Menuju Pemilu 2024: Potensi Konflik Muncul dari Penyelenggara

Wawancara Khusus Samsang Syamsir, Koordinator FIK Ornop

Makassar, IDN Times - Dinamika politik jelang Pemilu 2024 mulai terasa, bahkan saat hari pemungutan suara masih delapan bulan lagi. Dinamika ini mulai terlihat di kelompok penyelenggara.

Beberapa waktu lalu, sejumlah penyelenggara Pemilu di Sulsel disidang oleh DKPP atas dugaan pelanggaran kode etik. Mereka diadukan terkait dugaan manipulasi data hasil berita acara.

Perkara ini diadukan oleh tiga orang, yaitu Samsang Syamsir, Alfina Mustafainah, dan Abdul Rahman. Mereka memberi kuasa kepada 24 orang yang tergabung dalam Tim Hukum Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Sulawesi Selatan.

Pada 1 Juni 2023, IDN Times pun berkesempatan mewawancarai Samsang Syamsir yang juga merupakan Koordinator Forum Informasi dan Komunikasi Organisasi Non Pemerintah (FIK Ornop). Dia berbicara terkait pandangannya mengenai potensi konflik pada Pemilu 2024.

Berikut petikan wawancaranya:

Baca Juga: DKPP Sanksi Peringatan Keras Anggota KPU Sulsel Upi Hastati

Tahapan Pemilu 2024 sedang berlangsung, namun sudah terlihat ada gejolak-gejolak. Bagaimana potensi konflik pada pemilu nanti?

Sudah hampir separuh jalan ini tahapan. Proses Pemilu kan dimulai Juni tahun lalu. Ini kita sudah ada di tahun 2023,  sudah hampir setahun menuju 14 Februari 2023.

Berbicara soal potensi konflik sebenarnya itu ada dan menurut saya itu besar. Hanya tinggal bagaimana me-manage kesiapan kita untuk me-Ikonflik ini agar terkendali. Kalau persoalan kemarin itu bagian kecil dari proses. Itu salah salah satu dinamika dan menurut saya tidak bisa dipandang enteng.

Salah satu potensi konflik yang paling berbahaya menurut saya ketika potensi-potensi itu muncul dari tingkat penyelenggara. Karena penyelenggara adalah aktor terdepan, boleh dikatakan dia penjaga gawang untuk demokrasi kita. Kalau penjaga gawangnya sendiri yang membiarkan bola-bola masuk, tidak menjaga gawang dengan baik, itu problem besar.

Kalau kita misalnya me-list aktor-aktor siapa saja dalam pemilu. Tadi ada penyelenggara, ada DKPP, KPU, Bawaslu denngan peran fungsinya masing-masing. Kalau yang tiga ini tidak bisa  kita manage dengan baik, problem besar.

Aktor berikutnya, ada peserta pemilu. Peserta pemilu ini adalah partai politik, caleg yang masuk  di dalamnya. Tentu ada tahapannya dalam penetapannya. Kemudian ada calon DPD. Lalu nanti ada calon kepala daerah, calon gubernur. Itu kan peserta pemilu semua.

Di tingkatan itu pun aktor  ini pun sebenarnya banyak potensi konflik juga yang bisa muncul, misalnya persaingan antar calon di dalam memperebutkan kursi. Kemudian dalam memperebutkan nomor urut, wilayah, dapil dan sebagainya. Itu kan ada banyak potensi-potensi konflik.

Aktor yang paling penting juga adalah pemilih. Pemilih ini, potensi konfliknya sebenarnya luar biasa tetapi menurut saya, potensi konflik yang ada di tingkat pemilih ini akan sangat ditentukan oleh penyelenggara, kemudian dua aktor lainnya.

Pesimistis dengan penyelenggara pemilu?

Maksud saya potensi konflik yang bisa muncul di tingkat pemilih akan sangat dipengaruhi oleh dua aktor pemilu lainnya yaitu peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu. Penyelenggara pemilu, idelanya harus memberi edukasi yang baik terhadap pemilu ini.

