TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

SEJUK-Internews Bahas Fenomena Rasisme dan Peran Media Massa

Semua demi menciptakan persatuan dan demokrasi sejati

Ilustrasi rasisme. (Unsplash.com/Markus Spiske)

Makassar, IDN Times - Seiring dengan menguatnya gerakan #BlackLivesMatter di Amerika Serikat, riak-riaknya juga terasa di Indonesia. Disadari atau tidak, diskriminasi dengan alasan perbedaan warna kulit atau etnik memang masih terjadi di Indonesia. Sikap arogan dan tak terpuji tersebut bisa kita saksikan dengan mata kepala sendiri setiap hari di linimasa media sosial.

Topik tersebut menjadi tema sentral dari webinar yang dilaksanakan oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bersama organisasi non-profit Internews pada hari Rabu (10/6) sore. "Membongkar Akar-Akar Rasisme", demikian tajuk webinar yang menghadirkan sejumlah narasumber. Banyak hal yang dibahas di sini, mulai dari rasisme yang acapkali menimpa warga negara asal Papua dan peranakan Tionghoa, isu tindakan represif dan UU ITE.

Tewasnya George Floyd, seorang warga Afrika-Amerika berusia 46 tahun, saat ditahan oleh anggota kepolisian kota Minneapolis negara bagian Minnesota, Amerika Serikat, pada 25 Mei lalu memicu gelombang protes besar-besaran di nyaris seluruh AS dan juga dunia. Isu protes para demonstran menyangkut dua hal, yakni kebrutalan polisi dan rasisme sistemik.

1. Victor Mambor, jurnalis media Jubi, menyoroti perbedaan sanksi pelaku perbuatan kejahatan berbasis rasial di AS dan Indonesia

Pengunjuk rasa berkumpul di lokasi dimana George Floyd, pria hitam tak bersenjata, dijatuhkan oleh seorang petugas polisi yang berlutut di lehernya sebelum kemudian meninggal di rumah sakit di Minneapolis, Minnesota, Amerika Serikat, Selasa (26/5/2020) (ANTARA FOTO/REUTERS/Eric Miller)

Victor Mambor, jurnalis senior dari media lokal Papua yakni Jubi, membandingkan penegakan hukum antara pelaku rasisme di AS dan Indonesia. Derek Chauvin, petugas polisi yang bertanggung jawab atas tewasnya Floyd, dituntut hukuman 40 tahun penjara. Victor menyebut ada kekebalan hukum atau impunitas yang melindungi pelaku rasisme di luar Papua.

Victor menyebut bahwa jejak awal diskriminasi bisa ditelusuri dari tinjauan historis. Ia menjelaskan bahwa Pepera 1969, penentu status Papua usai masa konfrontasi Indonesia-Belanda, hanya melibatkan seribu orang. Sangat sedikit dibandingkan jumlah penduduk waktu itu yang mencapai ratusan ribu jiwa.

"Ini bukan semata-mata persoalan rasisme. Ada juga politik karena memang integrasinya bermasalah sejak awal. Contohnya yang terjadi baru-baru di Surabaya (pengepungan asrama mahasiswa Papua oleh anggota ormas pada 16 Agustus 2019). Semua orang kalau dipanggil monyet pasti marah. Hal serupa juga pernah dirasakan oleh tim sepakbola Persipura," ungkap Victor.

2. Demonstrasi mahasiswa Papua kerap mendapat perlakuan represif

IDN Times/Muhammad Khadafi

Peristiwa di asrama mahasiswa Papua di Surabaya memicu gelombang demonstrasi masyarakat di Papua dan Papua Barat pada 19 Agustus 2019 dan berlangsung lebih dari sebulan. Jalanan di sejumlah kota seperti Manokwari, Sorong, Fakfak, Jayapura, Timika dan Merauke menjadi mimbar protes warga atas tindakan rasisme yang dialami mahasiswa. Demonstrasi dilakukan secara damai, kendati sejumlah aksi berakhir rusuh lantaran menurut Polri ditunggangi oleh kelompok separatis. Tak sedikit jatuh korban jiwa akibat kekerasan, seperti yang terjadi di Wamena pada 23 September 2019.

Victor, dalam webinar, lebih menyoroti kesan tebang pilih yang dilakukan oleh aparat saat menindaki mahasiswa Papua yang melakukan aksi mengecam tindakan rasial di luar Papua. Salah satu contoh yakni tujuh mahasiswa Papua di Balikpapan, Kalimantan Timur, yang dituntut hukuman penjara hingga belasan tahun atas tuduhan makar. Padahal, ketujuh mahasiswa tersebut melakukan aksi damai. 

