Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Minim Partisipasi di Pilkada, Alarm bagi Masa Depan Demokrasi

Ilustrasi Pilkada. (IDN Times/Aditya Pratama)

Makassar, IDN Times - Pilkada Serentak 2024 telah usai digelar pada 27 November 2024. Pesta demokrasi yang berlangsung di 37 provinsi dan 514 kabupaten/kota ini melibatkan lebih dari 200 juta pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Namun, di balik euforia pemilihan ini, terselip ironi yang memprihatinkan: partisipasi pemilih yang jauh di bawah harapan.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) melaporkan tingkat partisipasi nasional mencapai 71 persen. Meski terkesan cukup tinggi, angka ini menyembunyikan realitas yang lebih kompleks di berbagai daerah.

Salah satu contohnya adalah Pilkada Jakarta 2024, yang mencatatkan tingkat partisipasi hanya 53,05 persen—angka terendah sepanjang sejarah Pilkada Jakarta. Dari total 8,2 juta pemilih dalam DPT, hanya sekitar 4,3 juta yang hadir di TPS. Sebagai perbandingan, partisipasi pemilih sebelumnya mencapai 65% pada 2007 dan 2012, bahkan menyentuh 70% pada 2017.

Tingkat partisipasi di Pilkada serentak 2024 juga masih lebih rendah dibandingkan Pilkada 2020 lalu. Padahal, ketika itu, Pilkada digelar ketika terjadi pandemi COVID-19. Tingkat partisipasi Pilkada 2020 mencapai 76,09 persen. 

Mengapa antusiasme masyarakat untuk memilih menurun? Padahal, Pilkada Serentak sejatinya menjadi momen strategis untuk menentukan arah pembangunan daerah dalam lima tahun ke depan.

Di balik statistik ini, ada banyak persoalan yang perlu kita gali—mulai dari faktor penyebab hingga evaluasi untuk perbaikan di masa depan. Rendahnya partisipasi pemilih bukan sekadar angka, tetapi gejala yang menuntut perhatian lebih dari kita semua.

1. Angka partisipasi jeblok di berbagai daerah

KPU Jatim saat rapat pleno rekapitulasi Pilgub Jatim, Minggu (8/12/2024). (IDN Times/Khusnul Hasana)

Data rekapitulasi hasil penghitungan suara pilkada di berbagai daerah menunjukkan rendahnya partisipasi pemilih. Salah satunya di Bandung, Jawa Barat. Data KPU Bandung, hanya 64,78 persen pemilih yang datang ke TPS.

Merujuk data jumlah pemilih yang mencapai 1.887.881, artinya hanya ada sekitar 1.222.969 pemilih saja. Dengan demikian, ketika pasangan Farhan-Erwin yang memenangkan Pilwalkot berdasarkan hitung cepat yang mencapai 44 persen, hanya mendapatkan suara sekitar 538 ribu.

Ketua KPU Kota Bandung Khoirul Anam mengatakan bahwa tren penurunan angka partisipasi ini memang mengkhawatirkan, karena turun sekitar 10 persen dari Pilkada sebelumnya. Meski demikian, KPU Bandung menilai bahwa penurunan ini banyak variabelnya karena terjadi tidak hanya di Kota Bandung.

"Jadi banyak faktor. Kami akan coba melakukan evaluasi apa saja yang jadi penyebabnya. Karena kegiatan sosialisasi dibantu pemerintah daerah dan organisasi masyarakat pun sering dilakukan hingga lebih dari 250 kali," kata Ketua KPU Kota Bandung Khoirul Anam, Rabu (4/12/2024).

Di Kota Tangerang, Banten, Tingkat partisipasi pemilih pada Pilkada 2024 hanya sekitar 58 persen dari total DPT 1.377.828 pemilih. Padahal, pada Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024, partisipasi pemilih mencapai 81 persen.

Komisioner KPU Kota Tangerang, Yudhistira Prasasta, mengakui rendahnya partisipasi pemilih pada pilkada kerap terjadi. Dia berdalih selama ini pihaknya telah melakukan berbagai sosialisasi ke pemilih, mulai dari pemilih muda hingga lansia.