Di sisi lain, kita melihat satu fakta peserta pemilu lainnya yakni calon-calon legislatif, presiden dan sebagainya itu justru seringkali membuat peta-peta konflik di tingkat pemilih. Lalu memberi edukasi yang tidak baik dengan misalnya mobilisasi politik transaksional dengan money politic, itu juga akan melahirkan satu konflik-konflik. Belum lagi kita berbicara soal konflik-konflik sosial  antara pendukung A, pendukung B yang saling bertikai hanya karena fanatik terhadap calon-calon  tertentu itu juga satu hal yang harus kita antisipasi.

Di tingkat penyelenggara, itu seharusnya juga melakukan edukasi yang baik kepada pemilih kita. Lalu juga tidak sekedar edukasi tapi juga mengawal harus berjalan dengan baik.

Saya sangat pesimis melihat fenomena penyelenggara kita saat in berkaca dari proses kita kemarin bahwa ada kecurangan yang kita duga kuat, yang sesungguhnya kita sudah ajukan di Bawaslu tapi lepas dari sanksi lalu kita coba adukan lagi melalui DKPP dengan aduan etik.

Di persidangan jelas bahwa dari 10 kabupaten kota yang kami dalilkan melakukan kecurangan, ada 7 kabupaten kota yang terbukti datanya berbeda. Kami tidak tahu. Coba bayangkan 24  kabupaten kota yang ada di Sulsel, ada 10 yang kami dalilkan 7 yang terbukti berbeda datanya. Apa yang terjadi kira-kira dengan pemilu kita.

Saya mau bilang bahwa proses verifikasi parpol yang kita duga ada kecurangan itu adalah bagian kecil dari proses kita yang menurut saya masih sangat sederhana untuk kita pantau, dibandingkan dengan nanti proses pemungutan suara.

Kalau penyelenggara kita sudah melakukan kecurangan di tahapan yang mudah ini, di proses  berikutnya bagaimana.

Dari semua tahapan Pemilu, tahapan mana yang paling rawan konflik?

Soal tingkat kerawanan, sebenarnya kita lihat semua rawan kalau kita tidak pantau. Tapi titik krusial yang paling ribet menurut saya itu pada proses pemungutan suara, lalu proses perhitungan suara itu akan sangat ribet untuk memproses jika ada temuan-temuan. Kita terbatas waktu, terbatas tenaga, terlalu banyak yang mau dipantau berapa banyak orang yang mau bergerak memantau, berapa banyak laporan yang akan ditindaklanjuti dengan waktu yang sangat sempit.

Tapi sesungguhnya semua bisa terkendali kalau memang penyelenggara kita, kemudian peserta pemilu, pemilihnya itu betul-betul siap pada proses pemilu kita. Siap alam artian di sisi penyelenggara berjalan dengan baik menjalankan kewenangannya dengan baik, kemudian kebijakan-kebijakan yang ada di KPU itu benar-benar kebijakan yang tidak memihak oligarki, tidak memihak kepentingan-kepentingan tertentu karena saya mau bilang saat ini kebijakan-kebijakan melalui PKPU yang keluar, sekarang ini sangat tidak memihak dan menurut kami itu banyak yang bertentangan dengan undang-undang pemilu kita.

Salah satu contoh adalah PKPU 10 yang mengatur soal kuota caleg perempuan. Itu kan sangat merugikan perempuan karena perhitungan matematisnya itu pembulatan ke bawah. Jika  kita mengikuti pembulatan ke bawah, maka otomatis itu kuota 30 persen itu tidak terpenuhi. Yang dirugikan perempuan. Berarti melanggar undang-undang soal keterwakilan perempuan memperhatikan kuota 30 persen.

Kedua, PKPU 11 yang memberikan keleluasaan terhadap orang yang pernah terlibat korupsi untuk mencaleg. Ini  kan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh penyelenggara pemilu kita yang tidak memihak kepada rakyat, justruu meemihak kepada kepentingan-kepentingan tertentu, kepentingan oligarki dan sebagainya.