"Apa orang-orang ini (pelaku pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya) dihukum atau tidak? Orang yang di Surabaya cuma 7 bulan, kita (mahasiswa Papua di Balikpapan) lebih. Padahal kita adalah korban," paparnya.

3. Kemajemukan di Indonesia harusnya tak menjadi alasan untuk tercerai berai

Pixabay.com/Endho

Natalia Soebagjo, pendiri Yayasan Centre for Chinese Studies, menyebut ada tiga masalah umum yang dihadapi oleh masyarakat saat memandang masalah rasial. Pertama, kebingungan membawa arah negara. Kendati sudah mengakui bahwa kemajemukan adalah hal yang pasti dan sulit dinafikan, Indonesia disebut Natalia sebagai negara yang sangat kompleks dengan berbagai masalah.

"Masalah ekonomi, sosial, politik, semua bercampur baur. Penting bagi kita untuk tahu cara memanfaatkan kemajemukan yang dimiliki agar semakin kuat dan malah tak tercerai berai," ujarnya.

Kedua, adalah mengukur sejauh mana tingkat kematangan masyarakat Indonesia dalam berdemokrasi. Dirinya mengambil contoh bahwa tulisan atau diskusi yang mengangkat masalah kemanusiaan di Papua selalu dicap sebagai dukungan terhadap kemerdekaan Papua. Sementara kritik terhadap pemerintah malah langsung diberi label dukungan menjatuhkan kekuasaan yang sah.

Baca Juga: Rugi karena Internet Diblokir? Warga Papua Bisa Minta Ganti Rugi

4. Pembangunan demokrasi di Indonesia memang masih panjang, namun diharap menuju arah yang positif

idn media

"Ini menunjukkan ketidakmampuan kita menghayati nilai-nilai demokrasi. Saya tidak melihat (pemahaman yang) tidak sama satu sama lain. Sama seperti pertanyaan jika kita mengkritik Jokowi maka apakah kita ingin menjatuhan Jokowi. Ini membutuhkan kematangan berdemokrasi, kalau memang kita hendak menuju bangsa yang seperti itu," lanjut Natalia.

Yang ketiga adalah kultur penggunaan kekerasan dan pendekatan keamanan dalam menyelesaikan masalah. Kultur kekerasaan disebutnya justru lebih melanggengkan budaya kekerasan yang sudah ada dan membuat penyelesaian secara komprehensif ibarat jauh panggang dari api.

"Penyelesaian yang tepat adalah membuka dialog agar kita saling mengerti. Intinya kita harus saling kenal dan saling paham karena masyarakat kita begitu kompleks. Tak ada solusi instan. Ini adalah pekerjaan yang masih belum kita bicarakan. Perjalanan memang masih panjang, yang penting menuju arah positif dan bukannya kembali ke zaman represif," tukasnya.

5. Kelompok buzzer disebut sering kali menyerang suara-suara kritis di dunia maya

IDN Times/Arief Rahmat

Menyoal isu brutalitas aparat penegak hukum, Tantowi Anwari selaku jurnalis SEJUK mendorong program pemolisian masyarakat. Ia mengambil contoh aspirasi damai yang dilakukan masyarakat Papua kerap mendapatkan tindakan represif dari negara. Sementara, aksi kritis terhadap pemerintah oleh kelompok lainnya tidak menemui masalah. Ini disebutnya sebagai bentuk ketidakadilan yang dicontohkan negara.

"Program semacam pemolisian masyarakat perlu dilakukan, yaitu bagaimana polisi bersikap persuasif. Soal Papua, sudah saatnya tidak lagi bertindak seperti polisi masa lalu yang represif," tegas pria yang akrab disapa Thowik.

Selain itu, kata Thowik, juga perlu didorong bagaimana pemolisian siber. Ini tak lepas dari maraknya buzzer yang beramai-ramai menyerang media arus utama ketika memberitakan masalah yang terjadi di Papua.

Sorotan bisa dialihkan kepada maraknya praktek kriminalisasi dan spambot terhadap suara-suara kritis pemerintah di dunia maya. "Divisi siber di kepolisian juga harus punya perspektif yang lebih maju. Bukan dengan kriminalisasi, tetapi membuka ruang dialog," jelas Thowik.

Baca Juga: Didakwa Makar, Aktivis KNPB: Memerdekakan Papua itu Hak Orang Papua

Berita Terkini Lainnya