"Ini kan bicara pemilu pilkada itu bukan cuma bicara KPU Kalau di penyelenggara kan ada KPU, ada Bawaslu, ada di DKPP untuk lebih luasnya lagi ada stakeholder. Nanti kami evaluasi bersama," jelasnya

Angka partisipasi pemilih pada Pilkada Makassar lebih rendah, yaitu 58 persen. Total suara sah yang tercatat adalah 583.191, sedangkan jumlah DPT sebanyak 1.037.164. Padahal KPU Makassar sudah mematok target partisipasi tak terlalu tinggi, yaitu 65 persen. Pada Pilkada 2020, target partisipasinya lima persen.

Rendahnya partisipasi pemilih juga ditemui di level provinsi alias Pemilihan Gubernur. KPU Sumatra Barat mencatat sebanyak 42,85 persen pemilih tidak menggunakan hak pilihnya di Pilkada 2024. Dari DPT berjumlah 4.103.048, jumlah masyarakat yang datang ke TPS sebanyak 2.349.069. Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua KPU Sumatra Barat, Surya Efitrimen usai menutup sidang paripurna rekapitulasi, Minggu 8/ Desember 2024.

"Untuk partisipasi pemilih yang tercatat sebanyak 57,15 persen dari total jumlah DPT yang ada di Sumatra Barat," katanya.

Dengan angka partisipasi pemilih yang hanya sebanyak 57,15 persen tersebut, KPU Sumbar tidak mencapai target yang hendak diraih sebelumnya. "Untuk target partisipasi pemilih yang kami tetapkan sebanyak 75 persen. Tapi pada Pilkada ini tidak tercapai," kata Surya.

Angka partisipasi di bawah target juga diakui KPU Jawa Barat. Partisipasi pemilih pada Pilkada tahun ini berada di 65,97 persen. Sedangkan target yang dicanangkan di kisaran 76 persen, atau naik dua persen dibandingkan pada penyelenggaraan Pemilu sebelumnya.

"Ya pasti turun, itu makanya pekerjaan kami untuk menaikkan kembali. Tapi pasti di periode mendatang," ujar Ketua KPU Provinsi Jawa Barat Ahmad Nur Hidayat.

"Memang untuk bicara penurunan ini ataupun partisipasi perlu dikaji lebih ulang begitu ya. Terkait hal-hal karena kami tidak bisa langsung menyampaikan informasi-informasi terkait persentase pemilih ini. Insya Allah ini menjadi evaluasi atau hal-hal yang bisa kami tingkatkan pada prioritas pemilihan," kata dia.

Di Kalimantan Timur, tingkat partisipasi pemilih di angka 69,18%. Namun Ketua Bawaslu Kaltim, Hari Dermanto, menyebut rendahnya partisipasi dalam Pilkada adalah fenomena yang sudah sering terjadi. Pilkada biasanya kurang menarik dibandingkan Pileg atau Pilpres.

“Banyak faktor memengaruhi, seperti calon yang tidak menarik bagi masyarakat, keterbatasan waktu untuk hadir di TPS, atau perpindahan domisili,” jelasnya. Meski begitu, Hari menekankan rendahnya partisipasi tidak serta-merta mencerminkan kualitas demokrasi yang buruk.

“Partisipasi memang penting, tapi bukan satu-satunya ukuran demokrasi. Ada negara dengan partisipasi tinggi, tapi praktik demokrasinya tetap kurang baik,” ujarnya.

2. Banyak surat pemberitahuan memilih tak sampai ke pemilih

Foto hanya ilustrasi (IDN Times/Yuko Utami)

Rendahnya partisipasi pemilih menjadi catatan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Ada berbagai variabel yang diduga jadi pemicu, tapi sejumlah persoalan teknis dianggap jadi persoalan mendasar yang paling berperan. Salah satunya persoalan distribusi logistik.