Tidak hanya itu, saat ini, ada yang kami dengar bahwa dana yang berupa sumbangan itu tidak akan lagi dimasukkan sebagai satu kebijakan di dalam proses kampanye atau pun calon peserta pemilu.  Itu akan dihilangkan.

Artinya, akan tidak terkontrol keuangan,  terpantau, terawasi keuangan-keungan yang di dalam pemilu kita. Sangat bahaya dengan adanya ini. Saya mendengar bahwa KPU akan menghilangkan itu karena menurutnya tidak ada dasar di undang-undang.

Ini sangat berbahaya. Banyak sekali aturan yang dibuat tapi sebenarnya merugikan.  Saya sebenarnya pesimis dengan melihat kondisi yang ada dengan potensii-potensi yang sesungguhnya bisa dimanage dengan baik, tetapi itu tidak karena terbukti sudah dilakukan oleh penyelenggara pemilu.

Selain dari adanya perbedaan data itu, apa lagi yang menjadi temuan dari OMS Kawal Pemilu?

Menuju Pemilu 2024: Potensi Konflik Muncul dari PenyelenggaraIlustrasi Pemilu (IDN Times/Mardya Shakti)

Yang menjadi temuan kita juga di dalam proses penyelenggara saja, kita sebenarnya mau memulai dari situ, proses menetapkan penyelanggara saja, kami melihat itu banyak indikasi yang tidak memiliki legitimasi secara publik.

Pertama, proses perekrutan timsel saja kami lihat bermasalah. Banyak timsel kemarin yang direkrut itu yang sebenarnya sudah dipecat memiliki riwayat dipecat.  Tapi kita tetap melakukan upaya misalnya melayangkan tanggapan dan sebagainya.

Kami juga melihat di proses itu didominasi oleh akademisi yang notabene kami pertanyakan background pengalamannya terhadap kepemiluan.  Lalu, mereka didaulat menjadi penyeleksi penyelenggara. Lalu, tidak sama sekai memperhitungkan proporsi perempuan di timsel. Padahal itu juga sebenarnya diatur.

Sebutlah misalnya di Sulsel, KPU nya itu tidak ada satu orang perempuan pun di Sulsel satu untuk KPU kabupaten kota. Di tingkat provinsi memang ada tapi di beberapa zona tingkat KPU kabupaten kota itu ada yang tidak ada perempuan sama sekali.

Lalu di proses penetapan KPU yang sudah ditetapkan di beberapa zona ini, juga sangat jauh dari keterpenuhan 30 persen secara hitungan matematis. Belum pada bagaimana strategi afirmasi yang seharusnya dilakukan oleh timsel ini tidak dilakukan. Misalnya, mencampur perempuan dalam perankingan CAT dalam tahapan seleksi sebagai strategi afirmasi dalam memperhatikan 30 persen kuota perempuan.

Lalu kami juga mendapatkan banyak peserta pemilu yang kami anggap bermasalah secara integritas dan kami sudah memasukkan tanggapan itu diabaikan sama sekali. Tidak ditanggapi aduan-aduan masyarakat yang memiliki bukti penyelenggara yang bermasalah integritasnya.

Sebutlah kami di provinsi. Saya boleh menyebut satu anggota KPU petahana yang kami anggap bermasalah integritasnya yang kami laporkan di DKPP itu lolos di KPU Provinsi Sulsel. Pun juga di Bawaslu ada yang kami laporkan satu. Terbukti juga di pihak terkait satu orang lagi dari KPU Palopo sebagai pihak terkait kami lihat banyak berkelit terhadap aduan kami itu juga lolos.  Menurut kami, itu bermasalahnya integritasnya.

Jadi, sudah dimulai dengan hal yang salah, jika sudah dimulai dengan legitimasi publik yang sudah meragukan, jangan harap hasilnya baik, jangan harap hasilnya akan baik.

Apakah konflik pemilu bisa dicegah?

