“Dari kajian dan investigasi, kami berkesimpulan bahwa pembangunan bendungan masih perlu dikaji, direvisi, dan dipertimbangkan ulang. Karena selain menghilangkan akses terhadap sungai, juga tidak manusiawi dan memiskinkan masyarakat,” kata Amin di Makassar, Kamis (28/2).

Baca Juga: Ada Pengerjaan Jaringan, PDAM Makassar Hentikan Sementara Suplai Air

1. Pembangunan tidak memperhatikan suara masyarakat

IDN Times / Aan Pranata

Amin menjelaskan, negara yang meminjam utang untuk membiayai proyek harus memenuhi persyaratan dari kumpulan bank pembangunan internasional atau MDBs. Salah satunya, yakni mengawali proyek dengan konsultasi publik, untuk memastikan apakah proyek disetujui masyarakat. Lewat konsultasi, masyarakat juga memberikan pandangan agar proyek tidak berdampak buruk.

Pada kenyataanya, WALHI menemukan bahwa proyek Bendungan Pamukkulu mengabaikan tahapan itu. Mereka menilai pemerintah malah menyembunyikan banyak informasi agar masyarakat setuju. Pada sejumlah pertemuan, pemerintah hanya mengungkap sebagian informasi proyek, namun diklaim sebagai konsultasi publik. Itu pun dengan melibatkan aparat militer dan kepolisian.

“Ini membuat warga tidak berani menyampaikan keluhan dan pendapat mereka. Upaya tersebut memperlihatkan watak asli pemerintah yang anti terhadap konsultasi publik,” ucap Amin.

2. Ganti rugi lahan jauh dari nilai ideal

IDN Times / Istimewa

Melalui Koalisi Pemantau Infrastruktur, WALHI mengkaji proyek Pamukkulu bekerja sama dengan Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM), serta Lembaga Bantuan Hukum. Salah satu temuan lain berupa rendahnya biaya ganti rugi lahan masyarakat. Pada 2016, diputuskan harga pembebasan lahan Rp3.500 per meter persegi.

Deputi Direktur Advokasi ELSAM, Andi Muttaqien menyatakan, nilai ganti tersebut sangat tidak manusiawi. Nominalnya dianggap jauh di bawah ideal, dibandingkan yang didapatkan masyarakat dari hasil pertanian setiap tahun. Ganti rugi juga belum termasuk tanaman, satwa, dan bangunan yang hilang.

Hingga saat ini belum ada masyarakat setempat yang menerima ganti rugi, karena masih menunggu putusan akhir Mahkamah Agung. Sebelumnya, gugatan di Pengadilan Negeri Takalar dikabulkan, dan hakim menetapkan biaya ganti rugi Rp50 ribu per meter persegi. Namun putusan tersebut digugat ke jalur kasasi.

“Keputusan pengadilan membuktikan bahwa ganti rugi pemerintah terhadap lahan masyarakat sudah melanggar HAM,” kata Andi.

3. Koalisi upayakan komplain ke pemberi utang

IDN Times / Aan Pranata

Menurut pantauan WALHI di lapangan, saat ini belum ada aktivitas konstruksi Bendungan Pamukkulu. Namun, pelaksana proyek tampak telah membangun jalan akses ke lokasi serta mendirikan kantor bagi pekerja. 

Amin menegaskan, Koalisi bersama masyarakat akan terus berjuang agar proyek dikaji ulang dan tidak merugikan warga terdampak. Selain menunggu hasil kasasi soal harga ganti rugi di MA, mereka juga akan berupaya mengadu atau mengajukan komplain kepada lembaga pemberi utang. Dalam hal ini, proyek sebagian dibiayai pinjaman Bank Investasi Infrastruktur Asia atau (AIIB), yang berpusat di Beijing, China.

“Kami akan memantau secara ketat progres proyek ini, dan mengupayakan laporan langsung ke AIIB. Kami tidak menolak utang luar negeri, tapi seharusnya bisa memberi manfaat, bukan mudarat,” Amin menambahkan.

Baca Juga: Gudang KPU Makassar Tidak Cukup Menampung Kotak Suara Pemilu 

Berita Terkini Lainnya