Hal itu antara lain disampaikan Ketua Bawaslu Nusa Tenggara Barat (NTB), Itratip. Di NTB, angka partisipasi pemilih pada Pilkada 2024 74%. Meski di atas rata-rata nasional, angka itu turun sekitar 10% dibandingkan Pemilu 2024.

Itratip mengatakan, Bawaslu NTB telah memberikan beberapa catatan dan rekomendasi terkait pelaksanaan Pilgub NTB 2024. Antara lain, pemilih malas datang ke TPS karena tidak mendapatkan surat C pemberitahuan memilih dari jajaran KPU.

"Situasi ini harus dilakukan perbaikan dan peninjauan kembali atas ketentuan yang diatur oleh PKPU karena secara administratif sudah menyalahi ketentuan dan mencederai hak pilih orang lain," tegasnya.

Temuan serupa diungkapkan Ketua Bawaslu Lombok Timur Suadi Mahsun. Dia mengatakan, banyak form pemberitahuan yang tidak disampaikan petugas KPPS kepada pemilih bersangkutan. Selain itu, penempatan lokasi TPS yang jauh membuat sebagian pemilih enggan datang. "Temuan kita itu, banyak form pemberitahuan yang tidak terdistribusi," ungkap ketua Bawaslu Lotim, Suadi Mahsun.

Anggowa Bawaslu Kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung, Muhammad Muhyi menjelaskan, distribusi formulir C di daerahnya tidak maksimal. Bahkan, formulir tersebut baru sampai di tingkat KPPS pada 23 November 2024, mendekati batas waktu pendistribusian.

"Sesuai aturan, KPPS harus mendistribusikan formulir C pemberitahuan kepada pemilih paling lambat 24 November 2024 pukul 23.59 WIB. Namun, pemilih masih diperbolehkan meminta langsung formulir tersebut kepada KPPS hingga satu hari sebelum hari pemungutan suara," katanya saat dihubungi, Kamis (28/11/2024).

Muhyi mencatat, dari total daftar pemilih tetap (DPT) sebanyak 786.231, formulir berhasil didistribusikan hanya mencapai 657.434 atau 83,62 persen. Seluruh jumlah tersebut baru selesai didistribusikan selesai pada 26 November 2024 pukul 23.59 WIB.

Anggota KPU Kota Makassar Abdi Goncing punya jawaban soal kurang optimalnya distribusi formulir C yang terjadi di mana-mana. Menurut dia, itu umumnya terjadi karena data alamat yang tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) tidak lengkap.

“Banyak alamat hanya mencantumkan nama jalan tanpa nomor rumah atau lorong, sehingga petugas KPPS kesulitan menemukannya. Ini membuat warga bingung mengenai lokasi TPS mereka,” jelasnya.

3. Penggabungan TPS turut jadi faktor, sebagian masyarakat lebih pilih masuk kerja

Ilustrasi pilkada serentak. (IDN Times/Mardya Shakti)

Abdi turut mengungkap alasan lain mengapa partisipasi pemilih cenderung rendah. Di beberapa TPS, hanya sekitar 50 persen dari jumlah pemilih terdaftar yang datang menggunakan hak pilih mereka. Salah satu penyebab utama adalah penggabungan TPS, yang mengharuskan pemilih untuk berpindah ke lokasi TPS yang lebih jauh dari tempat tinggal mereka. Ada juga sebagian data pemilih yang tidak diperbarui meski sudah pindah daerah.

"Penggabungan TPS imbasnya pasti akan seperti itu. Makanya tantangan partisipasi salah satunya karena banyak pemilih yang bergeser dari TPS yang biasanya dekat," ujar Abdi, Kamis 28 November 2024.

"Itu yang kemudian menjadi catatan kami bahwa dalam proses mutarlih kemarin berarti ada hal yang memang harus kita sempurnakan ketika proses berikutnya," kata Abdi.

Soal alasan penggabungan TPS juga disampaikan Anggota KPU Provinsi Lampung, Dedi Fernando. "Kalau Pemilu kemarin, per satu TPS itu ada sekitar 300 pemilih, sedangkan Pilkada ini satu TPS bisa 500-600 pemilih. Ini menyebabkan adanya pemilih yang harus menempuh jarak untuk datang ke TPS," sebutnya.