Sangat bisa jika kita punya keinginan karena ini bukan pertama kali kita melakukan pemilu tetapi memang di setiap periodesasi dilakukan pemilu, tantangannya mungkin berbeda. Tetapi menurut saya, seiring waktu, kalau ada kemauan dari penyelenggara peserta pemilu, pemilih sebagai aktor dari pemerintah itu sangat bisa.

Misalnya, hal kecil yang bisa kita lakukan untuk mengantisipasi itu, di tingkat penyelenggara melakukan edukasi dan sosialiasi yang baik kepada pemilih dan pemilih menjalankan dengan baik. Di tingkat peserta juga tidak mengajarkan money politic, tidak melakukan mobilisasi dengan cara-cara transaksional itu akan menjadi baik, bisa meminimalisir konflik. 

Penyelenggara dalam membuat kebijakan betul-betul netral, independen dan tidak memihak kepada hal-hal kecil sebenarnya sangat bisa meminimalisir konflik.  Riak-riak, protes-protes yang terjadi sekarang  karena kita melihat konfliknya sudah mulai tidak terkendali. Konflik itu wajar sih.

Anda menyebut bahwa pemilih termasuk aktor yang mampu meminimalkan konflik. Lalu, bagaimana partisipasi masyarakat dalam memantau setiap tahapan?

Pemilih sebagian besar tidak memiliki tingkat kesadaran yang kritis, menganggap bahwa partisipasnya di dalam pemilu adalah hal yang sangat penting, adalah haknya yang harus dijalankan.

Keterlibatan peserta pemilu sebagian besar masih karena mobilisasi kepentingan yang dilakukan, yang kami lihat banyak dilakukan oleh peserta pemilu. Kami mau bilang bahwa partisipasi pemilih dengan cara dimobilisasi misalnya dengan banyak menggunakan politik uan.

Kami mau bilang bahwa semakin tinggi politik uang yang kita lihat hari ini, maka bisa saja berbanding lurus tingginya dengan partisipasi. Akan tetapi partisipasi itu sekali lagi akhirnya kalau kita mau melihat perbanding lurus tadi yang seharusnya masyarakat itu dengan kesadarannya sendiri tidak dimobilisasi untuk menggunakan haknya berpartisipasi.

Partisipasinya bukan cuma dalam hal pemungutan suar tapi berpartisipasi memantau proses, terlibat langsung sebagai penyelenggara, dan terlibat memantau dengan kesadaran kritis, menolak politik uang, tidak mengelompokkan dirinya sebagai pendukung fanatik lalu menyalahkan pendukung-pendukung lain.

Itu yang bisa dilakukan tetapi apa yang terjadi, edukasi itu tidak secara menyeluruh sampai di masyarakat. Siapa yang punya tuga, kita semua, penyelenggara, peserta pemilu kemudian masyarakat dalam hal ini kelompok-kelompok NGO ataupun kelompok-kelompok ormas yang selama ini konsen melakukan edukasi politik.

Itu harus masif karena masif juga upaya-upaya yang dilakukan untuk merusak pemilih kita. Ada data riset kami di tahun 2020 di 12 kabupaten/kota, itu lebih dari 30 persen ditemukan masyarakat yang terlibat dalam politik uang. Saya yakin lebih dari itu. Semakin hari semakin tinggi angka itu.

Artinya, pembodohan untuk masyarkat kita padahal sesungguhnya itu bisa kita antisipasi kalau kita mau bekerja sama, masif juga melakukan cara-cara edukasi dan sosialisasi.

Tapi tidak sedikit juga masyarakat yang memang mengharapkan uang duluan dari kandidat?

Karena itu sudah dibiasakan dan sudah dianggap biasa. Tahu kan kalau hasil riset menunjukkan bahwa masyarakat itu tidak sekedar dikasih kemudian di mau ambil sampai di itu. Mereka menganggap bahwa itu hal yang memang sudah seharusnya. Mereka menganggap bahwa politk uang bukan hal yang haram.

