Limbah Elektronik di Makassar Bahayakan Kesehatan Pemulung
Save The Children: limbah elektronik 5 ribu ton per tahun
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Makassar, IDN Times - Potensi limbah elektronik di Kota Makassar mencapai 5.651,2 ton per tahun, demikian laporan riset Save the Children Indonesia tentang limbah elektronik dan ekonomi berkelanjutan berjudul Circular Geniuses, yang dirilis pada Februari 2023.
Menurut siaran pers yang diterima IDN Times Sulsel, Kamis (16/2/2023), riset menunjukkan limbah elektronik di Indonesia mencapai 1,8 juta ton per tahun, namun hanya 10 persen yang dikelola dengan benar dan berizin resmi. Sedangkan sebagian besar atau 90 persen dikelola sektor informal, baik individu maupun kelompok tanpa izin dan tidak terdaftar.
Limbah elektronik di Indonesia termasuk dalam kategori limbah berbahaya dan membutuhkan izin khusus untuk menanganinya. Itu sesuai ketentuan peraturan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan PP Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
Baca Juga: Mengenal Upcycling: Solusi Permasalahan Limbah
1. Banyak anak-anak pemulung terancam bahaya
Menurut laporan riset Save the Children, di Makassar ada dua ratus pemulung anak yang bersama orang dewasa terilbat di sektor limbah elektronik. Anak-anak berusia 6 hingga 17 tahun itu ada di level terbawah di sistem limbah elektronik, yakni mengumpulkan limbah tersebut.
Anak-anak pemulung tak jarang terlibat dalam proses pemilihan tidak aman, seperti membakar plastik secara terbuka, atau membongkar komponen papan sirkuit secara tidak aman. Itu diperparah dengan tidak adanya peralatan keselamatan yang tepat, sehingga dapat mengekspos diri mereka terhadap bahaya keselamatan dan kesehatan.
Salah satu anak pemulung berusia 13 tahun, Santi, kepada Save the Children mengatakan terpaksa memulung untuk membantu orang tuanya mendapatkan uang sehari-hari. Dia sering ikut bersama kakaknya mengumpulkan sampah.
"Saya berharap kita semua bisa bermain dan bersekolah secara normal seperti anak-anak lain," ucapnya.
Chief Advocay, Campaign, Communication & Media Save the Children Indonesia Troy Pantouw mengakui bahwa faktor ekonomi jadi alasan orang tua memaksa anak-anaknya bekerja sebagai pemulung. Itu faktor utama mengapa anak-anak terlibat dalam pengumpulan sampah di Makassar.
Hal ini menjadi lebih parah ketika anak-anak bekerja di sektor informal limbah elektronik, karena tentu mengancam kesehatan dan keselamatan anak-anak,” Troy Pantouw.
Baca Juga: Kelola Sampah Terpadu, Wujudkan Zero Waste Ciptakan Peluang Ekonomi