Faktor lainnya tahapan Pilkada hingga masa kampanye tergolong singkat, serta kehadiran pasangan calon yang dirasa tidak sesuai dengan kriteria pemilih. "Menurut kami faktor-faktor ini cukup berpengaruh, sehingga berdampak pada partisipasi pemilih," lanjut dia.

Pada Pilkada Kabupaten Malang 2024, partisipasi masyarakat hanya 1.237.260 suara dari 2.060.576 Daftar Pemilih Tetap (DPT). Artinya tingkat partisipasi masyarakat hanya 60,01 persen.

Anggota KPU Kabupaten Malang Marhaendra Pramudya Mahardika menduga berkurangnya jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) jadi penyebabnya, karena masyarakat harus memilih di TPS yang jaraknya lebih jauh dari biasanya.KPU Kabupaten Malang sendiri mendirikan 4.041 TPS di 33 kecamatan pada Pilkada 2024. Sementara pada Pilkada 2020, KPU Kabupaten Malang mendirikan sebanyak 4.969 TPS di 33 kecamatan.

"Evaluasi kami sementara yang secara nampak, jumlah pemilih dalam 1 TPS pada Pilkada 2020 dengan sekarang lebih banyak. Kemarin saat Pilkada 2020 paling banyak ada 400 pemilih dalam 1 TPS, tapi sekarang ada 600 pemilih dalam 1 TPS. Itu akan berkonsekuensi pendirian TPS bisa jadi berjarak lebih jauh dengan domisili pemilih," terangnya saat dikonfirmasi pada Rabu (11/12/2024).

Selain itu, pria yang akrab disapa Dika ini mengungkapkan bahwa banyak masyarakat yang tidak mengembalikan Surat C Pemberitahuan dari KPU Kabupaten Malang. Ia mengatakan Surat C Pemberitahuan ini tidak dikembalikan antara karena pemilik suara tidak bisa ditemui di rumah atau karena sudah pindah domisili tapi tidak melakukan pemberitahuan.

"Kalau C pemberitahuan kita siapkan sesuai DPT, tapi ketika tidak tersampaikan, mungkin karena TMS (Tidak Memenuhi Syarat) sudah pindah (domisili) atau tidak dapat ditemui, mereka yang tidak dapat ditemui bisa jadi menganggap tidak perlu datang ke TPS. Padahal sejatinya yang sudah terdaftar di DPT tanpa membawa C pemberitahuan hanya dengan membawa KTP atau data penduduk sudah dapat datang ke TPS," dia menjelaskan.

Kondisi khusus terjadi di Bali. Ketua KPU Klungkung, I Ketut Sudiana mengatakan, rendahnya tingkat partisipasi pemilih di daerahnya diperkirakan terjadi karena bertepatan dengan banyak upacara adat. Di sisi lain, sebagian pegawai swasta ternyata tidak diliburkan saat pemungutan suara.

"Kami sudah berusaha maksimal dalam memberikan informasi kepada warga. Sosialisasi Pilkada telah masif, namun partisipasi warga belum sesuai harapan kami," kata Ketua KPU Klungkung, I Ketut Sudiana, Selasa (3/12/2024).

Beberapa desa seperti di Kecamatan Banjarangkan menggelar upacara adat besar. Yaitu penyineban Ida Bhatara Pura Agung Kentel Gumi, merupakan bagian dari rangkaian karya ngusaba dan tawur labuh gentuh, yang hanya dilaksanakan 10 tahun sekali.

"Di Kecamatan Nusa Penida, banyak warga yang melaksanakan upacara adat seperti pitra yadnya atau ngaben. Sehingga tidak sempat datang ke tempat pemungutan suara (TPS)," jujar Sudiana.

Sudiana juga menambahkan, meskipun hari pencoblosan telah ditetapkan sebagai hari libur nasional, namun banyak pegawai swasta yang tidak mendapatkan libur. Sudiana menduga inilah yang turut menghambat kehadiran para pemilih.