Inilah yang disebut satu kebiasaan buruk yang sudah dinormalisasi karena biasa dilakukan. Ketika orang mencuri, karena sudah sering akhirnya tidak dianggap lagi kejatahan. Menyuap sudah tidak dianggap salah.

Baca Juga: OMS Kawal Pemilu Laporkan 8 Komisioner KPU di Sulsel ke DKPP RI

Kampanye anti politik uang begitu masif digaungkan setiap menjelang pemilu, tapi kejadianya terus-berulang?

Menuju Pemilu 2024: Potensi Konflik Muncul dari PenyelenggaraIlustrasi kampanye politik uang (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Sudah menjadi rahasia umum bahwa politik uang selalu ada tapi istilahnya  seperti kentut, kita mencium bau tapi sangat sulit dibuktikan. Ya itu tadi, mereka berlindung bahwa ini coast politik. Sangat tipis bedannya coast politik dengan money politic. Serinkali itu sudah money politic masih disebut itu coast politic.

Biaya politik kan memang diatur pada jumlah tertentu yang tidak sebut sebagai politik uang.  Tetapi ada yang lebih dari itu sebenarnya, banyak tapi tingkat pengawasannya yang harus diperketat lalu sanksinya juga.

Proses pemilu sebelumnya, kita boleh menganggap bahwa hanya berapa persen laporan politik uang sementara hampir setiap sudut TPS kita dengar politik uang ada. Tapi laporannya ada berapa banyak, berapa banyak yang disanksi dan apa sanskinya, apakah membuat jera atau tidak.

Jadi, maksudnya balik lagi ke penyelenggara?

Kalau bagi saya, kita tidak seluruhnya harus membebankan ke penyelenggara. Bagi saya, seluruhnya kita sebagai warga negara mau perannya sebagai pemilih, pesert, dan penyelenggara punya tanggung jawab bersama di dalam menjaga nilai-nilai integritas pemilu kita, termasuk bertanggung jawab di dalam memanage konflik-konflik yang ada.

Saya tidak mau bilang bahwa kita harus menghilangkan konflik karena itu tidak bisa dihindari. Kita ini banyak kepala. Potensi konflik itu besar tetapi tidak akan menjadi masalah ketika kita bisa manage dengan baik.

Tugas kita bersama, termasuk media yang punya peran besar. Media adalah aktor yang akan sangat berpengaruh di pemilu. Jika media mampu memberitakan sesuatu yang betul-betul objektif, indepeden dan tidak sarat kepentingan, itu akan sangat baik. Sebaliknya, media akan berpotensi besar untuk mengacaukan semuanya kalau apa yang diberitakan adalah hal yang tidak independen, tidak netral dan tidak objektif.

Media lebih tajam dari senjata. Kemampuannya di dalam soal konflik, media harus memainkan peran fungsinya dengan baik agar bisa betul-betul menjadi senjata yang dapat memanage konflik, dapat berkontribusi besar terhadap demokrasi dalam memproses pemilu kita dengan lebih baik.

Soal pemilu proporsional terbuka, bagaimana pandangan OMS Kawal Pemilu?

Kami dari organisasi gerakan yang mendorong bagaimana partisipasi publik itu bisa betul-betul ada, terbuka dan berada pada level kesadaran kritis tingkat partisipasinya. Artinya, proporsional terbuka berangkat dari situ yaitu bagaimana membuka ruang partisipasi seluas-luasnya.

Berangkat dari itu, menurut saya proporsional terbuka ini sangat baik. Ini menjadi ruang yang baik untuk partisipasi publik yang lebih luas. Harapannya kita sih proporsional terbuka ini tinggal kita mau mengidentifikasi di mana titik-titik kelemahannya, bagaimana mengantisipasi kelemahan itu, memperbaiki supaya lebih menyesuaikan.

Soal keterwakilan perempuan, apa sih tantangan dalam perempuan dalam pemilu mengingat ada PKPU 10/2023 yang dinilai memangkas keterwakilan perempuan?

