Koalisi Pemantau Soroti Kejanggalan Sidang HAM Paniai di Makassar
Jaksa Agung menetapkan terdakwa tunggal di kasus Paniai
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Makassar, IDN Times - Koalisi Pemantau Paniai mengungkap sejumlah kejanggalan pada sidang Pengadilan HAM di Pengadilan Makassar yang mengadili kasus Paniai, Papua tahun 2014. Sidang mulai digelar Rabu, 21 September 2022.
Pada sidang Rabu, agendanya pembacaan dakwaan terhadap satu-satunya terdakwa, Mayor Inf. (Purn.) Isak Sattu. Dia purnawirawan TNI Angkatan Darat, eks Perwira Penghubung Kodim 1705/Paniai.
Kasus pelanggaran HAM Paniai terjadi pada 7 Desember 2014. Peristiwa itu bermula dari tiga orang pemuda yang menegur anggotaTNI di Pondok Natal Bukit Merah, Kampung Ipakiye, Kabupaten Paniai, Papua. Teguran tersebut rupanya memicu terjadinya bentrok antara anggota TNI dan warga, karena anggota TNI bersangkutan tidak terima ditegur. Akibat kejadian tersebut, empat orang meninggal dunia dan 21 orang mengalami luka-luka.
Dakwaan kepada pelaku berupa dakwaan kumulatif: Kesatu, Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf a, Pasal 37 UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM; dan kedua, Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf h, Pasal 40 UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
Koalisi memahami bahwa berdasarkan dakwaan tersebut, pertama-tama IS didakwa dengan tanggung jawab pidana atas perbuatan yang dilakukan oleh bawahannya (command responsibility). Yaitu dalam melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan dengan ancaman pidana minimal 10 tahun penjara dan maksimal pidana mati.
"Kedua, IS didakwa atas command responsibility juga atas kejahatan terhadap kemanusiaan berupa penganiayaan, dengan ancaman pidana minimal 10 tahun penjara dan maksimal 20 tahun penjara," bunyi pernyataan Koalisi Pemantau Paniai pada siaran pers yang dikutip, Kamis (22/9/2022).
Koalisi menemukan adanya beberapa kejanggalan pada sidang itu. Berikut ini penjelasannya.
Baca Juga: Amnesty Internasional Sebut Sidang HAM Paniai di Makassar Hanya Gimik
1. Seharusnya terdakwa lebih dari satu
Kejanggalan, menurut Koalisi Pemantau Paniai, adalah Jaksa Agung menetapkan pelaku tunggal dalan konstruksi dakwaan kasus Paniai. Sedangkan kejadian itu dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi melalui “serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil”.
"Serangan tersebut pastinya melibatkan lebih dari satu pelaku. Hukum dan standar internasional yang berlaku untuk kejahatan terhadap kemanusiaan dengan jelas menyatakan bahwa baik mereka yang memiliki tanggung jawab komando maupun mereka yang secara langsung melakukan kejahatan harus dimintai tanggung jawab pidana," tulis Koalisi.
Penyelidikan Komnas HAM membagi para terduga pelaku dalam beberapa kategori, yaitu pelaku lapangan, komando pembuat kebijakan, komando efektif di lapangan, dan pelaku pembiaran. Secara logika, penanggung jawab komando bertanggungjawab atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh bawahannya.
Koalisi mengingatkan bahwa konteks pertanggungjawaban komando tidaklah berhenti pada orang yang memberikan perintah saja, melanikan juga termasuk pertanggungjawaban atasan yang tidak mencegah atau menghentikan tindakan pelanggaran HAM yang berat atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Itu sebagaimana Pasal 42 UU Pengadilan HAM.
"Oleh karena itu sudah sepatutnya dakwaan tidak hanya menyasar IS sebagai Perwira Penghubung tetapi juga menyasar pada atasan yang dalam hal ini telah diduga tidak mencegah atau menghentikan dan menyerahkan pelaku kepada pihak berwajib. Pada titik ini, Jaksa tidak boleh terkesan melindungi pelaku dengan tidak menuntut pelaku yang jelas sangat potensial melanggar HAM."
Lebih dari itu, itu seharusnya Penuntut memulai dengan membuktikan pelaku lapangan telah melakukan kejahatan kemanusiaan. Apabila Penuntut memulai dari penanggung jawab komando, maka seandainya penanggung jawab komando diputus bebas oleh Pengadilan, mengakibatkan pelaku lapangan kemudian tidak lanjut didakwa oleh Penuntut.
Baca Juga: Purnawirawan TNI Terancam 20 Tahun Penjara dalam Kasus HAM Paniai