"Warga yang kerja di sektor swasta juga banyak golput, karena mereka tidak diliburkan saat hari pencoblosan. Hal ini juga harus menjadi perhatian bersama," katanya.

4. Masyarakat jenuh dengan pemilihan yang berdekatan?

Ilustrasi pencoblosan saat pemungutan suara Pilkada Serentak 2024. (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)

Ketua KPU Provinsi Jabar, Ahmad Nur Hidayat mengungkap dugaan lain soal rendahnya partisipasi pemilih. Diketahui berdasarkan data KPU Jabar, partisipasi pemilih pada tahun ini angkanya berada di 65,97 persen dari total 35,92 juta DPT. Sedangkan target yang dicanangkan di kisaran 76 persen, atau naik dua persen dibandingkan pada penyelenggaraan Pemilu sebelumnya.

Menurut Ahmad, adanya kejenuhan masyarakat dalam memilih kepala daerah. Sebab Pilkada Serentak digelar hanya beberapa bulan setelah Pemilu.

"Di daerah-daerah, itu kan masyarakat ini mengalami kejenuhan politik karena pasca pemilihan presiden dan wakil presiden, bersamaan dengan pemilihan legislatif untuk DPR RI, DPRD Provinsi, kabupaten, kota hingga DPD RI," ujarnya.

Setelah Pilpres dan Pileg yang dilakukan secara bersamaan, kemudian masyarakat disuguhkan kembali untuk memilih pasangan kepala daerah baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten dan kota. Apalagi tidak adanya keselarasan para partai pengusung dari tingkat provinsi hingga daerah.

Faktor lainnya yaitu masa kampanye yang tergolong pendek. Menurutnya, dengan waktu kampanye yang diberikan hanya dua bulan untuk pasangan calon baik di provinsi dan kabupaten kota membuat tidak mampu mengajak para pemilih untuk menyalurkan hak suaranya.

"Sehingga menurut hemat saya bisa jadi ya seorang kandidat itu dia tidak memiliki cukup waktu untuk mengajak pemilih, kemudian memastikan pemilih itu bisa mendapatkan pilihan politiknya," katanya.

Sementara, mengenai sosok figur dalam Pilkada ini juga turut mempengaruhi tingkat partisipasi. Secara umum, dikatakan Ahamad elektabilitas dan popularitas dari pasangan calon ini bisa lebih maksimal jika ada penambahan waktu dalam masa kampanye.

"Makanya ini yang paslon-paslon ini kan mesti cukup ruang untuk bisa membuka diri kan gitu. Pasca Pilpres dan Pileg ini kan belum ada jeda waktu istirahat ya. Karena modelnya serentak di tahun yang sama 2024 hanya beda beberapa bulan sehingga konsolidasi dari setiap misalnya anggaplah partai politik itu tidak cukup optimal menurut saya," Ahmad menambahkan.

Pengamat Politik dari Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung, Firman Manan punya pandangan yang sama dengan Ahmad. Menurutnya, pelaksanaan Pilpres dan Pileg terlalu mepet dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah, baik itu Pilwalkot, Pilbup dan Pilgub.

"Ada beberapa faktor, karena perhatian publik termasuk media, parpol politik, pemilih itu kan pada Pilpres, isu-isu terkait pilkada agak tertinggal, jadi tidak menarik perhatian publik," ujar Firman.

Kemudian, Firman juga sependapat bahwa ada kejenuhan politik dari para pemilih dalam perhelatan Pilkada serentak yang digelar 27 November 2024, kemarin. Belum lagi sosok kandidat yang dirasakan masyarakat tidak menarik.

"Ketiga bisa saja justru terkait dengan kandidatnya yang tidak memenuhi ekspektasi publik, atau kemudian tidak kompetitif, seperti Jawa Barat," katanya.

Dengan kondisi ini, Firman memberinya beberapa catatan terhadap penyelenggara pemilu. Menurutnya, Pilkada serentak harus dievaluasi dan diberikan jeda waktu antara Pilpres, Pileg. Artinya jangan digelar di tahun yang sama. "Kalau saya berpikir harus ada jarak yang relatif tidak seperti sekarang cuma 9 bulan. Misal ada jeda setahun atau dua tahun, karena itu penting untuk mengkondisikan pemilih," ucapnya.