Menuju Pemilu 2024: Potensi Konflik Muncul dari PenyelenggaraIlustrasi Pemilu (IDN Times/Arief Rahmat)

Banyak sih. Sebenarnya bukan memangkas sih. Pembulatannya kalau ke bawah, yakin tidak sampai 30 persen.

Tantangannya, jika kita berbicara kondisi faktual, kalau dilemanya, kita ingin mendorong keterwakilan perempuan. Di sisi lain kami juga harus diperhadapkan bahwa perempuan yang kita dorong adalah perempuan yang punya kapasitas, integritas, profesional, tentu kita pertimbangkan dengan nilai yang melekat pada diri perempuan.

Untik menemukan itu, boleh disebut sebenarnya kita tidak kekurangann ya, tapi saya lebih melihatnya bahwa ruang-ruan secara politik itu dibuat rumit aksesnya. Malah yang dimudahkan adalah perempuan yang bermasalah integritasnya. 

Secara politis, memang kita lihat bahwa perempuan sangat disulitkan aksesnya untuk itu. Artinya, ada yang membuat sulit termasuk kebijakan PKPU itu. Termasuk juga kebijakan KPU atau Bawaslu yang merekrut timsel dengan tidak memperhatikan perempuan, kebijakan timsel yang tidak mengakomodir 30 persen perempuan dan tidak memperhatikan strategi afirmasi dalam proses seleksi.

Di sisi lain, perempuan juga sedang berjuang untuk mengasah kapasitasnya. Berjuang untuk bersaing melawan patriarki, persaingan dengan laki-laki. Secara kapasitas dan potensi kita bisa. Pemilih laki-laki dan perempuan hampir sama bahkan pemilh perempuan lebih besar.

Tapi di riset juga menunjukkan bahwa perempuan yang paling banyak dimobilisasi. Tugas kita adalah bagaimana mengedukasi pemilih perempuan untuk bisa berpartisipasi termasuk dalam mengawasi, menggunakan hak pilih dan memantau proses jalannya pemilu. Kalau berbicara kondisional penyelenggara saat ini, kita rendah.

Menurut Anda, apakah caleg-caleg yang nanti maju bertarung di Pemilu harus memiliki terbosan?

Saya anggap terobosan itu tidak harus sesuatu yang baru dan tidak pernah dilakukan. Satu hal kecil saja, menurut saya saking krisisnya kondisi saat ini, saya menganggap hal kecil yang bisa dilakukan peserta pemilu adalah tidak memobilisasi transaksional itu sudah terobosan luar biasa untuk menjaga nilai-nilai pemilu kita.

Karena itu sudah sangat berbahaya saat ini, sudah sangat masif saat hal yang dianggap biasa justru malah merusak. Kalau dia bisa lakukan itu, maka luar biasa itu untuk peserta.

Untuk penyelenggara, kondisi saat ini saya tidak melihat netralitas penyelenggara. Saya tidak melihat indepensi penyelenggara hari ini. Maka dia bisa membuat satu kebijakan yang netral, independen, dan tidak menjadi partai. Saya melihat KPU menjadi partai tersendiri malah. Mengakomodir kepentingan-kepentingan tertentu.

Kalau dia bisa melakukan itu, itu sudah terobosan yang baik. Tidak perlu pakai teknologi apapun untuk diangggap terobosan. Tidak perlu desain pemilu canggih. Kuncinya, secanggih-canggih apapun teknologi yang digunakan, kalau penyelenggaranya rusak, maka rusak semua.

Kalau mau kembali ke marwah KPU yang sesungguhnya sebagai penyelenggara independen, netral dan memegang prinsip-prinsip yang seharusnya dipunyai oleh penyelenggara itu sudah luar biasa.

Untuk pemilih, terobosan yang paling bagus adalah bagaimana mereka berpartisipasi dengan kesadaran kritisnya, bukan dengan mobilisasi. Caranya, mari kita bersatu untuk mengedukasi pemilih. Misalnya satu agen pemilu setiap RW. Gerakan bersama mengawal pemilu kita. Yang lainnya hanya instrumen.

Topik:

  • Aan Pranata

Berita Terkini Lainnya