TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kapolres Bitung dan 16 Anggotanya Dilaporkan ke Propam Mabes Polri

Diduga karena penetapan tersangka gunakan visum palsu

Cecilia Audrey, pelapor Kapolres Bitung ke Propam Polri. IDNTimes/Istimewa

Manado, IDN Times - Kapolres Bitung, AKBP Alam Kusuma, dan 16 anggotanya dilaporkan ke Propam Mabes Polri pada 24 September 2022. Laporan tersebut diajukan oleh keluarga Andre Irawan, lelaki yang ditetapkan sebagai tersangka kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Kakak Andre, Cecilia Audrey, mengatakan bahwa penetapan tersangka adiknya dilakukan dengan menggunakan hasil visum bodong. “Adik saya dipidana kasus KDRT menggunakan satu alat bukti berupa visum. Tapi visum tersebut berbeda nama, umur, dan identitas KTP pelapor,” jelas Cecilia, Senin (17/10/2022).

Kasus KDRT yang dituduhkan ke Andre sendiri sudah terjadi pada Mei 2022. Korban merupakan istrinya sendiri bernama Landy Irene Rares yang tinggal di Kecamatan Maesa, Bitung, Sulawesi Utara.

1. Identitas pelapor dan hasil visum berbeda

Ilustrasi kekerasan perempuan (IDN Times/Sukma Shakti)

Cecilia dan keluarga menemukan beberapa kejanggalan atas penetapan tersangka Andre. Cecilia melihat bahwa identitas pelapor dan hasil visum yang dikeluarkan rumah sakit berbeda.

Pelapor bernama Landy Irene Rares berusia 46 tahun saat melaporkan kasus KDRT tersebut pada tahun 2020. Namun, pada hasil visum nama korban tertulis Lendi Rares dengan usia 44 tahun.

“Kami melaporkan tiga hal. Pertama, adik saya ditetapkan sebagai tersangka tanpa ada gelar perkara. Prosesnya juga cepat, langsung P21. Kemudian, adik saya ditangkap oleh 8 polisi bertato dengan surat perintah yang salah di Hari Minggu, 30 Mei 2021,” tambah Cecilia.

Baca Juga: Seorang Ibu di Minahasa Utara Tega Membunuh Bayinya Sendiri

2. Polisi dituding gunakan visum sebagai satu-satunya alat bukti

Ilustrasi KDRT. Pexels.com/@rodnae-prod

Polisi dituding menggunakan hasil visum sebagai satu-satunya alat bukti pidana. Padahal, masih ada 3 saksi yang keterangannya tidak sinkron dengan visum et repertum tersebut.

Dalam visum et repertum tertulis bahwa Landy merupakan korban rudapaksa yang menggunakan benda tajam. Namun, tak ada pihak yang memiliki kesaksian yang sama. “Saksi dan korban sendiri menyatakan tidak melihat adik saya membawa benda tajam,” ucap Cecilia.

Saat sidang yang berlangsung di Pengadilan Negeri Bitung pada tanggal 18 Agustus 2021, keluarga Andre juga menuding bahwa saksil ahli, dr Ellen Francisca Maria Wuisan, memberikan keterangan yang janggal. Ia mengatakan bahwa dr Tassya F Poputra menyebutkan kesaksian korban yang dicekik.

“Tapi saat diperiksa tidak ditemukan apapun di bagian leher. Visum et repertum berbeda dengan rekam medis yang ditulis oleh dr Tassya F Poputra,” sambung Cecilia.

Baca Juga: Nelayan Tradisional di Bitung Diharapkan Bergabung dengan Koperasi

Berita Terkini Lainnya