Hal senada pernah disuarakan Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya. Dia menduga turunnya angka partisipasi pada Pilkada serentak 2024, karena masyarakat jenuh waktu Pilpres, Pileg dan Pilkada berdekatan.

"Memang di beberapa daerah terlihat sekali menunjukkan angka yang berbeda, yang lebih rendah. Ya, mungkin juga ini dikarenakan ada kejenuhan antara pelaksanaan pileg pilpres dengan Pilkada, terlalu berdekatan. Mungkin juga karena faktor-faktor lain," ujar Bima di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (2/12/2024).

Bima Arya menyebut faktor lain yang menurunkan angka partisipasi Pilkada 2024 turun karena calon kepala daerah bukan berasal dari wilayah asalnya. "Mungkin keterkenalannya lebih rendah, sehingga itu merupakan disinsentif bagi pemilih untuk memilih," kata dia.

"Tapi, apapun itu kita pelajari angka-angkanya menjadi bahan masukan bagi kita, ketika kita nanti akan merevisi sistem pemilu dan Pilkada,"  dia menambahkan.

5. Masyarakat terutama anak muda merasa kurang memiliki keterlibatan

Ilustrasi pencoblosan saat pemungutan suara Pilkada Serentak 2024. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Pengamat politik dari Universitas Mulawarman, Saipul Bachtiar, menilai ada masalah mendasar dalam sistem Pilkada yang turut memengaruhi partisipasi pemilih. Salah satu masalah utama adalah dominasi partai politik dalam menentukan pasangan calon (paslon).

“Paslon sering kali ditentukan oleh Dewan Pimpinan Pusat (DPP) partai tanpa melalui uji publik. Ini membuat masyarakat merasa kurang memiliki keterlibatan dalam proses pemilihan,” ucap Saipul.

Ia juga menyoroti maraknya praktik politik uang di mana-mana. “Pragmatisme pemilih masih tinggi. Banyak yang lebih terpengaruh oleh uang daripada visi dan misi calon,” dia manambahkan.

Sebagai pemilih dominan, kepercayaan Milenial dan Gen Z terhadap partai politik (parpol) sangat minim, demikian pula dengan keterlibatannya dengan sistem pemilihan maupun pemerintahan. Hal ini terungkap dalam survei IDN Research Institute, Indonesia Millenial and Gen Z Reporter (IMGR) 2025.

Survei melibatkan 1.500 responden di 12 kota besar melalui pengambilan sampel secara acak. Milenial didefinisikan sebagai mereka yang berusia 28 hingga 43 tahun, sedangkan gen z mencakup individu berusia 12 hingga 27 tahun pada tahun 2024.

Dalam laporan ini, menyatakan milenial dan Gen Z masih ragu-ragu terhadap keberadaan lembaga-lembaga politik yang bebas dari korupsi, dan perilaku skeptisisme ini kebanyakan di kalangan penduduk kota besar. Selanjutnya, generasi  milenial dan Gen Z Indonesia juga semakin kecewa dengan integritas lembaga politik, tercermin dari tingkat kepercayaan yang sangat rendah-hanya 3,06 dari 5,00 dalam hal kepercayaan bahwa partai politik bebas dari korupsi.

Skeptisisme para kelompok milenial dan gen z meluas ini turut mengancam untuk melepaskan generasi yang seharusnya bisa menjadi kekuatan yang kuat untuk perubahan atau agen perubahan. Tantangan bagi lembaga-lembaga politik sudah jelas: yaitu tidak hanya harus berbicara tentang perubahan, tetapi juga harus mewujudkannya dengan cara-cara yang nyata dan transparan yang beresonansi dengan kaum muda.

Kemudian, generasi milenial dan Gen Z menggunakan gagasan untuk terlibat dengan para pembuat kebijakan. Mereka percaya bahwa ada peluang untuk memengaruhi kebijakan, tetapi keyakinan tersebut masih jauh dari kuat, dengan skor kepercayaan diri rata-rata 3,48 dari lima.

