TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Akademisi Harap ASN yang Jadi Influencer Tetap Sampaikan Fakta

Jangan sampai influencer menutupi kelemahan kebijakan negara

Ilustrasi PNS di Kabupaten Sleman. IDN Times/Daruwaskita

Makassar, IDN Times - Sepanjang tiga hari belakangan, ramai pemberitaan tentang wacana melibatkan Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi influencer pemerintah. Ini disampaikan langsung oleh Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo), Widodo Muktiyo.

Sementara itu menurut Pelaksana Tugas Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo, Ferdinandus Setu, mereka yang bakal menjadi influencer pemerintah harus memiliki jumlah followers minimal 500 akun. Tugasnya pun krusial, yakni menangkal atau meluruskan hoaks yang beredar di masyarakat.

Nah, lantas bagaimana pihak akademisi dari disiplin ilmu komunikasi menyikapi hal ini?

1. ASN menjadi "influencer" pemerintah dianggap sah-sah saja

IDN Times/AJi

Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila Jakarta, Riza Darma Putra M.I.Kom, menilai bahwa rencana tersebut sah-sah saja. Alasannya, ASN memang memiliki tugas layaknya public relations bagi sebuah institusi bernama negara. Akan tetapi, fakta harus tetap dikedepankan.

"Yang mereka sampaikan tentu saja haruslah fakta, bukan membual. Sebab publik berhak tahu," ujarnya saat dihubungi oleh IDN Times pada Jumat (29/11) siang. Alih-alih mengingatkan pada tugas Departemen Penerangan (Deppen) era Orde Baru, ASN merangkap influencer ini menurutnya menjangkau publik lebih luas.

"Tugas Deppen itu bersifat top-down (pusat ke desa). Namun tidak demikian dengan hal ini berkat hadirnya media sosial," lanjutnya.

2. Menjadi "influencer" pemerintah, ASN diminta melakukan advokasi kepada masyarakat

IDN Times/Feny Maulia Agustin

Lebih jauh, tugas ASN merangkap influencer menurut Riza tak melulu tentang upaya menangkal hoaks. Pemerintah harusnya melihat ini sebagai cara untuk melakukan advokasi kepada masyarakat.

"Ya, advokasi tentang hak-hak warga harusnya turut dilakukan. Yang paling utama ketika kita berurusan dengan urusan administratif atau dalam tatanan praktis. Istilahnya, education for citizenship," lanjut Riza.

Ini tak lepas dari pola komunikasi pemerintah yang menurut Riza masih banyak kekurangan. Selain dominannya buzzer politik, minimnya penjelasan program jadi alasan utama. "Komunikasi online selama ini hanya berjalan satu arah. Tugas pemerintah saat ini harus mengubahnya menjadi dua arah. Harus ada timbal balik," pungkasnya.

Baca Juga: Sejak Kapan Buzzer Dinilai Negatif, Benarkah Serupa dengan Influencer?

3. ASN yang menjadi "influencer" pemerintah rupanya sudah terjadi sejak lama

Humas Pemprov Sulsel

Tugas influencer yang mampu mempengaruhi opini publik seolah berbanding lurus dengan fungsi ASN sendiri. Terlebih, publik pengguna media sosial kini sangat akrab dengan akun-akun atau individu yang setiap cuitannya acap kali berseliweran di linimasa.

Menurut Sabda Taro Trinarta, M.Ikom., dosen Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Tadulako Palu, ASN yang sudah menjadi influencer pemerintah sudah eksis sejak dahulu. Namun baru belakangan ini muncul wacana untuk dibentuk menjadi sebuah bagian dalam hierarki pemerintahan.

"Sederhananya begini, (mereka adalah) orang-orang yang mempromosikan atau melakukan endorsement. Namun baru hari ini distrukturalkan," ujarnya saat dihubungi juga pada Jumat (29/11) sore.

Baca Juga: Dear ASN, Punya 500 Follower Kamu Bakal Jadi Influencer Pemerintah

Berita Terkini Lainnya