Mengenang Radio dan Koran yang Menyebar Kabar Proklamasi di Sulsel
Masyarakat sempat menganggap kemerdekaan sebagai desas-desus
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Makassar, IDN Times - Hari kemerdekaan akhirnya tiba juga. Jumat 17 Agustus 1945 pukul 10 pagi, bertempat di kediamannya, Bung Karno membacakan 43 kata pembebas dari belenggu penjajahan. Memori kelam dari masa VOC, Portugis, Inggris, kolonial Belanda kemudian Jepang pun berganti menjadi harapan dan optimisme.
Tiga tokoh nasionalis asal Sulawesi yakni Dr. Sam Ratulangi, Andi Pangerang Petta Rani dan Andi Sultan Daeng Radja turut hadir dalam momen bersejarah tersebut. Kecuali Andi Sultan, dua figur lain jadi wakil Celebes dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), organisasi yang membahas arah republik yang baru saja lahir ini.
Figur utusan memang hadir langsung di Jakarta, namun bagaimana cara masyarakat Sulawesi Selatan (Sulsel) mengetahui proklamasi sudah dikumandangkan? Waktu itu, penyebaran informasi terbatas serta sensor ketat dari sebagian tentara Jepang yang masih "keras kepala".
Baca Juga: Ternyata, Merah Putih Berkibar di Sulsel Sebelum Indonesia Merdeka
1. Andi Ahmad, Putra Datu' Luwu Andi Djemma, memperoleh kabar Proklamasi Kemerdekaan dari radio pada 17 Agustus 1945
Hanya beberapa jam setelah Proklamasi, para pemuda yang bekerja di kantor berita Domei (cikal bakal Antara) menerima salinan teks yang dibaca Bung Karno. Tanpa basa-basi, teks Proklamasi langsung disiarkan. Mereka tetap nekat meski harus kucing-kucingan dengan opsir Dai Nippon.
Siapa sangka, siaran tersebut didengar oleh seorang pemuda aristokrat Luwu, nyaris 2 ribu kilometer dari Jakarta. Andi Ahmad, salah satu putra Datu' (Raja) Luwu dan Pahlawan Nasional yakni Andi Djemma, menerima kabar Sukarno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia lewat siaran radio transistor.
Dalam buku Sejarah Pendidikan Daerah Sulawesi Selatan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1980), Andi Ahmad langsung menemui kelompok pemuda nasionalis. Tujuannya tentu saja memberi kabar gembira yang baru saja ia peroleh.
Reaksi para pemuda sungguh di luar dugaan. Mereka turun ke jalan-jalan Kota Palopo sembari membawa parang, badik, mengalungi granat sembari memekik kata "merdeka". Provokasi kepada para tentara Jepang? Tentu saja. Beruntung konfrontasi antara kedua pihak tidak terjadi.
Baca Juga: Menelusuri Jejak Sejarah Teks Proklamasi yang Dijaga Melintasi Zaman