Jelas bahwa mereka melihat beberapa potensi untuk membuat perbedaan, tetapi mereka juga sangat menyadari adanya rintangan. Hanya lima persen dari mereka yang berpikir bahwa sangat mungkin untuk terlibat langsung dengan para pembuat kebijakan dengan cara yang benar-benar penting.

Sementara 45 persen melihatnya sebagai hal yang mungkin, tetapi tidak terlalu mudah. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun pintu keterlibatan politik tidak tertutup rapat, namun pintu tersebut hampir tidak terbuka, membuat banyak anak muda merasa terjebak di luar.

Pandangan yang hati-hati ini mencerminkan realitas yang dihadapi banyak anak muda ketika mencoba untuk terhubung dengan mereka yang berkuasa. Hambatan-hambatannya nyata-entah itu birokrasi yang berbelit-belit, kurangnya akses, atau hanya perasaan bahwa suara mereka tidak akan membuat perbedaan.

6. Butuh inovasi penyelenggara pemilu untuk mendorong partisipasi publik

Seorang warga melakukan pencoblosan di salah satu bilik suara di TPS 22 Anak Air (Foto: IDN Times/Halbert Caniago)

Pengamat politik dari Universitas Islam Syech Yusuf (Unis) Tangerang, Adib Miftahul menyoroti kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dinilai tidak optimal meski telah mendapat dana hibah yang besar untuk operasionalnya.

Menurut Adib, KPU gagal menghadirkan inovasi dalam sosialisasi dan edukasi pemilu. Ia menilai KPU seharusnya memanfaatkan instrumen baru yang lebih menarik dan relevan untuk mengedukasi pemilih.

“Program KPU itu hanya itu-itu saja, tidak ada ide baru yang visioner untuk meningkatkan partisipasi pemilih, terutama di kalangan generasi milenial dan Gen Z,” kata Adib kepada IDN Times, Jumat (13/12/2024).

“Hibahnya besar, tetapi sosialisasinya tetap begitu-begitu saja. Ini patut menjadi catatan serius,” kata Adib.

Selain kinerja KPU, Adib juga menyebut, adanya kejenuhan masyarakat terhadap calon-calon yang dinilai tidak membawa aspirasi nyata atau perubahan signifikan. “Tokoh-tokoh yang muncul itu-itu saja, program kerjanya tidak konkret, sehingga masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap proses pemilihan,” ujarnya.

Ia menekankan, bahwa partai politik juga turut bertanggung jawab atas rendahnya partisipasi karena gagal melakukan pendidikan politik yang baik. “Elit partai politik hanya sibuk berebut kekuasaan tanpa memberikan pendidikan politik yang membangun kesadaran pemilih,”  katanya.

Pengamat Politik dari Universitas Sumatera Utara (USU), Indra Fauzan menyoroti rendahnya partisipasi Pemilihan Umum (Pemilu) untuk Pemilihan Kepala Daerah, khususnya daerah Sumut ataupun Medan sekitarnya. Dia menilai bahwa, tahun politik ini menjadi kontestasi elit. Sehingga, masyarakat cenderung enggan untuk memilih.

"Masyarakat yang memang mungkin mereka lebih baik mencari uang, kerja karena memang yang libur itu untuk para sektor-sektor perkantoran, tapi masyarakat di sektor informal lebih banyak daripada sektor formal. Sehingga, mereka lebih cenderung untuk ke tempat lokasi mereka bekerja petani, berdagang kemudian yang bekerja disektor non formal juga lebih memilih ke tempat pekerjaan mereka. Jadi itu masih ada," ujarnya.

Kemudian, lanjut Indra, Gen Z juga perlu dorongan yang kuat agar mereka mau datang ke TPS. Sehingga, mereka dapat berpikir untuk mengumpulkan kesadaran kalau mereka memiliki hak pilih dan penting bagi mereka.

"Sehingga, stereotip yang muncul di masyarakat bahwa siapapun yang akan terpilih akan jadi seperti ini saja itu tidak akan muncul," ucapnya.

Terpisah, Akademisi Universitas Lampung, Yusdiyanto mengatakan, fenomena rendahnya partisipasi pemilih dipicu sejumlah faktor. Mulai dari visi regulasi pelaksanaan Pilkada yang banyak membatasi atau mempersempit ruang demokrasi, semisal sisi publikasi hingga urusan kampanye paslon yang terkesan banyak dicampuri oleh penyelenggara.

Menurutnya, situasi serupa terlalu rumit hingga regulasi-regulasi tersebut menimbulkan rasa pelarangan. Alhasil, masyarakat sebagai pemilih yang dirugikan karena tidak benar-benar merasa ada ajang Pilkada.

"Turunnya partisipasi pemilih ini terjadi tiap pelaksanaan tahun politik. Itu menandakan bahwa penyelenggara tidak melakukan kerja-kerja stimulus yang bisa meningkatkan partisipasi, tapi lebih kepada acara seremonial," ujarnya dikonfirmasi, Jumat (13/12/2024).

Yusdianto juga menyoroti terkait teknis pemungutan dan penghitungan suara yang hingga hari ini masih berlangsung secara manual. Sebagai contoh, banyak kasus penyampaian surat pemberitahuan memilih yang baru tiba di tangan pemilih di hari pencoblosan.

"Problemnya adalah banyak hal-hal teknis yang dilakukan oleh penyelenggaraan, tapi hal-hal substantif bagaimana meningkatkan partisipasi tidak menjadi prioritas. Ini bukan akibat pemilih, tapi disebabkan penyelenggara itu sendiri," lanjutnya.

Masih menyoal peran penyelenggara, Yusdiyanto melanjutkan, penurunan angka partisipasi pemilih ini bisa dibilang wajar. Mengingat, menjelang detik-detik hari pencoblosan posisi komisioner di level kabupaten/kota hingga provinsi kompak mengalami pergantian.

"Ini sangat memengaruhi karena bicara mengenai kecakapan, kemampuan, hingga kompetensi. Apa bedanya dengan orang gagap yang ditunjuk tiba-tiba melaksanakan pemilihan. Ini secara signifikan memengaruhi kerja-kerja partisipasi pemilih," katanya.

Penurunan partisipasi pemilih di Pilkada dibandingkan dengan Pilpres maupun Pileg, sejatinya sudah dapat diprediksi. Sebab, kerja-kerja sosialisasi pencalonan Pilkada hanya bertumpu pada paslon, sedangkan di masa Pilpres dan Pileg lebih kepada mesin partai hingga masing-masing caleg.

Oleh karenanya ke depan, ia mengingatkan, peningkatan partisipasi pemilih perlu dilakukan perubahan dan perbaikan menyeluruh terhadap regulasi. Serta pentingnya pembenahan SDM penyelenggara sebab tidak semua mereka mampu menerjemahkan ketentuan reguler penyelenggaraan pemilihan.

"Dari sisi pelaksanaan tata kelola pemilihan, semua hanya bicara bagaimana melaksanakan tapi tidak melihat tujuan. Jadi perlu ditekankan Pilkada adalah pesta rakyat dalam menyalurkan aspirasi masyarakat," ucap dosen Fakultas Hukum Unila tersebut.

 

Tim penulis: Debbie Sutrisno, Azzis Zulkhairil (Bandung), Muhamad Iqbal, Maya Aulia Aprilianti (Tangerang), Ashrawi Muin (Makassar), Halbert Caniago (Padang), Muhammad Nasir, Ruhaili (Mataram), Tama Wiguna, Muhaimin Abdullah (Bandar Lampung), Rangga Erfizal (Palembang), Erik Alfian (Balikpapan), Rizal Adhi Pratama (Malang), Ni Komang Yuko Utami, Wayan Antara (Denpasar), Indah Permata Sari (Medan)

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Aan Pranata
Yogie Fadila
Aan Pranata
EditorAan Pranata
Follow Us